Setitik Darah di Kertas Putih

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Beberapa waktu lalu saya mendengar cerita yang cukup memilukan dari seorang teman, Bu I’in namanya. Ia merupakan guru di salah satu sekolah dasar di Magetan, Jawa Timur. Diceritakan, dalam satu kesempatan ia bertanya pada murid-muridnya kelas II tentang cita-cita mereka kelak saat dewasa. Seperti halnya cita-cita pada umumnya, mereka menjawab ingin menjadi dokter, guru, dan sebagainya. Namun, dari sekian cita-cita yang disebutkan, ternyata ada satu cita-cita yang membuat sang guru terhenyak kaget. Salah satu murid, katanya, bercita-cita ingin menjadi teroris!
“Ingin jadi teroris? Gak salah tuh, Bu?” tanya saya.
“Benar. Saya juga kaget,” jawab Bu I’in.
Setelah menghela nafas sejenak, ia melanjutkan, “Maka saya lalu bertanya, kenapa ia sampai punya keinginan seperti itu? Barangkali saja ia salah sebut atau tidak paham apa itu teroris,” tebaknya.
“Lalu apa katanya, Bu?” tanya saya penasaran.
“Dia bilang teroris itu deretetetetet...der...der...! Dia mengatakan itu sambil memeragakan tangannya seakan memegang senapan.
Belum sempat Bu I’in bertanya lagi, si murid itu memberi alasan, “Saya ingin jadi teroris karena saya sudah terlanjur nakal, Bu!” lanjutnya.
“Siapa yang mengatakan itu?” tanya Bu I’in sambil menahan pilu.
“Orang-orang mengatai saya seperti itu, Bu! Termasuk ibu saya!” balas si murid.
Saya yang mendengar cerita itu hanya bisa tertegun. Apa yang salah dari fenomena ini? Kenapa anak sebelia itu di dalam hatinya sudah tumbuh bibit kekerasan? Apakah stigma “anak nakal” sudah sedalam itu sehingga ia pun mengamininya? Bukankah keluarga merupakan sekolah utama pendidikan karakter? Apakah para teroris itu semasa kecil dulu juga mendapatkan perlakuan yang sama? Terus terang, saya miris mendengarnya. 
Sejak saat itu, saya mulai rajin membuka buku kembali dan googling di internet untuk menjelajah beberapa tinjauan psikologi, terutama psikologi anak dan psikologi kekerasan. Dari beberapa literatur yang saya baca, saya menangkap pesan bahwa seorang anak korban kekerasan mengalami perubahan struktur syaraf di area otak anterior cingulate cortex. Bagian ini berperan penting dalam mengatur emosi dan suasana hati. Kekerasan dimaksud tidak hanya berupa fisik, namun juga verbal dan psikis.
Lebih jauh diungkapkan, tindak kekerasan yang parah pada masa kecil ternyata berefek pada peningkatan risiko gangguan kejiwaan seperti depresi, serta tingginya tingkat impulsivitas, agresivitas, kecemasan, penyalahgunaan zat terlarang, dan bunuh diri. Dari sini saya memahami, kekerasan verbal yang sering diterima si murid menyebabkan psikisnya terganggu dan mengakibatkan perilakunya agresif dan permisif pada kekerasan. Keinginannya untuk menjadi teroris telah mengonfirmasi hal tersebut.
Lama saya merenungkan peristiwa ini. Dan sulit bagi saya memahami kejadian ini. Terorisme yang mengajarkan kekerasan, penghilangan nyawa manusia, menebarkan rasa takut, dan berbagai atribut kekejaman lainnya telah menjangkiti masa kanak-kanak, masa dimana mereka seharusnya belajar, bermain dan bersenang-senang dengan teman sebayanya. Masa dimana mereka mengenal karakter antarsesama, belajar menghormati dan menghargai, serta menyadari perbedaan dan kemajemukan.
Saya kemudian membaca beberapa riwayat hadits tentang anak, salah satunya yang mengajarkan bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Bahwa bayi yang dilahirkan berada dalam keadaan tanpa dosa, bersih dan suci, seperti halnya kertas putih yang belum ditulisi, dan masa depannya tergantung kepada orangtua dalam mendidiknya. Nabi bersabda, “Semua bayi yang dilahirkan adalah dalam keadaan fitrah. Hanya saja bapak ibunya yang menjadikan anaknya menjadi Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi.” (HR. Muslim)
