Memperbarui Akad Nikah, Nishfu Sya'ban, Dahi Hitam, Mencukur Jenggot, Shalawat Penutup Majllis, Qurban untuk Mayit, Tawassul

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم


Ragam Masalah:
1.    Yasin Fadlilah
2.    Memperbarui Akad Nikah (Tajdidun Nikah)
3.    Salat Malam Nishfu Sya'ban
4.    Istighfar Untuk Kaum Muslimin
5.    Doa Saat Membaca al-Quran
6.    Dahi Hitam Tanda Sujud?
7.    Shalawat Untuk Penutup Majlis
8.    Menuduh Kafir
9.    Haramkah Mencukur Jenggot?
10. Akad Nikah Di Masjid
11. Berdzikir Menggunakan Tasbih
12. Benarkah Isbal Haram?
13. Doa Hizib dari Ayat al-Quran
14. Hewan Qurban Untuk Mayit
15. Iuran/Arisan Qurban
16. Puasa Tarwiyah
17. Puasa Bulan Rajab
18. Berkalung Jimat
19. Hari Apa Saya Kawin?
20. Menabuh Terbang di Masjid
21. Tawassul



1.   Yasin Fadlilah
Pertanyaan:
Adakah tuntunan mengamalkan Yasin Fadlilah? Jamaah Yasinta al-Fattah, sby

Jawaban:
Perlu digaris bawahi dahulu, bahwa Yasin Fadilah adalah rangkaian doa di beberapa ayat. Doa tersebut sama sekali bukan menambahi ayat Surat Yasin. Maka Surat Yasin yang ditulis dengan atau tanpa doa, jumlahnya tetap 83 ayat.
Hal ini selaras dengan hadis sahih dari Hudzaifah dan A’masy bahwa
عَنْ حُذَيْفَةَ أَنَّ النَّبِىَّ g كَانَ إِذَا مَرَّ بِآيَةِ خَوْفٍ تَعَوَّذَ وَإِذَا مَرَّ بِآيَةِ رَحْمَةٍ سَأَلَ (رواه احمد رقم 24012 وابن خزيمة رقم 684)
“Rasulullah jika membaca ayat tentang siksa maka beliau minta perlindungan kepada Allah, jika Rasulullah membaca ayat tentang rahmat maka beliau memintanya kepada Allah” (HR Ahmad No 24012 dan Ibnu Khuzaimah No 684)
Membaca doa di sela-sela bacaan al-Quran juga diamalkan oleh Nabi Saw, sebagaimana disampaikan oleh Abu Hurairah:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ g كَانَ إِذَا قَرَأَ أَلَيْسَ ذَلِكَ بِقَادِرٍ عَلَى أَنْ يُحْيِيَ الْمَوْتَى قَالَ بَلَى وَإِذَا قَرَأَ أَلَيْسَ اللهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِيْنَ قَالَ بَلَى (رواه الحاكم رقم 3882 وقال هذا حديث صحيح الإسناد ولم يخرجاه تعليق الذهبي قي التلخيص: صحيح. وكذا أبو داود والترمذى وابن السنى فى عمل يوم وليلة والبيهقى عن أبى هريرة)
“Jika Rasulullah membaca akhir Surat al-Qiyamat (ayat 40), Rasulullah menjawab: Balaa (Ya, Allah maha kuasa). Dan ketika beliau membaca akhir Surat at-Tiin, maka Rasulullah menjawab: Balaa, [dalam riwayat lain: wa ana ‘ala dzalika min asy-syaahidiin] (Ya, saya bersaksi)” (HR al-Hakim No 3882, ia menilainya sahih dan disetujui oleh adz-Dzahabi. Hadis yang sama juga diriwayatkan oleh Abu Dawud, Turmudzi, Ibnu Sunni, dan al-Baihaqi)
Demikian halnya dalam Yasin Fadilah merupakan doa pada ayat tertentu. Misalnya ketika di ayat ‘Salamun Qaulan min Rabbin Rahiim’, ditulis ada doa ‘Ya Allah selamatkan kami dari ujian dunia dan akhirat’, dan di ayat lainnya.
Namun yang perlu dijaga adalah agar bagaimana ayat tersebut tidak bercampur dengan al-Quran. maka dalam penulisannya harus dibedakan antara ayat dan doa, sebagaimana dalam penulisan tafsir al-Quran. Boleh saja ditulis dengan catatan kaki, atau buka-tutup kurung, dan cara lainnya yang dapat membedakan mana ayat dan mana doa.

2.     Memperbarui Akad Nikah (Tajdidun Nikah)
Pertanyaan:
Bagaimana hukumnya memperbarui nikah (tajdidunikah)? Adi, Sby

Jawaban:
Masalah ini telah dibahas di Bahtsul Masail PWNU Jatim di Pon. Pes. Zainul Hasan Genggong Kraksan Probolinggo, 22-23 Nopember 1981. Keputusannay adalah sebagai berikut:
Hukumnya tajdidunnikah (memperbaharui nikah tanpa terjadinya cerai) adalah boleh, bertujuan untuk memperindah atau ihtiyat dan tidak termasuk pengakuan talak (tidak wajib membayar mahar) akan tetapi menurut imam Yusuf al-Ardabili dalam kitab al-Anwar wajib membayar mahar karena sebagai pengakuan jatuhnya talak.

Dasar Pengambilan Hukum:
1.      At-Tuhfah, Juz VII, Hlm. 391
أَنَّ مُجَرَّدَ مُوَافَقَةِ الزَّوْجِ عَلَى صُورَةِ عَقْدٍ ثَانٍ مَثَلاً لاَ يَكُونُ اعْتِرَافًا بِانْقِضَاءِ الْعِصْمَةِ اْلأُولَى بَلْ وَلاَ كِنَايَةَ فِيهِ وَهُوَ ظَاهِرٌ إِلَى أَنْ قَالَ وَمَا هُنَا فِي مُجَرَّدِ طَلَبٍ مِنْ الزَّوْجِ لِتَجَمُّلٍ أَوْ احْتِيَاطٍ فَتَأَمَّلْهُ.
"Sesungguhnya persetujuan murni suami atas aqad nikah yang kedua (memperbarui nikah) bukan merupakan pengakuan habisnya tanggung jawab atas nikah yang pertama, dan juga bukan merupakan kinayah dari pengakuan tadi. Dan itu jelas ….s/d … sedangkan apa yang dilakukan suami di sini (dalam memperbarui nikah) semata-mata untuk memperindah atau berhati-hati".
2.     Al-Anwar, Juz II, Hlm. 156
وَلَوْ جَدَّدَ رَجُلٌ نِكَاحَ زَوْجَتِهِ لَزِمَهُ مَهْرٌ آخَرُ ِلأَنَّهُ إِقْرَارٌ بِالْفُرْقَةِ وَيَنْتَقِضُ بِهِ الطَّلاَقُ وَيَحْتَاجُ إِلَى التَّحْلِيْلِ فِى الْمَرَّةِ الثَّالِثَةِ.
"Jika seorang suami memperbaharui nikah kepada isterinya, maka wajib member mahar (mas kawin) karena ia mengakui perceraian dan memperbaharui nikah termasuk mengurangi (hitungan) cerai/talaq. Kalau dilakukan sampai tiga kali, maka diperlukan muhallil".

3.     Salat Malam Nishfu Sya'ban
Pertanyaan:
Adakah hadis yang menjelaskan tentang salat di Malam Nishfu Sya'ban? Atiqah, Sby

Jawaban:
Malam Nishfu Sya'ban dilakukan pertama kali oleh para Tabi'in (generasi setelah Sahabat Nabi) di Syam Syria, seperti Khalid bin Ma'dan (perawi dalam Bukhari dan Muslim), Makhul (perawi dalam Bukhari dan Muslim), Luqman bin 'Amir (al-Hafidz Ibnu Hajar menilainya 'jujur') dan sebagainya, mereka mengagungkannya dan beribadah di malam tersebut. Dari mereka inilah kemudian orang-orang mengambil keutamaan Nishfu Sya'ban. Ketika hal ini menjadi populer di berbagai Negara, maka para ulama berbeda-beda dalam menyikapinya, ada yang menerima diantaranya adalah para ulama di Bashrah (Irak). Namun kebanyakan ulama Hijaz (Makkah dan Madinah) mengingkarinya seperti Atha', Ibnu Abi Mulaikah, dan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari ulama Madinah dan pendapat beberapa ulama Malikiyah mengatakan: "Semuanya adalah bid'ah".
Ulama Syam berbeda-beda dalam melakukan ibadah malam Nishfu Sya'ban. Pertama, dianjurkan dilakukan secara berjamaah di masjid-masjid. Misalnya Khalid bin Ma'dan, Luqman bin Amir dan lainnya, mereka memakai pakaian terbaiknya, memakai minyak wangi, memakai celak mata dan berada di masjid. Hal ini disetujui oleh Ishaq bin Rahuwaih (salah satu Imam Madzhab yang muktabar), dan beliau mengatakan tentang ibadah malam Nishfu Sya'ban di masjid secara berjamaah: "Ini bukan bid'ah". Dikutip oleh Harb al-Karmani dalam kitabnya al-Masail. Kedua, dimakruhkan untuk berkumpul di masjid pada malam Nishfu Sya'ban untuk shalat, mendengar cerita-cerita dan berdoa. Namun tidak dimakruhkan jika seseorang salat (sunah mutlak) sendirian di malam tersebut. Ini adalah pendapat al-Auza'i, imam ulama Syam, ahli fikih yang alim. Inilah yang paling tepat, InsyaAllah. (Syaikh al-Qasthalani dalam Mawahib al-Ladunniyah II/259 yang mengutip dari Ibnu Rajab al-Hanbali dalam Lathaif al-Ma'arif 151)

Dalil-Dalil Hadis Nishfu Sya'ban
Hadis Pertama
عَنْ مُعَاذِ بن جَبَلٍ عَن النَّبِيِّ e قَالَ يَطَّلِعُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيْعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ (رواه الطبراني في الكبير والأوسط قال الهيثمى ورجالهما ثقات. ورواه الدارقطنى وابنا ماجه وحبان فى صحيحه عن ابى موسى وابن ابى شيبة وعبد الرزاق عن كثير بن مرة والبزار)
“Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah memperhatikan hambanya (dengan penuh rahmat) pada malam Nishfu Sya’ban, kemudian Ia akan mengampuni semua makhluk-Nya kecuali orang musyrik dan musyahin (orang munafik yang menebar kebencian antar sesama umat Islam)”. (HR Thabrani fi Al Kabir no 16639, Daruquthni fi Al Nuzul 68, Ibnu Majah no 1380, Ibnu Hibban no 5757, Ibnu Abi Syaibah no 150, Al Baihaqi fi Syu’ab al Iman no 6352, dan Al Bazzar fi Al Musnad 2389. Peneliti hadis Al Haitsami menilai para perawi hadis ini sebagai orang-orang yang terpercaya. Majma’ Al Zawaid 3/395)
Ulama Wahabi, Nashiruddin al-Albani yang biasanya menilai lemah (dlaif) atau palsu (maudlu') terhadap amaliyah yang tak sesuai dengan ajaran mereka, kali ini ia tak mampu menilai dlaif hadis tentang Nishfu Sya'ban,
bahkan ia berkata tentang riwayat diatas: "Hadis ini sahih" (Baca as-Silsilat ash-Shahihah 4/86)
إِنَّ اللهَ لَيَطَّلِعُ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيْعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ (صحيح) اهـ  السلسلة الصحيحة للالباني (4/ 86)

Hadis Kedua
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ g اِنَّ اللهَ تَعَالَى يَدْنُوْ مِنْ خَلْقِهِ فَيَغْفِرُ لِمَنِ اسْتَغْفَرَ إِلاَّ الْبَغِيَّ بِفَرْجِهَا وَالْعَشَّارَ (رواه الطبراني في الكبير وابن عدي عن عثمان بن أبي العاص وقال الشيخ المناوي ورجاله ثقات اهـ التيسير بشرح الجامع الصغير 1/551)
"Rasulullah Saw bersabda: Sesungguhnya (rahmat) Allah mendekat kepada hambanya (di malam Nishfu Sya'ban), maka mengampuni orang yang meminta ampunan, kecuali pelacur dan penarik upeti" (HR al-Thabrani dalam al-Kabir dan Ibnu 'Adi dari Utsman bin Abi al-'Ash. Syaikh al-Munawi berkata: Perawinya terpercaya. Baca Syarah al-Jami' ash-Shaghir 1/551)

Hadis Ketiga
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ g يَنْزِلُ اللهُ تَعَالَى لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِكُلِّ نَفْسٍ إِلاَّ إِنْسَانًا فِي قَلْبِهِ شَحْنَاءُ أَوْ مُشْرِكًا بِاللهِ عَزَّ وَجَلَّ (قال الحافظ ابن حجر هذا حديث حسن أخرجه الدارقطني في كتاب السنة عن عبد الله بن سليمان على الموافقة وأخرجه ابن خزيمة في كتاب التوحيد عن أحمد بن عبد الرحمن بن وهب عن عمه اهـ الأمالي 122)
“Rasulullah Saw bersabda: (Rahmat) Allah turun di malam Nishfu Sya’ban maka Allah akan mengampuni semua orang kecuali orang yang di dalam hatinya ada kebencian kepada saudaranya dan orang yang menyekutukan Allah" (al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: "Hadis ini hasan. Diriwa-yatkan  oleh  Daruquthni  dalam  as-Sunnah  dan   Ibnu
Khuzaimah dalam at-Tauhid, Baca al-Amali 122)
Mengenai salatnya, Ulama ahli fikih dan hadis sepakat bahwa hadis tentang salat dengan niat 'salat sunah malam Nishfu Sya'ban' adalah hadis maudlu' (palsu), sebagai-mana salat 'Raghaib' di awal bulan Rajab. Namun jika seseorang melakukan salat sunah mutlak seperti salat Hajat atau salat Tasbih, maka diperbolehkan. Hal ini berdasarkan hadis dari Aisyah bahwa Rasulullah Saw melakukan salat sunah mutlak di malam tersebut (HR Al Baihaqi fi Syu'ab Al Iman no 3675, menurutnya hadits ini Mursal yang baik)
عَنِ الْعَلاَءِ بْنِ الْحَارِثِ اَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَامَ رَسُوْلُ اللهِ e مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّى فَأَطَالَ السُّجُودَ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ قَدْ قُبِضَ، فَلَمَّا رَأَيْتُ ذَلِكَ قُمْتُ حَتَّى حَرَّكْتُ إِبْهَامَهُ فَتَحَرَّكَ فَرَجَعَ، فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ السُّجُودِ وَفَرَغَ مِنْ صَلاَتِهِ قَالَ: يَا عَائِشَةُ أَوْ يَا حُمَيْرَاءُ أَظَنَنْتِ أَنَّ النَّبِيَّ e قَدْ خَاسَ بِكِ؟ قُلْتُ: لاَ وَاللهِ يَا رَسُوْلَ اللهِ وَلَكِنِّي ظَنَنْتُ أَنْ قُبِضْتَ طُوْلَ سُجُوْدِكَ، قَالَ: أَتَدْرِي أَيَّ لَيْلَةٍ هَذِهِ؟ قُلْتُ: اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: هَذِهِ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يَطَّلِعُ عَلَى عِبَادِهِ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِلْمُسْتَغْفِرِيْنَ وَيَرْحَمُ الْمُسْتَرْحِمِيْنَ وَيُؤَخِّرُ أَهْلَ الْحِقْدِ كَمَا هُمْ، رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ. وَقَالَ هَذَا مُرْسَلٌ جَيِّدٌ وَيُحْتَمَلُ أَنْ يَكُوْنَ الْعَلاَءُ أَخَذَهُ مِنْ مَكْحُوْلٍ وَاللهُ أَعْلَمُ (شعب الإيمان للبيهقي)
“Dari 'Ala' bin Harits bahwa Aisyah berkata: “Rasulullah bangun di tengan malam kemudian beliau salat, kemudian sujud sangat lama, sampai saya menyangka bahwa beliau wafat. Setelah itu saya bangun dan saya gerakkan kaki Nabi dan ternyata masih bergerak. Kemudian Rasul bangkit dari sujudnya setelah selesai melakukan shalatnya, Nabi berkata “Wahai Aisyah, apakah kamu mengira Aku berkhianat padamu?”, saya berkata “Demi Allah, tidak, wahai Rasul, saya mengira engkau telah tiada karena sujud terlalu lama.” Rasul bersabda “Tahukauh kamu malam apa sekang ini?” Saya menjawab “Allah dan Rasulnya yang tahu”. Rasulullah bersabda “ini adalah malam Nishfu Sya’ban, sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla memperhatikan hamba-hamba-Nya pada malam Nishfu Sya’ban, Allah akan mengampuni orang-orang yang meminta ampunan, mengasihi orang-orang yang meminta dikasihani, dan Allah tidak akan memprioritaskan orang-orang yang pendendam”. (HR Al Baihaqi fi Syuab Al Iman no 3675, menurutnya hadits ini Mursal yang baik)
Begitu pula beberapa fatwa Ulama, diantaranya: (1) “Ibnu Taimiyah ditanya soal shalat pada malam nishfu Sya’ban. Ia menjawab: Apabila seseorang shalat sunah muthlak pada malam nishfu Sya’ban sendirian atau berjamaah, sebagaimana dilakukan oleh segolongan ulama salaf, maka hukumnya adalah baik. Adapun kumpul-kumpul di masjid dengan shalat yang ditentukan, seperti salat seratus raka’at dengan membaca surat al Ikhlash sebanyak seribu kali, maka ini adalah perbuata bid’ah yang sama sekali tidak dianjurkan oleh para ulama”. (Majmú' Fatáwá Ibnu Taymiyyah, II/469)
(2) “Ibnu Taimiyah berkata: Dari beberapa hadis dan pandapat para sahabat menunjukkan bahwa malam Nishfu Sya’ban memiliki keutamaan tersendiri. Sebagian ulama Salaf melaksanakan salat sunah secara khusus di malam tersebut”. (Faidl al-Qadír, Syaikh al-Munawi, II/302)

4.     Istighfar Untuk Kaum Muslimin
Ada sebuah pertanyaan dari pengurus takmir masjid di kawasan Kertajaya (10/03/2013) yang nadanya adalah ‘menjebak’ dan akan diarahkan kepada bid’ah. Yaitu terkait bacaan Istighfar setelah salat yang berupa tambahan “Li wa li waalidayya wa li jami’i al-muslimina wa al-muslimat…” Apakah tambahan doa itu berdasarkan hadis?
Saya jawab: “Bukan hanya hadis, tapi perintah al-Quran. Yaitu Surat Muhammad: 19;
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ [محمد/19[
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mu'min, laki-laki dan perempuan”
Allah juga mengisahkan doa Nabi Ibrahim:
رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ [إبراهيم/41]
“Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapakku dan sekalian orang-orang mu'min pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)" (Ibrahim: 41)
Begitu pula sebuah hadis:
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ h قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ g: مَنِ اسْتَغْفَرَ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ كَتَبَ اللهُ لَهُ بِكُلِّ مُؤْمِنٍ وَمُؤْمِنَةٍ حَسَنَةً (رواه الطبراني بإسناد حسن)
“Barangsiapa memintakan ampunan bagi orang-orang mu'min, laki-laki dan perempuan, maka Allah mencatat kebaikan baginya dengan setiap orang mu'min laki-laki dan perempuan” (HR Thabrani dengan sanad yang hasan)
Ia pun masih mengejar: “Tapi kan itu menyalahi hadis tentang bacaan Istighfar?” Saya jawab: “Pak, jika ada dua riwayat hadis kemudian digabung, maka tidak bisa disebut bid’ah. Sebab sama-sama memiliki dalil. Sama halnya dengan Abdullah bin Umar yang tahallul dengan cara menggundul habis rambut dan mencukur jenggotnya. Menurut para ahli hadis yang dilakukan Abdullah bin Umar ini adalah sebagai pengamalan dari Surat al-Fath: 27. Ketika beliau menggabung 2 hal ini tidak ada sahabat yang mengatakan bid’ah. Karena ada dalilnya”
Ibnu Umar juga menambah bacaan dalam Tasyahhud:
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ قَالَ ابْنُ عُمَرَ زِدْتُ فِيهَا وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ (رواه أبو داود 826)
"Dalam kalimat Syahadat salat, Ibnu Umar berkata: Saya tambahkan bacaan Wahdahu la syarika lahu…" (Abu Dawud 826. Bahkan dinilai sahih oleh Albani)
Ia pun akhirnya manggut-manggut…
Sesampainya di rumah saya buka kitab-kitab, ternyata ditemukan penjelasan dari Ibnu al-Qayyim:
قَالَ الْعَلاَّمَةُ ابْنُ الْقَيِّمِ رَحِمَهُ اللهُ "فَكَمَا يُحِبُّ [أَيِ الْمُسْلِمُ] أَنْ يَسْتَغْفِرَ لَهُ أَخُوْهُ الْمُسْلِمُ كَذَلِكَ هُوَ أَيْضاً يَنْبَغِي أَنْ يَسْتَغْفِرَ لأَخِيْهِ الْمُسْلِمِ: رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَقَدْ كَانَ بَعْضُ السَّلَفِ يَسْتَحِبُّ لِكُلِّ أَحَدٍ أَنْ يُدَاوِمَ عَلَى هَذَا الدُّعَاءِ كُلَّ يَوْمٍ سَبْعِيْنَ مَرَّةً، فَيَجْعَلُ لَهُ مِنْهُ وِرْداً لاَ يُخِلُّ بِهِ. وَسَمِعْتُ شَيْخَنَا ـ أيْ ابْنَ تَيْمِيَّةَ ـ يَذْكُرُهُ، وَذَكَرَ فِيْهِ فَضْلاً عَظِيْماً لاَ أَحْفَظُهُ (فقه الأدعية والأذكار 2 / 228)
“Sebagaimana seseorang senang untuk didoakan oleh orang lain, maka ia dianjurkan untuk memintakan ampunan bagi saudara muslim lainnya. Kemudian ia membaca: Ya Allah, ampuni dosa saya, kedua orang tua saya dan muslimin, muslimat, mukminin dan mukminat”. Dan sebagian ulama salaf menganjurkan bagi tiap orang agar rutin membaca doa ini setiap hari 70 kali, dan menjadikannya sebagai wiridan. Saya mendengar guru kami –Ibnu Taimiyah- menyebutnya dan membuat keutamaan yang besar, tapi saya tidak menghafalnya” (Fiqh al-Ad’iyah wa al-Adzkar)

5.     Doa Saat Membaca al-Quran
Pertanyaan:
Ketika imam membaca surat al-Ghosyiyah di rokaat kedua salat Jumat, usai bacaan yang terakhir dengan kata-kata "al adzaba al akbar" (ayat 24)  sebagian makmun segera menjawab dengan suatu ucapan. Sebenarnya apa yang mereka ucapkan? Di dalam kitab apa saya bisa mene-mukan  sunah  ini?  Saya  sering  menjumpainya  di  masjid
Ampel. Rizal, Sby.