Hadits ini menerangkan bahwa orangtua adalah penulis utama kertas putih itu. Seorang bayi yang baru dilahirkan, ia bersih tak bernoda, seperti halnya kertas putih yang belum ditulisi. Bila kertas itu ditulisi kebaikan, ia menjadi berharga dan mahal. Bila sejak kecil ia dibentuk dengan kasih sayang, maka tumbuhlah di dalam hatinya sifat rahmah.
Sifat rahmah merupakan pancaran dari sifat Allah Yang Maha Menyayangi. Dengan ‘rahmah’, seseorang akan menyayangi siapa saja, yang berbuat baik kepadanya maupun yang berbuat jahat. Ia seperti samudera yang menampung tidak hanya mutiara berharga, tetapi juga sampah dan bangkai yang busuk. Bahkan segala sampah dan bangkai itu akan perlahan hilang, bersenyawa dan berurai menjadi entitas yang baru.
Namun bila kertas itu ditulisi keburukan, ia hanya layak dibuang ke tempat sampah. Jika seorang anak dididik dan dibentuk dalam lingkungan yang mengajarkan kekerasan, ia cenderung akan menjadi seperti lingkungannya. Bibit kekerasan yang disiram sejak kecil itu akan menjadi pohon besar, dahan dan akarnya bercabang-cabang kemana-mana.
Teori behaviorisme mengafirmasi bahwa perilaku kekerasan berasal dari hasil belajar. Seorang anak mempelajari pola kekerasan dari orangtua dan lingkungannya. Meski mereka sering tidak menyadarinya, tetapi pengaruh pembelajaran kekerasan itu dicerap dengan sangat baik oleh anaknya. Seorang anak merupakan duplikasi dan replikasi dari orang-orang terdekatnya.
Seorang anak yang hilang kontrol dirinya, ia akan kehilangan nilai-nilai kebaikan, etika, dan moralitas yang diyakininya. Kepada orang yang lebih tua ia hilang penghormatan, kepada yang lebih muda ia hilang kasih sayang. Kepada yang berilmu ia tidak suka, kepada yang kurang ilmu ia hina sedemikian rupa. Walhasil, kertas putih yang ternoda oleh setitik darah, darah itu akan semakin larut membaluri kertas itu. Bara api di dalam dadanya selalu membakar siapa saja, tak peduli dampak buruk jangka pendek dan panjangnya.
Dalam psikoanalisa, perilaku ini disebabkan oleh goncangnya struktur jiwa yang terdiri dari superego, ego, dan id. Superego merupakan dorongan atas internalisasi nilai-nilai, yang biasanya berasal dari orangtua maupun ajaran agama. Ego bekerja berdasarkan prinsip realita yang menggerakkan perilaku sadar seseorang. Sedangkan id bekerja berdasarkan prinsip kenikmatan atau kesenangan (principe of pleasure). Maka pribadi yang sehat adalah mereka yang memiliki ego yang kuat, sehingga mampu mengontrol dorongan yang berasal dari id maupun superego dalam dirinya.
Salah satu cara membentuk karakter seorang anak adalah dengan memastikan kasih sayang yang cukup dalam keluarga. Orangtua harus bisa mendidik anak agar bisa mengontrol id-nya sehingga sejalan dengan ajaran agama dan nilai moral yang universal. Pola didik yang ‘salah asah’, ‘salah asih’, dan ‘salah asuh’ akan berpengaruh terhadap karakter seseorang. Anak yang kurang kasih sayang cenderung berkarakter keras dan kaku. Sebaliknya, anak yang cukup mendapatkan kasih sayang akan memiliki karakter yang lembut dan toleran.
Dalam Islam, pendidikan kasih sayang telah diajarkan sedemikian rupa oleh Rasulullah SAW. Dalam suatu hadits riwayat Muslim diceritakan, suatu ketika Rasulullah SAW mencium Hasan bin Ali, cucu yang amat dicintainya. Ketika itu, tepat di samping beliau terdapat sosok al-Aqra’ bin Habits at-Tamimi, yang memiliki sepuluh anak. Anehnya, saat melihat perlakuan Rasulullah SAW itu, ia bingung. Kemudian ia pun berkata, “Anakku sepuluh. Tapi, aku tak pernah mencium satu pun diantara mereka.” Rasulullah SAW lalu bersabda, “Barangsiapa yang tidak menyayangi, maka ia tidak akan disayangi.”