Jawaban:
Terimakasih Bapak Rizal atas pertenyaannya. Dalam sebuah hadis sahih riwayat Ibnu Khuzaimah (No 684) dijelaskan oleh Hudzaifah bahwa:
فَكَانَ لاَ يَمُرُّ بِأَيَةِ تَخْوِيْفٍ اِلاَّ اسْتَعَاذَ وَلاَ أَيَةِ رَحْمَةٍ اِلاَّ سَأَلَ وَلاَ اَيَةِ تَنْزِيْهٍ اِلاَّ سَبَّحَ (رواه ابن خزيمة رقم 684)
"Rasul tidak pernah membaca ayat tentang siksa kecuali beliau meminta perlindungan darinya, tidak membaca ayat tentang rahmat kecuali memintanya, dan tidak membaca ayat yang mensucikan Allah kecuali membaca tasbih".
Hadis ini menunjukkan bahwa membaca doa ketika imam membaca ayat tertentu yang berkaitan dengan siksa, nikmat atau yang lain, makmum boleh membaca doa tersebut. Sebab hadis di atas dilakukan oleh Rasulullah Saw ketika beliau salat dengan membaca 200 ayat setiap rakaatnya.
Ibnu Katsir juga mengutip hadis:
عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ يَقُوْلُ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ g مَنْ قَرَأَ مِنْكُمْ بِالتِّيْنِ وَالزَّيْتُوْنِ فَانْتَهَى إِلَى آخِرِهَا {أَلَيْسَ اللهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ} فَلْيَقُلْ بَلَى وَأَنَا عَلَى ذَلِكَ مِنَ الشَّاهِدِيْنَ. وَمَنْ قَرَأَ {لا أُقْسِمُ بِيَوْمِ الْقِيَامَةِ} فَانْتَهَى إِلَى {أَلَيْسَ ذَلِكَ بِقَادِرٍ عَلَى أَنْ يُحْيِيَ الْمَوْتَى} فَلْيَقُلْ بَلَى. وَمَنْ قَرَأَ: {وَالْمُرْسَلات} فَبَلَغَ {فَبِأَيِّ حَدِيثٍ بَعْدَهُ يُؤْمِنُونَ} فَلْيَقُلْ آمَنَّا بِاللهِ. وَرَوَاهُ أَحْمَدُ عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عُيَيْنَةَ. وَرَوَاهُ التُّرْمُذِي عَنِ ابْنِ أَبِي عُمَرَ عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عُيَيْنَةَ (تفسير ابن كثير ج 8 / ص 284)
“Barangsiapa membaca surat at-Thin dan sampai pada ayat terakhir, maka bacalah: "Wa ana ala dzalika minasy syahidin", dan barangsiapa membaca surat al-Qiyamat dan sampai pada ayat terakhir, maka bacalah: “Balaa”. Dan barangsiapa membaca surat al-Mursalaat dan sampai pada ayat terakhir, maka bacalah " Amanna billah". (Ibnu Katsir 8/284 mengutip hadis riwayat Abu Dawud No 887)
Dengan demikian membaca doa dalam salat ketika Imam sedang baca al Quran adalah boleh bahkan dalam kitab Ibnu Katsir adalah dianjurkan berdasarkan beberapa riwayat hadis. Semoga bermanfaat.

6.     Dahi Hitam Tanda Sujud?
Pertanyaan:
Sering  saya  jumpai  di beberapa  pengajian  yang para jamaahnya terlihat memiliki tanda 'hitam' di dahinya, seolah mereka memiliki tanda kesalehan ibadah. Benarkah tanda hitam tersebut sebagai bekas dari ibadah? Busthomi, sby

Jawaban:
Allah Swt berfirman yang artinya: "tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud (QS al Fath:29). Namun, yang dimaksud 'tanda' disini bukan tanda hitam  di dahi seperti yang  dijumpai saat ini,  sebagaimana
riwayat berikut ini:
عَنْ سَالِمٍ أَبِى النَّضْرِ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى ابْنِ عُمَرَ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ قَالَ مَنْ أَنْتَ؟ قَالَ أَنَا حَاضِنُكَ فُلاَنٌ وَرَأَى بَيْنَ عَيْنَيْهِ سَجْدَةً سَوْدَاءَ فَقَالَ: مَا هَذَا الأَثَرُ بَيْنَ عَيْنَيْكَ؟ فَقَدْ صَحِبْتُ رَسُولَ اللهِ g وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ j فَهَلْ تَرَى هَا هُنَا مِنْ شَىْءٍ؟ (رواه البيهقي في السنن الكبرى رقم 3698)
“Dari Salim Abu Nadhr, ada seorang yang datang menemui Ibnu Umar. Setelah orang tersebut mengucapkan salam, Ibnu Umar bertanya kepadanya, “Siapakah anda?”. “Aku adalah anak asuhmu”, jawab orang tersebut. Ibnu Umar melihat ada bekas sujud yang berwarna hitam di antara kedua matanya. Beliau berkata kepadanya, Bekas apa yang ada di antara kedua matamu? Sungguh aku (Ibnu Umar) telah lama bershahabat dengan Rasulullah, Abu Bakr, Umar dan Utsman. Apakah kau lihat ada bekas tersebut pada dahiku? (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3698)
Begitu pula:
عَنْ حُمَيْدٍ هُوَ ابْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ: كُنَّا عِنْدَ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ إِذْ جَاءَهُ الزُّبَيْرُ بْنُ سُهَيْلِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ فَقَالَ قَدْ أَفْسَدَ وَجْهَهُ وَاللهِ مَا هِىَ سِيمَاءُ وَاللهِ لَقَدْ صَلَّيْتُ عَلَى وَجْهِى مُذْ كَذَا وَكَذَا، مَا أَثَّرَ السُّجُودُ فِى وَجْهِى شَيْئًا (رواه البيهقي في السنن الكبرى رقم 3701)
“Dari Humaid bin Abdirrahman, aku berada di dekat as Saib bin Yazid ketika seorang yang bernama az Zubair bin Suhail bin Abdirrahman bin Auf datang. Melihat keda-tangannya, as Saib berkata, “Sungguh dia telah merusak wajahnya. Demi Allah bekas di dahi itu bukanlah bekas sujud. Demi Allah aku telah shalat dengan menggunakan wajahku ini selama sekian waktu lamanya namun sujud tidaklah memberi bekas sedikitpun pada wajahku” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3701).
Maksud dari ayat diatas diantaranya dijelaskan oleh Syaikh ash-Shawi:
{قوله سِيمَاهُمْ فِى وُجُوهِهِم مِّنْ أَثَرِ السُّجُودِ} اخْتُلِفَ فِي تِلْكَ السِّيْمَا فَقِيْلَ اِنَّ مَوَاضِعَ سُجُوْدِهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ تُرَى كَالْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ وَقِيْلَ هُوَ صَفْرَةُ الْوُجُوْهِ مِنْ سَهْرِ اللَّيْلِ وَقِيْلَ الْخُشُوْعُ الَّذِي يَظْهَرُ عَلَى اْلاَعْضَاءِ حَتَّى يُتَرَاءَى اَنَّهُمْ مَرْضَى لَيْسُوْا بِمَرْضَى وَلَيْسَ الْمُرَادُ بِهِ مَا يَصْنَعُهُ بَعْضُ الْجَهَلَةِ الْمُرَائِيْنَ مِنَ الْعَلاَمَةِ فِي الْجَبْهَةِ فَاِنَّهُ مِنْ فِعْلِ الْخَوَارِجِ (حاشية الصاوي على الجلالين ج 4 ص 89)
“Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud (al-Fath: 29). Para ulama berbeda pendapat mengenai makna ‘tanda-tanda’ tersebut. Ada yang mengatakan bahwa tempat sujud mereka di hari kiamat akan seperti rembulan di malam purnama. Ada yang mengatakan pucatnya wajah karena tidak tidur di malam hari karena ibadah. Ada yang mengatakan sebagai kekhusyukan yang ada pada anggota tubuh sehingga terlihat sakit, padahal mereka tidak sakit. Dan yang dimaksud ayat diatas bukanlah apa yang dibuat-buat sebagain orang bodoh yang suka pamir, yaitu tanda di jidat, sebab itu adalah perbuatan kelompok Khawarij” (Tafsir ash-Shawi 4/89)

7.     Shalawat Untuk Penutup Majlis
Pertanyaan:
Sudah menjadi tradisi di masyarakat setiap kali ada pertemuan selalu ditutup dengan pembacaan shalawat, seakan-akan shalawat tersebut menjadi aba-aba untuk perpisahan. Bagaimanakah hukumnya? Syarif, Sidoarjo

Jawaban:
Membaca shalawat kepada Nabi Muhammad Saw merupakan perintah langsung dari Allah (al-Ahzab: 56), membaca shalawat juga tidak ada pembatasan waktu dan berapa jumlah bilangannya. Yang jelas, umat Islam membaca shalawat minimal 17 kali selama sehari-semalam saat menjalankah ibadah salat.
Khusus membaca shalawat saat menutup pertemuan seperti yang berlaku di masyarakat saat ini memiliki landa-
san dalil dari hadis Rasulullah Saw. yang berbunyi:
عَنْ جَابِرٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ g قَالَ مَا جَلَسَ قَوْمٌ مَجْلِسًا ثُمَّ تَفَرَّقُوْا عَنْ غَيْرِ صَلاَةٍ عَلَى النَّبِي g إِلاَّ تَفَرَّقُوْا عَلَى أَنْتَنَ مِنْ رِيْحِ الْجِيْفَةِ (رواه النسائي في السنن الكبرى رقم 10244)
"Tidak ada satu kelompok yang duduk dalam satu majlis kemudian mereka membubarkan diri tanpa membaca shalawat kepada Nabi Saw, kecuali mereka bubar dalam keadaan lebih busuk daripada bau bangkai" (HR an-Nasai dalam Sunan al-kubra No 10244)
Hadis yang senada juga diriwayatkan oleh al-Hakim (No 2017), ia mengatakan sahih dan disetujui oleh adz-Dzahabi, juga oleh Turmudzi (No 3708) dan ia mengatakan "Hadis ini Hasan-Sahih"
Ahli hadis al-Hafidz as-Sakhawi (murid al-Hafidz Ibnu Hajar) mengatakan bahwa hadis diatas adalah dalil untuk menutup majlis atau pertemuan dengan bacaan shalawat kepada Nabi Muhammad Saw (al-Qaul al-Badi' fi Shalati 'ala al-habin asy-syafi' 242)

8.     Menuduh Kafir
Pertanyaan:
Saya pernah mendengarkan Radio yang menjelaskan bahwa orang yang berdoa di dekat kubur atau bertawassul adalah perbuatan syirik dan kufur yang menyebabkan orang tersebut keluar dari Islam. Bolehkah bagi sesama Muslim menuduh hal tersebut? Rizqi, Sby

Jawaban:
Menuduh umat Islam yang bersyahadat, salat dan lainnya adalah dilarang, sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ h أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ g يَقُولُ لاَ يَرْمِي رَجُلٌ رَجُلاً بِالْفُسُوقِ وَلاَ يَرْمِيهِ بِالْكُفْرِ إِلاَّ ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ إِنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كَذَلِكَ (رواه البخاري رقم 5585)
"Tidaklah seseorang menuduh kepada orang lain dengan kefasikan (dosa besar) atau dengan kekufuran, kecuali tuduhan itu kembali kepada penuduh, jika yang dituduh tidak sesuai dengan tuduhannya" (HR al-Bukhari No 5585 dari Abu Dzarr)
Bagaimana bisa tuduhan itu kembali kepada pelaku atau penuduh? Syaikh al-Qasthalani menjawab: "Sebab, jika yang menuduh itu benar, maka orang yang dituduh adalah kafir. Namun jika penuduh tersebut dusta (karena yang dituduh tidak kafir), maka penuduh tersebut telah menjadikan iman sebagai kekufuran. Dan barangsiapa yang menjadikan iman sebagai kekufuran, maka ia telah Kafir. Hal ini sebagaimana penafsiran al-Bukhari" (Irsyaad as-Saari 'ala Syarh Sahih al-Bukhaarii 9/65)
Rasulullah Saw juga bersabda tentang tuduhan syirik:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ g إِنَّ مَا أَتَخَوَّفُ عَلَيْكُمْ رَجُلٌ قَرَأَ الْقُرْآنَ حَتَّى إِذَا رُئِيَتْ بَهْجَتُهُ عَلَيْهِ وَكَانَ رِدْئًا لِلإِسْلاَمِ غَيَّرَهُ إِلَى مَا شَاءَ اللهُ فَانْسَلَخَ مِنْهُ وَنَبَذَهُ وَرَاءَ ظَهْرِهِ وَسَعَى عَلَى جَارِهِ بِالسَّيْفِ وَرَمَاهُ بِالشِّرْكِ قَالَ قُلْتُ يَا نَبِيَّ اللهِ أَيُّهُمَا أَوْلَى بِالشِّرْكِ الْمَرْمِيُّ أَمِ الرَّامِي؟ قَالَ بَلِ الرَّامِي (رواه ابن حبان رقم 81 عن حذيفة)
“Sungguh yang paling Aku takutkan bagi kalian adalah seseoarang yang membaca al-Quran, sehingga ketika keagungannya terlihat pada dirinya dan ia membela Islam, maka ia merubahnya sesuai yang dikehendaki Allah. Kemudian ia menggantinya dan melemparkannya ke belakangnya, dan ia berjalan di depan tetangganya dengan membawa pedang dan menuduhnya dengan kesyirikan. Hudzaifah bertanya: Wahai Nabi, siapakah dari keduanya yang lebih layak dengan syirik, orang yang dituduh atau penuduh? Rasulullah menjawab: Yaitu penuduh tersebut” (HR Ibnu Hibban No 81 dari Hudzaifah)
Rasulullah Saw juga bersabda:
قَالَ رَسُولُ اللهِ  gكَفُّوا عَنْ أَهْلِ لا إِلَهَ إِلا اللهُ لا تُكَفِّرُوهُمْ بِذَنْبٍ فَمَنْ أَكْفَرَ أَهْلَ لا إِلَهَ إِلا اللهُ فَهُوَ إِلَى الْكُفْرِ أَقْرَبُ (رواه الطبراني في الكبير عن ابن عمر)
“Menghindarlah dari umat Islam yang mengucapkan kalimat tauhid ‘Tiada Tuhan selain Allah’. Jangan kau hukumi kafir lantaran mereka melakukan sebuah dosa. Barangsiapa yang mengkafirkan mereka, maka dia lebih dekat dengan kekufuran” (HR. Thabrani dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir No. 12912 dari Ibnu Umar)

9.     Haramkah Mencukur Jenggot?
Pertanyaan:
Sering kita temukan saat ini para pengikut ulama Saudi Arabia menfatwakan haramnya mencukur jenggot dan wajibnya merawat jenggot hingga panjang secara alami. Mereka pada umumnya secara keras mengatakan haram, benarkah?

Jawaban:
Masalah ini termasuk dalam ranah khilaf para ulama sejak dahulu. Berikut ini kita tampilkan hadis dan atsar dalam masalah ini:
جَزُّوْا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوْا اللُّحَى خَالِفُوْا الْمَجُوْسَ (أخرجه مسلم رقم 260 عن أبى هريرة)
“Cukurlah kumis kalian dan biarkan jenggot kalian. Berbedalah dengan Majusi” (HR Muslim No 26o dari Abu Hurairah)
أَعْفُوْا اللُّحَى وَجَزُّوْا الشَّوَارِبَ وَغَيِّرُوْا شَيْبَكُمْ وَلاَ تَشَبَّهُوْا بِالْيَهُوْدِ وَالنَّصَارَى (أخرجه أحمد رقم 8657 والبيهقى رقم 673 عن أبى هريرة ، قال المناوى : بإسناد جيد)
“Biarkan jenggot kalian, potong kumis kalian, rubahlah uban kalian dan janganlah kalian menyamai dengan Yahudi dan Nashrani” (HR Ahmad No 8657 dan Baihaqi No 673 dari Abu Hurairah, sanadnya jayid)
خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ (رواه البخاري رقم 5892  ومسلم رقم 259)
“Berbedalah kalian semua dengan Musyrikin. rawatlah jenggot kalian dan cukurlah kumis kalian” (HR Bukhari No 5892 dan Muslim No 259 dari Ibnu Umar)
Dalam riwayat ini perawi hadisnya adalah Abdullah bin Umar. Dalam riwayat Bukhari terdapat redaksi kelanjutan hadis diatas:
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا حَجَّ أَوِ اعْتَمَرَ قَبَضَ عَلَى لِحْيَتِهِ، فَمَا فَضَلَ أَخَذَهُ (رواه البخاري رقم 5892)
“Ibnu Umar ketika haji atau umrah memegang jenggotnya, maka apa yang melebihi (genggamannya) ia memotongnya” (HR Bukhari No 8592)
Al-Hafidz Ibnu Hajar menyampaikan riwayat yang lain:
وَقَدْ أَخْرَجَهُ مَالِك فِي الْمُوَطَّأ " عَنْ نَافِع بِلَفْظِ كَانَ اِبْن عُمَر إِذَا حَلَقَ رَأْسه فِي حَجّ أَوْ عَمْرَة أَخَذَ مِنْ لِحْيَته وَشَارِبه " (فتح الباري لابن حجر - ج 16 / ص 483)
“Dan telah diriwayatkan oleh Malik dalam al-Muwatha’ dari Nafi’ dengan redaksi: Ibnu Umar jika mencukur rambutnya saat haji atau umrah, ia juga memotong jenggot dan kumisnya” (Fath al-Baarii 16/483)
Dalam riwayat berbeda dinyatakan:
عَنْ جَابِرٍ قَالَ كُنَّا نُعْفِي السِّبَالَ إِلاَّ فِى حَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ (ابو داود . إسناده حسن اهـ فتح الباري 350/10)
Dari Jabir bin Abdillah “Kami (Para Sahabat) memanjangkan jenggot kami kecuali saat haji dan umrah” (HR Abu Dawud, dinilai hasan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar)
Ahli hadis Abdul Haq al-‘Adzim berkata:
وَفِي الْحَدِيث أَنَّ الصَّحَابَة j كَانُوا يُقَصِّرُونَ مِنْ اللِّحْيَة فِي النُّسُكِ (عون المعبود ج 9 / ص 246)
“Di dalam riwayat tersebut para sahabat memotong dari jenggot mereka saat ibadah haji atau umrah” (Aun al-Ma’bud Syarah Sunan Abi Dawud 9/246)
Dari dua atsar ini menunjukkan bahwa mencukur jenggot tidak haram, karena Abdullah bin Umar dan Sahabat yang lain mencukurnya saat ibadah haji atau umrah. Kalaulah mencukur jenggot haram, maka tidak akan dilakukan oleh para sahabat, terlebih Abdullah bin Umar adalah sahabat yang dikenal paling tekun dalam meneladani Rasulullah Saw hingga ke tempat-tempat dimana Rasulullah pernah melakukan salat.
Imam an-Nawawi berkata:
(وَفِّرُوا اللِّحَى) فَحَصَلَ خَمْس رِوَايَات أَعْفُوا وَأَوْفُوا وَأَرْخُوا وَأَرْجُوا وَوَفِّرُوا وَمَعْنَاهَا كُلّهَا: تَرْكُهَا عَلَى حَالهَا. هَذَا هُوَ الظَّاهِر مِنْ الْحَدِيث الَّذِي تَقْتَضِيه أَلْفَاظه وَهُوَ الَّذِي قَالَهُ جَمَاعَة مِنْ أَصْحَابنَا وَغَيْرهمْ مِنْ الْعُلَمَاء. وَقَالَ الْقَاضِي عِيَاض رَحِمَهُ الله تَعَالَى يُكْرَه حَلْقهَا وَقَصّهَا وَتَحْرِيقهَا وَأَمَّا الْأَخْذ مِنْ طُولهَا وَعَرْضهَا فَحَسَن (شرح النووي على مسلم - ج 1 / ص 418)
“Dari 5 redaksi riwayat, makna kesemuanya adalah membiarkan jenggot tumbuh sesuai keadaannya. Ini berdasarkan teks hadisnya. Inilah pendapat sekelompok ulama Syafiiyah dan lainnya. Qadli Iyadl berkata: Makruh untuk memotong dan mencukur jenggot. Adapun memotong jenggot dari arah panjang dan lebarnya, maka bagus” (Syarah Muslim 1/418)
Dengan demikian, dapat disimpulkan:
«حَلْقُ اللِّحْيَةِ» ذَهَبَ جُمْهُوْرُ الْفُقَهَاءِ: الْحَنَفِيَّةِ وَالْمَالِكِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ وَهُوَ قَوْلٌ عِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ إِلَى أَنَّهُ يَحْرُمُ حَلْقُ اللِّحْيَةِ لأَنَّهُ مُنَاقِضٌ لِلأَمْرِ النَّبَوِيِّ بِإِعْفَائِهَا وَتَوْفِيْرِهَا ... وَاْلأَصَحُّ عِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ: أَنَّ حَلْقَ اللِّحْيَةِ مَكْرُوْهٌ (الموسوعة الفقهية ج 2 / ص 12894)
“Bab tentang mencukur jenggot. Mayoritas ulama fikih, yaitu Hanafiyyah, Malikiyah, Hababilah dan satu pendapat dalam madzhab Syafiiyah menyatakan bahwa mencukur jenggot hukumnya haram, karena bertentangan dengan perintah Nabi untuk membiarkan jenggot hingga sempurna. Dan pendapa yang lebih unggul dalam madzhab Syafiiyah bahwa mencukur jenggot adalah makruh” (Mausu’ah al-Fiqhiyyah 2/12894)

10.  Akad Nikah Di Masjid
Pertanyaan:
Masjid adalah untuk ibadah salat, bolehkan masjid dijadikan tempat akad nikah? Hamba Allah, Sby