Namun demikian, kehangatan orangtua dalam mendidik anak juga harus diimbangi dengan ketegasan. Bahkan Nabi menegaskan bahwa seandainya Fatimah, putri kesayangannya mencuri, beliau sendiri yang akan memotong tangannya. Beliau bersabda, “Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya” (HR. Bukhari dan Muslim). 
Berangkat dari riwayat di atas, maka mendidik karakter anak merupakan seni yang harus dipelajari dan dipraktikkan secara proporsional. Dua hadits di atas menunjukkan dua variabel yang mempengaruhi karakter anak, yaitu kehangatan dan ketegasan yang seimbang. Orangtua tidak boleh terlalu lunak atau terlalu keras terhadap anak. Hubungan di antara mereka juga harus hangat dan bersahabat. Pola tarik dan ulur ini penting agar anak memiliki keseimbangan dalam memutuskan segala sesuatu.
Tugas orangtua tidak hanya membesarkan anak, mencukupi kebutuhan sandang pangan dan papan, serta menyekolahkan mereka. Kewajiban orangtua yang terpenting adalah mengantarkan mereka menjadi hamba Allah yang taat dan bermanfaat untuk orang banyak, serta menjadi pribadi yang berkarakter mulia. Karakter ini bisa terwujud jika mereka berpedoman pada manhaj al-fikr yang tawasuth, tasamuh, tawazun, dan i’tidal dalam keseharian mereka.  
Memang harus diakui, salah satu tingkah laku primitif manusia adalah perilaku kekerasan. Perilaku ini bahkan sudah setua peradaban manusia, sejak peristiwa pembunuhan Qabil terhadap saudara kandungnya, Habil. Hanya karena dijangkiti sifat iri dan dengki, sang kakak rela melakukan tindakan pembunuhan terhadap adiknya sendiri. Namun demikian, hal tersebut tidak berarti seseorang harus membiarkan karakter liarnya merusak dirinya. Ia memiliki kontrol dalam dirinya. Jika gagal mengendalikan dirinya, mereka berpotensi menjadi “binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi” (Qs. al-A’raf: 179)
Allah SWT telah menganugerahkan tidak hanya potensi fujur (kefasikan) tetapi juga potensi takwa kepada setiap manusia (baca Qs. al-Syams: 8). Dua potensi yang berkebalikan ini menuntut manusia agar arif dan bijaksana dalam mengambil sikap. Suatu ‘sikap’ yang dilakukan secara kontinyu memang bisa merubahnya menjadi ‘sifat’ atau ‘karakter’. Maka membiasakan bertingkah laku baik menjadi penting agar dapat menjadikan jiwa menjadi suci. Sebaliknya, membiasakan bertingkah laku buruk akan menjadikan jiwa menjadi kotor. Dan itulah beda orang yang beruntung dan merugi (baca Qs. al-Syams: 9-10).
Kembali pada cerita tentang cita-cita anak SD menjadi teroris. Pertanyaan mendasarnya, apakah kertas yang telah ternodai setitik darah itu bisa disucikan kembali? Apakah anak yang dalam hatinya sudah ada bibit kekerasan itu bisa diarahkan menjadi anak yang berkarakter baik? Jawabannya, bisa! Tentu dengan cara dan hasil yang sesuai dengan keinginan yang kuat untuk berubah, lingkungan yang mendukung, serta konsistensi usaha dan pembiasaan berkarakter baik. Semoga!

(Tulisan ini meraih Juara I Lomba Karya Tulis Naskah Dakwah dengan tema “Ayat-ayat Damai” yang diselenggarakan oleh BNPT Tahun 2018)

Ditulis oleh : abinadine.blogspot.com ~ Official

Rofiudin Anda sedang membaca postingan tentang Setitik Darah di Kertas Putih. Anda boleh mengcopy paste atau menyebarluaskan postingan ini, namun jangan lupa untuk meletakkan link di bawah ini sebagai sumbernya.
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِين

Post a Comment