Jawaban:
Dalam sebuah hadis memang dijelaskan bahwa masjid diperuntukkan melakukan dzikir, salat dan membaca al-Quran (HR Muslim No 429). Namun bukan berarti tidak boleh digunakan untuk kegiatan yang lain. Sebab pernah ada peristiwa orang-orang kulit hitam (habasyah) bersenang-senang di masjid Nabawi dengan bermain/ berlatih perang-perangan setelah Hari Raya dan Rasulullah melihatnya (HR al-Bukhari No 934 dari Aisyah)
Terkait dengan pertanyaan ini, maka mayoritas ulama fikih berpendapat bahwa akad nikah di masjid adalah sunah:
اِنَّ جُمْهُوْرَ الْفُقَهَاءِ  قَدْ ذَهَبُوْا  إِلَى اسْتِحْبَابِ عَقْدِ النِّكَاحِ فِي الْمَسْجِدِ وَهُمُ الْحَنَفِيَّةُ كَمَا فِي فَتْحِ الْقَدِيْرِ (3/189) وَالشَّافِعِيَّةُ كَمَا فِي إِعَانَةِ الطَّالِبِيْنَ (3/273) وَالْحَنَابِلَةُ كَمَا فِي الرَّوْضِ الْمُرَبَّعِ (6/243 مع الحاشية) وَقَرَّرَهُ الشَّيْخُ ابْنُ تَيْمِيَّةَ فِي مَجْمُوْعِ الْفَتَاوَى (32/18)، وَابْنُ الْقَيِّمِ فِي إِعْلاَمِ الْمُوَقِّعِيْنَ (3/126) اهـ  فتاوى واستشارات الإسلام اليوم (11/ 231)
Baik madzhab Hanafi (Fathul Qadir 3/189), Syafi'i (I'anat at-Thalibin 3/273) dan Hanbali (ar-Raudl al-Murabba' 6/243), begitu pula Ibnu Taimiyah (Majmu' Fatawa 32/18). Dengan berdasarkan bahwa nikah adalah sebuah ibadah. Juga sebuah hadis berikut: Rasulullah Saw bersabda yang artinya: "Ramaikanlah pernikahan, jadikan pernikahan di masjid dan tabuhkanlah dengan gendang" (HR Turmudzi, ia menilainya dlaif dan ulama yang lain juga mendlaifkannya)
Namun ahli hadis al-Hafidz as-Sakhawi berkata bahwa hadis ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Ibnu Mani' dan lainnya. Dengan demikian hadis ini berstatus hasan karena diperkuat (mutaba'ah) oleh riwayat lain. (al-Maqashid al-Hasanah 125)
حَدِيْثُ (أَعْلِنُوْا النِّكَاحَ وَاجْعَلُوْهُ فِي الْمَسَاجِدِ وَاضْرِبُوْا عَلَيْهِ بِالدُّفِّ) التُّرْمُذِي وَضَعَّفَهُ وَابْنُ مَاجَهْ وَابْنُ مَنِيْعٍ وَغَيْرُهُمْ عَنْ عَائِشَةَ مَرْفُوْعًا بِهَذَا وَهُوَ حَسَنٌ فَرَاوِيْهِ عِنْدَ التُّرْمُذِي وَإِنْ كَانَ ضَعِيْفًا فَإِنَّهُ قَدْ تُوْبِعَ كَمَا فِي ابْنِ مَاجَهْ وَغَيْرِهِ (المقاصد الحسنة للسخاوي ص: 125)
Hanya madzhab Malikiyah saja yang menghukumi nikah di masjid sebagai 'jawaz' (diperbolehkan, bukan sunah). Dari paparan argument diatas, tidak ada ulama yang melarang akad nikah di masjid.

11.  Berdzikir Menggunakan Tasbih
Pertanyaan:
Tasbih, alat yang dibuat berdzikir sekarang beragam bentuk, mulai dari kayu, beling, bahkan yang berbentuk digital (angka). Benarkah menggunakan tasbih dalam dzikir perbuatan bid’ah? Irham, Sby

Jawaban:
Rasulullah saw bersabda:
يَا نِسَاءَ الْمُؤْمِنِيْنَ عَلَيْكُنَّ باِلتَّهْلِيْلِ وَالتَّسْبِيْحِ وَالتَّقْدِيْسِ وَلاَ تَغْفُلْنَ فَتَنْسِيَنَّ الرَّحْمَةَ وَاعْقُدْنَ بِاْلأَنَامِلِ فَإِنَّهُنَّ مَسْئُوْلاَتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ (أخرجه أحمد رقم 27134 والطبرانى رقم 180 وأبو داود رقم 1501 والترمذى رقم 3583)
“Wahai wanita Mukminat, lakukanlah tahlil, tasbih dan taqdis. Janganlah kalian lupa, maka kalian lupa pada rahmat. Hitunglang dengan jar-jari. Sebab jari akan ditanya dan diminta jawaban” (HR Ahmad 27134, Thabrani 180, Abu Dawud 1501 dan turmudzi 3583)
Jari-jari  tangan  merupakan  alat  untuk  memudahkan
menghitung jumlah dzikir. namun bukan berarti menggunakan selain jari tangan tidak boleh. Sebab ada sebuah hadis:
عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِى وَقَّاصٍ h دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللهِ g عَلَى امْرَأَةٍ وَبَيْنَ يَدَيْهَا نَوًى أَوْ حَصًى تُسَبِّحُ بِهِ فَقَالَ أُخْبِرُكِ بِمَا هُوَ أَيْسَرُ عَلَيْكِ مِنْ هَذَا أَوْ أَفْضَلُ فَقَالَ «سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِى السَّمَاءِ وَسُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِى الأَرْضِ وَسُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ بَيْنَ ذَلِكَ وَسُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ وَاللهُ أَكْبَرُ مِثْلُ ذَلِكَ وَالْحَمْدُ لِلهِ مِثْلُ ذَلِكَ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ مِثْلُ ذَلِكَ وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ مِثْلُ ذَلِكَ ». رواه ابو داود والنسائي والترمذي والطبراني فى الدعاء . (روضة المحدثين - ج 10 / ص 466) قال الحافظ ابن حجر : حسن (نتائج الأفكار 77/1)
“Diriwayatkan dari Sa’ad Abi Waqqash bahwa Rasulullah masuk ke (tempat) seorang wanita yang di depannya ada 4000 kerikil yang digunakannya untuk membaca Tasbih. Kemudian Rasulullah Saw mengajarkan bacaan Tasbih….” (HR Abu Dawud, Nasai, Turmudzi dan Tabrani)
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: “Sanadnya hasan” (Raudlatul Muhadditsin 10/466). Dan disahihkan oleh al-Hakim, al-Hafidz adz-Dzahabi dan al-Hafidz as-Suyuthi
Hadis ini diperkuat oleh Atsar Abu Hurairah:
عَنْ نُعَيْمِ بْنِ الْمُحَرَّرِ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ  عَنْ جَدِّهِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ كَانَ لَهُ خَيْطٌ فِيْهِ أَلْفَا عُقْدَةٍ فَلاَ يَنَامُ حَتَّى يُسَبِّحَ بِهِ (حلية الأولياء لابي نعيم الحلية الاولياء - ج 1 / ص 383)
“Diriwayatkan bahwa Abu Hurairah memiliki tali yang terdiri dari 2000 ikatan (bundelan). Beliau tidak tidur sampai bertasbih dengannya” (Abu Nuaim, Hilyat al-Auliya’ 1/383)
Ibnu Sa’d meriwayatkan Atsar yang lain:
عَنْ حَكِيْمِ بْنِ الدَّيْلَمِي أَنَّ سَعْدًا كَانَ يُسَبِّحُ بِالْحَصَي (الطبقات الكبرى ج 3 / ص 143)
“Dari Hakim ad-Dailami bahwa Sa’d bin Abi Waqqash bertasbih dengan kerikil” (Thabaqat al-Kubra 3/143)

12.  Benarkah Isbal Haram?
Pertanyaan:
Benarkah Isbal Haram? Dan benarkah pula ancamannya adalah neraka? Amir Hamdi, Sby

Jawaban:
Berdasarkan pengertian dari Hadis, Isbal adalah memanjangkan pakaian (sarung/celana) di bawah mata kaki hingga menyentuh tanah. Hadis-hadisnya sangat banyak sekali, diantaranya:
ثَلاَثٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلاَ يُزَكِّيْهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ الْمُسْبِلُ إِزَارَهُ وَالْمَنَّانُ الَّذِى لاَ يُعْطِى شَيْئًا إِلاَّ مِنَّةً وَالْمُنْفِقُ سِلْعَتَهُ باِلْحَلَفِ الْكَاذِبِ (رواه مسلم رقم 106)
“Ada 3 orang yang tidak akan dilihat oleh Allah di hari kiamat dan tidak dibersihkan oleh Allah, serta mereka mendapat adzab yang pedih yaitu orang yang melakukan Isbal (memanjangkan pakaiannya), orang yang mengungkit-ungkit pemberiannya dan orang yang bersumpah palsu atas dagangannya” (HR Muslim No 106). Dan hadis:
مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الإِزَارِ فَفِى النَّارِ (رواه البخاري رقم 5787)
“Pakaian yang dibawah mata kaki maka ada di neraka” (HR Bukhari No 5787)
Namun hadis-hadis diatas masih umum, dan terdapat sekian banyak hadis yang mentakhsis (membatasi) keumumannya. Diantaranya:
لاَ يَنْظُرُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا (رواه البخاري رقم 5451 ) لاَ يَنْظُرُ اللهُ إِلَى  مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ (رواه مسلم رقم 2085)
“Allah tidak akan melihat seseorang di hari kiamat yang memanjangkan pakaiannya (Isbal) secara sombong” (HR Bukhari No 5451 dan Muslim No 2085).
Ketika Rasulullah bersabda demikian, kemudian Abu Bakar bertanya:
فَقَالَ أَبُوْ بَكْرٍ إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ ثَوْبِي يَسْتَرْخِي إِلاَّ أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ g إِنَّكَ لَنْ تَصْنَعَ ذَلِكَ خُيَلاَءَ (رواه البخاري رقم 3465)
“Sesungguhnya salah satu sisi pakaian saya memanjang ke bawah kecuali kalau saya menjaganya? Rasulullah saw menjawab: “Kamu melakukan itu tidak karena sombong” (HR Bukhari No 3465).
Artinya Rasulullah memberi keringanan bahwa jika Isbal dilakukan tidak bertujuan sombong adalah diperbolehkan. Dengan demikian hukumnya Isbal tidak haram dan faktor keharamannya adalah “Sombong”. Maka mengangkat pakaian diatas mata kaki adalah sunah, bukan wajib. Penjelasan ini diulas oleh Imam Nawawi dalam Syarah Muslim 1/128.

13.  Doa Hizib dari Ayat al-Quran
Pertanyaan:
Mengapa banyak ulama yang merangkai doa hizib dari al-Quran secara tidak berurutan? Bolehkah? Ust. Mahmud, Sby

Jawaban:
Ibnu Qayyim al-Jauzi (murid Ibnu Taimiyah) mengatakan:
فَالْقُرْآنُ هُوَ الشِّفَاءُ التَّامُّ مِنْ جَمِيْعِ اْلأَدْوَاءِ الْقَلْبِيَّةِ وَالْبَدَنِيَّةِ وَأَدْوَاءِ الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ (زاد المعاد - ج 4/ص 322)
“Al-Quran adalah media penyembuhan yang sempurna dari segala penyakit hati, fisik, penyakit dunia dan akhirat” (Zaad al-Ma’aad 4/322)
Beliau menggunakan dalil firman Allah:
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِين [الإسراء/82]
“Dan Kami turunkan dari Al Qur'an sesuatu yang menjadi penawar (kesembuhan) dan rahmat bagi orang-orang yang beriman…” (al-Isra’: 82).
Secara lebih khusus, al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi menulis dalam kitabnya “al-Itqaan” (tentang Ulum al-Quran) sebuah Bab Khusus mengenai “Khasiat-Khasiat al-Quran”. Beliau mengutip hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah putra Imam Ahmad bin Hanbal dalam Zawaaid al-Musnad, bahwa:
وَاَخْرَجَ عَبْدُ اللهِ بْنِ أَحْمَدَ فِي زَوَائِدِ الْمُسْنَدِ بِسَنَدٍ حَسَنٍ عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ قَالَ كُنْتُ عِنْدَ النَّبِي g فَجَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَقَالَ يَا نَبِيَّ اللهِ إِنَّ لِي أَخًا وَبِهِ وَجَعٌ قَالَ مَا وَجَعُهُ ؟ قَالَ بِهِ لَمَمٌ قَالَ فَائْتِنِي بِهِ، فَوَضَعَهُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَعَوَّذَهُ النَّبِيُّ g بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَأَرْبَعِ آيَاتٍ مِنْ أَوَّلِ سُوْرَةِ الْبَقَرَةِ وَهَاتَيْنِ اْلآيَتَيْنِ وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ وَآيَاتُ الْكُرْسِي وَثَلاَثُ آيَاتٍ مِنْ آخِرِ سُوْرَةِ الْبَقَرَةِ وَآيَةٍ مِنْ آلِ عِمْرَانَ شَهِدَ اللهُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ وَآيَةٍ مِنَ اْلأَعْرَافِ إِنَّ رَبَّكُمُ اللهُ وَآخِرِ سُوْرَةِ الْمُؤْمِنِيْنَ فَتَعَالَى اللهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ وَآيَةٍ مِنْ سُوْرَةِ الْجِنِّ وَإِنَّهُ تَعَالَى جَدُّ رَبِّنَا وَعَشْرِ آيَاتٍ مِنْ أَوَّلِ الصَّافَّاتِ وَثَلاَثِ آيَاتٍ مِنْ آخِرِ سُوْرَةِ الْحَشْرِ وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ، فَقَامَ الرَّجُلُ كَأَنَّهُ لَمْ يَشْكُ قَطُّ (رواه عبد الله بن احمد في زوائد المسند)
“Ada seorang A’robi (suku pedalaman) yang saudaranya sakit. Kemudian Rasulullah mendoakannya dari ayat al-Quran yang terdiri dari (1) Surat al-Fatihah, (2) Permulaan surat al-Baqarah sebanyak 4 ayat, (3) ‘Wa ilaahukum ilaahun waahidun, (4) ayat Kursi, (5) Akhir Surat al-Baqarah sebanyak 3 ayat, (6) Surat Ali Imran ayat 18, (7) Surat al-A’raf ayat 54, (8) Surat Jin ayat 3 (9) Permulaan Surat ash-Shaffaat sebanyak 10 ayat (10) akhir Surat al-Hasyr sebanyak 3 ayat (11) al-Ikhlas, dan (12) dua surat al-Mu’awwidzatain. Lalu ia berdiri seolah tidak pernah mengeluh sama sekali” (HR Abdullah bin Ahmad dalam Zawaid al-Musnad, al-Hafidz as-Suyuthi menilai sanadnya Hasan).
Al-Hafidz as-Suyuthi mengatakan:
وَغَالِبُ مَا يُذْكَرُ فِي ذَلِكَ كَانَ مُسْتَنَدُهُ تَجَارُبَ الصَّالِحِيْنَ (الإتقان في علوم القرآن - ج 1 / ص 423)
“Kebanyakan doa-doa yang diambil dari al-Quran (termasuk doa Hizib) bersumber dari praktek para ulama yang telah mujarab/mustajab” (al-Itqaan 2/423).
Dengan demikian hukumnya adalah diperbolehkan bahkan dianjurkan, karena memiliki dasar hadis dan diamalkan oleh para ulama.

14.  Hewan Qurban Untuk Mayit
Pertanyaan:
Kami memiliki orang tua yang telah wafat namun belum pernah melakukan qurban. Bolehkah kami menyembelih qurban untuk orang tua kami yang telah wafat? Terimakasih. Razikin, Gresik.

Jawaban:
Terkait hukum menyembelih qurban atas nama keluarga yang telah wafat para ulama berbeda pendapat. Bagi ulama yang memperbolehkan berdalil dengan atsar yang dilakukan oleh Sayidina Ali Karramallahu Wajhahu bahwa:
عَنْ عَلِىٍّ أَنَّهُ كَانَ يُضَحِّى بِكَبْشَيْنِ أَحَدُهُمَا عَنِ النَّبِىِّ g وَالآخَرُ عَنْ نَفْسِهِ فَقِيلَ لَهُ فَقَالَ أَمَرَنِى بِهِ يَعْنِى النَّبِىَّ g فَلاَ أَدَعُهُ أَبَدًا. قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ لاَ نَعْرِفُهُ إِلاَّ مِنْ حَدِيثِ شَرِيكٍ. وَقَدْ رَخَّصَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنْ يُضَحَّى عَنِ الْمَيِّتِ وَلَمْ يَرَ بَعْضُهُمْ أَنْ يُضَحَّى عَنْهُ. وَقَالَ عَبْدُ اللهِ بْنُ الْمُبَارَكِ أَحَبُّ إِلَىَّ أَنْ يُتَصَدَّقَ عَنْهُ وَلاَ يُضَحَّى عَنْهُ وَإِنْ ضَحَّى فَلاَ يَأْكُلْ مِنْهَا شَيْئًا وَيَتَصَدَّقْ بِهَا كُلِّهَا. قَالَ مُحَمَّدٌ قَالَ عَلِىُّ بْنُ الْمَدِينِىِّ وَقَدْ رَوَاهُ غَيْرُ شَرِيكٍ. قُلْتُ لَهُ أَبُو الْحَسْنَاءِ مَا اسْمُهُ فَلَمْ يَعْرِفْهُ. قَالَ مُسْلِمٌ اسْمُهُ الْحَسَنُ (رواه الترمذى 1574)
”Beliau menyembelih dua domba, yang satu atas nama Nabi Muhammad Saw (dan beliau telah wafat), dan yang kedua untuk dirinya sendiri. Ketika ditanya tentang hal ini, Sayidina Ali berkata: Rasulullah Saw yang telah memerintahkan hal ini pada saya, dan saya tidak pernah meninggalkannya selamanya” (HR al-Turmudzi No 1574) 
Dalam riwayat tersebut, Turmudzi berkata: “Sebagian ulama memberi keringanan untuk menyembelih hewan Qurban bagi mayit, namun ulama yang lain tidak memperbolehkannya. Abudllah bin Mubarak berkata: Saya lebih senang kalau disedekahkan atas nama mayit, bukan disembelihkan Qurban atas nama mayit. Jika di-Qurbankan maka tidak boleh memakannya sedikitpun dan bersedekah keseluruhannya”. Dan Imam Turmudzi mencantumkan atsar ini dalam Bab “Qurban atas nama mayit”, bukan Bab “Wasiat Qurban”
Diriwayatkan pula dari Aisyah
قَالَتْ وَضَحَّى رَسُولُ اللهِ g عَنْ نِسَائِهِ بِالْبَقَرِ (رواه البخارى رقم 294 ومسلم رقم 2976)
Rasulullah Saw berqurban 1 ekor sapi untuk para istri-istri beliau” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Dan  diantara  istri  beliau  adalah  Khadijah yang   telah
wafat terlebih dahulu.
Dan jika sebelum wafat telah berwasiat agar kelak disembelihkan qurban untuk dirinya, maka wajib bagi para putra dan ahli warisnya untuk melakukan qurban atas nama orang tua yang meninggal. Bahkan dalam sebuah hadis dijelaskan "Diantara kewajiban seorang anak untuk berbakti kepada orang tua yang telah wafat adalah merealisasikan wasiat orang tuanya" (HR al-Hakim No 7260)

15.  Iuran/Arisan Qurban
Pertanyaan:
Fenomena  yang  berkembang  saat  ini  di  masyarakat untuk kemudahan dalam berqurban adalah menggunakan system iuran ataupun arisan. Adakah dasar dalam Islam yang memperbolehkannya? Ranting NU Jepara Kec. Bubutan Sby

Jawaban:
Di masa Rasulullah Saw hal semacam ini sudah terjadi, bahkan Rasulullah Saw pernah melakukannya. Dalam sebuah riwayat, Abu Asad as-Sulami berkata:
عَنْ أَبِي اْلأَسَدِ السُّلَمِي عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ كُنْتُ سَابِعَ سَبْعَةٍ مَعَ رَسُولِ اللهِ g قَالَ فَأَمَرَنَا نَجْمَعُ لِكُلِّ رَجُلٍ مِنَّا دِرْهَماً فَاشْتَرَينَا أُضْحِيَّةً بِسَبْعِ الدَّرَاهِمِ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللهِ لَقَدْ أَغْلَيْنَا بِهَا. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ g إِنَّ أَفْضَلَ الضَّحَايَا أَغْلاَهَا وَأَسْمَنُهَا (رواه أحمد وأبو الأسد لم أجد من وثقه ولا جرحه وكذلك أبوه وقيل: إن جده عمرو بن عبسة  قلت: وتأتي أحاديث في جواز ذلك في أضحية النبي g إن شاء الله اهـ مجمع الزوائد 4/ 16)
"Saya adalah orang ketujuh bersama Rasulullah Saw, kemudian Beliau memerintahkan agar kami mengumpulkan uang Dirham, kemudian kami membeli hewan Qurban dengan 7 Dirham tadi. Kami berkata: "Ya Rasulallah, kami membeli hewan Qurban termahal". Kemudian Rasulullah Saw bersabda: "Sesungguhnya hewan Qurban yang terbaik adalah yang paling mahal dan gemuk" (HR Ahmad no 15533, al-Hafidz al-Haitsami tidak mengomentari status hadis tersebut dan ia memperbolehkan hal tersebut)
Tetapi dengan ketentuan satu ekor kambing untuk satu orang. Sedangkan satu ekor sapi cukup untuk 7 orang.

16.  Puasa Tarwiyah
Pertanyaan:
Benarkah dalam bulan Dzhulhijjah hanya sunah puasa Arofah (tanggal 9, sebelum Idul Adlha) dan puasa Tarwiyah taggal 8 adalah bid’ah? MWC NU Tandes

Jawaban:
Mari terlebih dahulu kita menyimak beberapa hadis dan penafsiran para ahli hadits. Dalil hadis sahih secara umum adalah:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِىِّ g أَنَّهُ قَالَ: مَا الْعَمَلُ فِى أَيَّامِ الْعَشْرِ أَفْضَلَ مِنَ الْعَمَلِ فِى هَذِهِ قَالُوا وَلاَ الْجِهَادُ قَالَ وَلاَ الْجِهَادُ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ يُخَاطِرُ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ بِشَىْءٍ (رواه البخارى رقم 969)
“Rasulullah Saw bersabda: “Tidak ada amal yang lebih utama daripada amal ibadah di 10 hari Dzulhijjah ini. Sahabat bertanya: “Apakah tidak dengan jihad? Rasulullah Saw menjawab: “Tidak juga jihad, kecuali orang yang keluar dengan diri dan hartanya, kemudian tidak kembali membawa apapun” (HR al-Bukhari No 969)
Dari hadis ini al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:
وَاسْتُدِلَّ  بِهِ عَلَى فَضْلِ  صِيَامِ عَشْرِ  ذِي الْحِجَّةِ  لِانْدِرَاجِ الصَّوْمِ فِي الْعَمَلِ (فتح الباري لابن حجر - ج 3 / ص 390)
“Hadis ini dijadikan dalil keutamaan puasa di 10 hari Dzulhijjah, sebab puasa masuk dalam amal ibadah” (Fath al-Bari 3/390)
Sedangkan dalil yang secara khusus pada hari Tarwiyah adalah:
صَوْمُ يَوْمِ التَّرْوِيَّةِ كَفَّارَةُ سَنَةٍ وَصَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ كَفَّارَةُ سَنَتَيْنِ (رواه أبو الشيخ ابن حبان في كتاب الثواب على الأعمال وابن النجار في تاريخه عن ابن عباس)
“Puasa hari Tarwiyah menghapus dosa setahun dan Puasa ‘Arafah menghapus dosa dua tahun” (HR Ibnu Hibban dan Ibnu an-Najjar dari Ibnu Abbas)
Sementara dalam Madzhab Malikiyah secara tegas dianjurkan melakukan puasa Tarwiyah:
وَفِي الْجَوَاهِرِ يُسْتَحَبُّ صَوْمُ تَاسُوْعَاءَ وَيَوْمُ التَّرْوِيَّةِ وَقَدْ وَرَدَ صَوْمُ يَوْمِ التَّرْوِيَّةِ كَصِيَامِ سَنَةٍ وَصَوْمُ اْلأَشْهُرِ الْحُرُمِ وَشَعْبَانَ وَعَشْرِ ذِيْ الْحِجَّةِ وَقَدْ رُوِيَ أَنَّ صِيَامَ كُلِّ يَوْمٍ مِنْهَا يَعْدِلُ سَنَةً (الذخيرة للقرافي 2/ 530)
“Di dalam kitab al-Jawahir: Dianjurkan puasa 9 Muharram dan puasa hari Tarwiyah. Sebab berdasarkan hadis ‘Puasa Tarwiyah seperti puasa setahun‘. Dan puasa di Bulan Mulia, Sya’ban, 10 hari Dzulhijjah. Dan diriwayatkan bahwa puasa sehari dari hari-hari tersebut sama seperti puasa setahun” (adz-Dzakhirah, Syaikh al-Qarafi, 2/530)
Dari dalil hadits dan penjelasan para ulama, bisa disimpulkan bahwa puasa tanggal 8-9 Dzulhijjah sebagaimana yang banyak diamalkan umat Islam adalah sunah, bukan bid’ah.

17.  Puasa Bulan Rajab
Pertanyaan:
Bolehkah puasa sunah di bulan Rajab? Jamaah Ibu-Ibu Masjid Arofah, Sby

Jawaban:
Mari kita perhatikan beberapa dalil hadis berikut ini:
-            Pertama hadis Usamah bin Zaid, ia bertanya kepada Rasulullah Saw:
قُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ: لَمْ  أَرَكَ  تَصُومُ  شَهْرًا مِنْ الشُّهُورِ  مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ قَالَ ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ (رواه النسائي وابو داود وابن خزيمة وصححه)
"Wahai Rasulullah, saya tidak menjumpai Engkau berpuasa di bulan-bulan yang lain sebagaimana Engkau berpuasa di bulan Sya'ban. Rasulullah menjawab: "Sya'ban adalah bulan yang dilupakan oleh orang-orang antara bulan Rajab dan Ramadlan. Bulan  Sya'ban adalah bulan laporan amal kepada Allah. Maka saya senang amal saya dilaporkan sementara saya dalam kondisi berpuasa" (HR Nasai, Abu Dawud dan disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah. Baca Fathul Bari Syarah Sahih Bukhari karya al-Hafidz Ibnu Hajar, VI/238. Ibnu Hajar juga menilainya sahih)
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:
فَهَذَا فِيْهِ إِشْعَارٌ بِأَنَّ فِي رَجَبَ مُشَابَهَةً بِرَمَضَانَ، وَأَنَّ النَّاسَ يَشْتَغِلُوْنَ مِنَ الْعِبَادَةِ بِمَا يَشْتَغِلُوْنَ بِهِ فِي رَمَضَانَ، وَيَغْفُلُوْنَ عَنْ نَظِيْرِ ذَلِكَ فِي شَعْبَانَ. لِذَلِكَ كَانَ يَصُوْمُهُ. وَفِي تَخْصِيْصِهِ ذَلِكَ بِالصَّوْمِ - إِشْعَارٌ بِفَضْلِ رَجَبَ
"Hadis ini memberi penjelasan bahwa bulan Rajab dan Ramadlan memiliki kesamaan dalam hal keutamaan. Dan Rasulullah yang menyebut secara khusus tentang puasa juga memberi penjelasan tentang keutamaan Rajab" (Tabyin al-Ajab hal. 2)
-            Kedua hadis seorang sahabat yang meminta kepada Nabi agar diperintah melakukan puasa;
عَنْ مُجِيبَةَ الْبَاهِلِيَّةِ عَنْ أَبِيهَا أَوْ عَمِّهَا أَنَّهُ أَتَى رَسُولَ اللهِ g ثُمَّ انْطَلَقَ فَأَتَاهُ بَعْدَ سَنَةٍ وَقَدْ تَغَيَّرَتْ حَالَتُهُ وَهَيْئَتُهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ أَمَا تَعْرِفُنِى قَالَ «وَمَنْ أَنْتَ». قَالَ أَنَا الْبَاهِلِىُّ الَّذِى جِئْتُكَ عَامَ الأَوَّلِ. قَالَ «فَمَا غَيَّرَكَ وَقَدْ كُنْتَ حَسَنَ الْهَيْئَةِ». قَالَ مَا أَكَلْتُ طَعَامًا إِلاَّ بِلَيْلٍ مُنْذُ فَارَقْتُكَ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ g «لِمَ عَذَّبْتَ نَفْسَكَ». ثُمَّ قَالَ «صُمْ شَهْرَ الصَّبْرِ وَيَوْمًا مِنْ كُلِّ شَهْرٍ». قَالَ زِدْنِى فَإِنَّ بِى قُوَّةً. قَالَ «صُمْ يَوْمَيْنِ». قَالَ زِدْنِى. قَالَ «صُمْ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ». قَالَ زِدْنِى. قَالَ «صُمْ مِنَ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنَ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنَ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ». وَقَالَ بِأَصَابِعِهِ الثَّلاَثَةِ فَضَمَّهَا ثُمَّ أَرْسَلَهَا (رواه احمد وابو داود وابن ماجه والنسائي والطبراني والبيهقي)
“Maka Nabi bersabda: "Puasalah di bulan Sabar (Ramadlan) dan dua hari setiap bulan". Sahabat berkata: ”Tambahkanlah Nabi, saya masih mampu". Nabi bersabda: "Puasalah tiga hari". Sahabat berkata: "Tambahkanlah Nabi". Maka Nabi bersabda: "Puasalah di bulan-bulan mulia dan tinggalkan. Puasalah di bulan-bulan mulia dan tinggalkan. Puasalah di bulan-bulan mulia dan tinggalkan (diulang tiga kali. Rasulullah menggenggam tangannya lalu melepaskannya)" (HR Ahmad No 20338, Abu Dawud No 2428, Ibnu Majah No 1741, Nasai dalam Sunan al-Kubra No 2743, Thabrani No 18336 dan al Baihaqi dalam Syu'ab al-Iman No 3738)
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:
فَفِي هَذَا الْخَبَرِ - وَإِنْ كَانَ فِي إِسْنَادِهِ مَنْ لاَ يُعْرَفُ - مَا يَدُلُّ عَلَى اسْتِحْبَابِ صِيَامِ بَعْضِ رَجَبَ لأَنَّهُ أَحَدُ اْلأَشْهُرِ الْحُرُمِ
"Hadis ini menunjukkan anjuran puasa sebagian bulan Rajab. Sebab bulan Rajab adalah salah satu bulan yang mulia (Asyhur al-Hurum)"
Al-Hafidz Ibnu Hajar memberi penilaian tentang perawi yang dituduh majhul tadi: "Mujibah al-Bahiliyah adalah salah seorang perawi al-Bukhari secara Ta'liq dalam Bab Haid, ia dapat diterima (Maqbul), dari tingkatan ketiga" (Taqrib at-Tahdzib II/659)
Manakah dalil yang menunjukkan bahwa Rajab termasuk bulan yang mulia? Allah Swt berfirman:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْراً فِي كِتَابِ اللهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَات وَالأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ... ﴿٣٦﴾
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram / mulia …” (at-Taubah: 36)
Keempat bulan mulia tersebut dijelaskan dalam hadis sahih:
عَنْ أَبِى بَكْرَةَ h عَنِ النَّبِىِّ g قَالَ «الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ، ثَلاَثٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ (رواه البخاري ومسلم)
“Rasulullah bersabda: Sesungguhnya masa berputar seperti hari saat Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun adalah 12 bulan, diantaranya ada 4 bulan yang mulia. Yang tiga secara beriringan, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram, dan Rajab yang terletak antara Jumada dan Sya’ban” (HR al-Bukhari 5550 dan Muslim 4477)
Sebagai kesimpulannya adalah pendapat beberapa Madzhab Ahlisunnah berikut:
-            Syafiiyah:
قِيْلَ وَمِنَ الْبِدَعِ صَوْمُ رَجَبَ وَلَيْسَ كَذَلِكَ بَلْ هُوَ سُنَّةٌ فَاضِلَةٌ كَمَا بَيَّنْتُهُ فِي الْفَتَاوَي وَبَسَطْتُ الْكَلاَمَ عَلَيْهِ (إعانة الطالبين ج 1 / ص 313)
“Dikatakan bahwa puasa Rajab adalah bid’ah, maka bukan seperti itu, bahkan puasa Rajab adalah sunah yang utama sebagaimana saya jelaskan dalam kitab al-Fatawa” (I’anat ath-Thalibin 1/313)
-           Malikiyah:
وَنُدِبَ صَوْمُ الثَّمَانِيَةِ الْأَيَّامِ قَبْلَهُ أَيْ عَرَفَةَ وَصَوْمُ عَاشُورَاءَ وَتَاسُوعَاءُ وَالثَّمَانِيَةِ قَبْلَهُ أَيْ تَاسُوعَاءَ وَبَقِيَّةِ الْمُحَرَّمِ وَصَوْمُ رَجَبَ وَشَعْبَانَ (حاشية الصاوي على الشرح الصغير ج 3 / ص 251)
“Dan disunahkan puasa 8 hari sebelum Arafah, juga 9-10 Muharram dan 8 hari sebelumnya, sisa bulan Muharram, puasa Rajab dan Sya’ban” (Hasyiyah ash-Shawi 3/251)
-            Sebagian Hanabilah:
قَالَ ابْنُ الْجَوْزِيِّ فِي كِتَابِ أَسْبَابِ الْهِدَايَةِ: يُسْتَحَبُّ صَوْمُ الْأَشْهُرِ الْحُرُمِ وَشَعْبَانَ كُلِّهِ (الفروع لابن مفلح ج 5 / ص 100)
“Ibnu al-Jauzi berkata dalam kitab Asbab al-Hidayah: Disunahkan puasa bulan-bulan mulia (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab), dan Sya’ban” (al-Furu’ 5/100)

18.  Berkalung Jimat
Pertanyaan:
Seorang pakar pidana dari Unair Sby, I Wayan Titip, mengatakan bahwa beberapa TKI yang bekerja di Timur Tengah dan kedapatan membawa jimat, mereka dikenai hukuman mati. Benarkah jimat dihukumi syirik? Abi, Sby

Jawaban:
Dalam sebuah hadis Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ عَلَّقَ تَمِيْمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ (رواه أحمد وأبو يعلى بإسناد جيد قال الهيثمي: رجال أحمد ثقات عن عقبة بن عامر الجهني)
“Baragsiapa yang mengalungkan jimat, maka telah berbuat seperti perbuatan orang musyrik” (HR Ahmad, para perawinya terpercaya)
Begitu pula hadis:
إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ (أخرجه أحمد رقم 3615، وأبو داود رقم 3883، وابن ماجه رقم 3530، والحاكم رقم 8290 وقال: صحيح الإسناد على شرط الشيخين . والبيهقى رقم 19387. وأخرجه أيضًا : أبو يعلى رقم 5208 عن ابن مسعود).
“Sesungguhnya ruqyah (pengobatan dengan doa), jimat dan tiwalah (sejenis susuk daya pikat) adalah perbuatan yang meyebabkan syirik” (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, al-Hakim, al-Baihaqi dan Abu Ya’la)
Ruqyat dan jimat memiliki beberapa persamaan, diantaranya menjadi penyebab kesyirikan, keduanya sudah dilakukan dimasa Jahiliyah, dan sebagainya.
Kesyirikan yang dimaksud sebagaimana yang dilakukan di masa Jahiliyah adalah adanya keyakinan bahwa jimat itulah yang memberi kesembuhan, mengobati penyakit, melindungi gangguan syetan dan sebagainya. Artinya mereka telah menyekutukan Allah dan menjadikan jimat seperti Tuhan.
Namun Rasulullah menjelaskan diperbolehkannya hal diatas selama tidak mengandung unsur syirik. Kendatipun hadis di bawah ini hanya menyebut ruqyat namun pada hakikatnya antara ruqyat dan jimat memiliki kesamaan, yaitu:
كُنَّا نَرْقِي فِي الْجَاهِلِيَّة، فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَيْف تَرَى فِي ذَلِكَ؟ فَقَالَ  اعْرِضُوا عَلَىَّ رُقَاكُمْ لاَ بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيْهِ شِرْكٌ (أخرجه مسلم رقم 2200 وأبو داود رقم 3886 وأخرجه أيضًا: ابن حبان رقم 6094 والحاكم رقم 7485 وقال: صحيح الإسناد. والبيهقى رقم 9380 عن عَوْفِ بن مَالِك الأَشْجَعِىِّ)
“Kami melakukan ruqyah saat kami di masa Jahiliyah. Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat anda? Rasulullah menjawab: Berikan ruqyah kalian padaku. Tidak apa-apa dengan ruqyah, selama tidak mengandung kesyirikan” (HR Muslim, Abu Dawud, Ibnu Hibban dan al-Hakim)
Rasulullah Saw sendiri membaca ayat-ayat al-Quran saat beliau sakit, sebagaimana dalam riwayat Aisyah:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِىَّ g كَانَ يَنْفِثُ عَلَى نَفْسِهِ فِى مَرَضِهِ الَّذِى قُبِضَ فِيهِ بِالْمُعَوِّذَاتِ، فَلَمَّا ثَقُلَ كُنْتُ أَنَا أَنْفِثُ عَلَيْهِ بِهِنَّ، فَأَمْسَحُ بِيَدِ نَفْسِهِ لِبَرَكَتِهَا (رواه البخارى رقم 5751)
“Rasulullah Saw meniup pada diri beliau sendiri saat beliau sakit menjelang wafatnya dengan ayat-ayat perlindungan. Ketika sakit beliau semakin parah maka saya meniupkannya kemudian  saya usapkan dengan tangan beliau, karena keberkahan tangan beliau” (HR al-Bukhari No 5751)
Dari sekian bayak hadis dalam masalah ini, ahli hadis Amirul Mu’minin fi al-Hadits al-Hafidz Ibnu Hajar memberi kesimpulan bahwa point utama dalam larangan tersebut adalah kesyirikan, dan jika tidak ada unsur kesyirikan maka tidak dilarang. Beliau berkata:
هَذَا كُلّه فِي تَعْلِيق التَّمَائِم وَغَيْرهَا مِمَّا لَيْسَ فِيهِ قُرْآن وَنَحْوه، فَأَمَّا مَا فِيهِ ذِكْرُ اللهِ فَلَا نَهْي فِيهِ فَإِنَّهُ إِنَّمَا يُجْعَل لِلتَّبَرُّكِ بِهِ وَالتَّعَوُّذ بِأَسْمَائِهِ وَذِكْره (فتح الباري لابن حجر ج 9 / ص 210)
“Dilarangnya mengalungkan jimat dalam hadis adalah ketika di dalam jimat tersebut bukan dari ayat al-Quran. Sementara jika dalam jimat tersebut terdapat dzikir kepada Allah maka tidak dilarang. Sebab hal itu untuk mencari berkah dan mencari perlindungan dengan nama Allah dan dzikir kepada Allah” (Fath al-Baarii 9/210)
Begitu pula tafsil dari Ibnu Taimiyah:
وَأَمَّا مُعَالَجَةُ الْمَصْرُوْعِ بِالرُّقَى وَالتَّعَوُّذَاتِ فَهَذَا عَلَى وَجْهَيْنِ فَإِنْ كَانَتِ الرُّقَى وَالتَّعَاوِيْذُ مِمَّا يُعْرَفُ مَعْنَاهَا وَمِمَّا يَجُوْزُ فِى دِيْنِ اْلاِسْلاَمِ أَنْ يَتَكَلَّمَ بِهَا الرَّجُلُ دَاعِيًا للهِ ذَاكِرًا لَهُ وَمُخَاطِبًا لِخَلْقِهِ وَنَحْوِ ذَلِكَ فَإِنَّهُ يَجُوْزُ أَنْ يَرْقِى بِهَا الْمَصْرُوْعَ وَيُعَوِّذَ فَاِنَّهُ قَدْ ثَبَتَ فِى الصَّحِيْحِ عَنِ النَّبِى أنَّهُ أَذِنَ فِى الرُّقَى مَا لَمْ تَكُنْ شِرْكًا وَقَالَ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَفْعَلْ وَاِنْ كَانَ فِى ذَلِكَ كَلِمَاتٌ مُحَرَّمَةٌ مِثْلَ أَنْ يَكُوْنَ فِيْهَا شِرْكٌ أَوْ كَانَتْ مَجْهُوْلَةَ الْمَعْنَى يَحْتَمِلُ أَنْ يَكُوْنَ فِيْهَا كُفْرٌ فَلَيْسَ لأَحَدٍ أَنْ يَرْقِىَ بِهَا (مجموع الفتاوى ج 24 / ص 277)
“Pengobatan orang yang kesurupan dengan doa maupun perlindungan diperinci sebagai berikut; jika doa tersebut diketahui maknanya dan diperbolehkan dalam Islam untuk mengucapkannya, sebagai doa dan dzikir kepada Alla dan sebagainya, maka diperbolehkan. Sebab telah diriwayatkan dalam hadis sahih bahwa Rasulullah mengizinkan ruqyat selama tidak mengandung kesyirikan. Dan bila terdiri dari kalimat-kalimat yang diharamkan, seperti mengandung kesyirikan, atau tidak diketaui maknanya yang dimungkinkan ada kekufuran, maka tidak tiperbolehkan melakukan ruqyat dengan cara tersebut” (Majmu’ Fatawa 24/227)
Sebagai kesimpulan khilaf dalam masalah ini, al-Mubarakfuri berkata:
وَقَدْ اِخْتَلَفَ فِي ذَلِكَ أَهْلُ الْعِلْمِ. قَالَ السَّيِّدُ الشَّيْخُ أَبُو الطَّيِّبِ صِدِّيقُ بْنُ حَسَنٍ الْقَنُوجِيُّ فِي كِتَابِهِ الدِّينِ الْخَالِصِ: اِخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ مِنْ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ فَمَنْ بَعْدَهُمْ فِي جَوَازِ تَعْلِيقِ التَّمَائِمِ الَّتِي مِنْ الْقُرْآنِ، وَأَسْمَاءِ اللهِ تَعَالَى وَصِفَاتِهِ، فَقَالَتْ طَائِفَةٌ : يَجُوزُ ذَلِكَ، وَهُوَ قَوْلُ اِبْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ، وَهُوَ ظَاهِرُ مَا رُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ، وَبِهِ قَالَ أَبُو جَعْفَرٍ الْبَاقِرُ وَأَحْمَدُ فِي رِوَايَةٍ، وَحَمَلُوا الْحَدِيثَ يَعْنِي حَدِيثَ اِبْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: سَمِعْت رَسُولَ اللهِ g يَقُولُ إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ رَوَاهُ أَحْمَدُ وَابْنُ مَاجَهْ وَابْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ وَقَالَ صَحِيحٌ، وَأَقَرَّهُ الذَّهَبِيُّ عَلَى التَّمَائِمِ الَّتِي فِيهَا شِرْكٌ. وَقَالَتْ طَائِفَةٌ: لَا يَجُوزُ ذَلِكَ وَبِهِ قَالَ اِبْنُ مَسْعُودٍ وَابْنُ عَبَّاسٍ وَهُوَ ظَاهِرُ قَوْلِ حُذَيْفَةَ وَعُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ وَابْنِ عُكَيْمٍ، وَبِهِ قَالَ جَمَاعَةٌ مِنْ التَّابِعِينَ مِنْهُمْ أَصْحَابُ اِبْنِ مَسْعُودٍ وَأَحْمَدَ فِي رِوَايَةٍ اِخْتَارَهَا كَثِيرٌ مِنْ أَصْحَابِهِ. وَجَزَمَ بِهِ الْمُتَأَخِّرُونَ وَاحْتَجُّوا بِهَذَا الْحَدِيْثِ وَمَا فِي مَعْنَاهُ (تحفة الأحوذي - ج 5 / ص 349)
“Ulama berbeda pendapat dalam masalah jimat yang berupa ayat al-Quran, nama-nama Allah dan sifatNya, baik dari kalangan sahabat, tabiin dan sebagainya. Sekelompok ulama berkata: Boleh, yaitu pendapat Abdullah bin Amr bin Ash, juga Aisyah, Abu Ja’far al-Baqir dan Ahmad dalam satu riwayat. Mereka menilai bahwa hadis tentang ruqyat, jimat dan daya pikat syirik, adalah jimat yang didalamnya ada unsur kesyirikan. Sekelompok ulama yang lain berkata: Tidak boleh, yaitu pendapat Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Hudzifah, Uqbah bin Amir, begitu pula sekelompok Tabiin dari murid-murid Ibnu Mas’ud, Ahmad yang dipilih oleh banyak muridnya. Begitu pula ditegaskan oleh ulama kalangan akhir dan mereka berhujjah dengan hadis tadi” (Tuhfat al-Ahwadzi 5/349)
Imam an-Nawawi berkata:
وَأَمَّا الرُّقَاءُ وَالتَّمَائِمُ قَالَ فَالْمُرَادُ بِالنَّهْيِ مَا كَانَ بِغَيْرِ لِسَانِ الْعَرَبِيَّةِ بِمَا لاَ يُدْرَى مَا هُوَ ... وَعَنْ عُتْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ (سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ g يَقُوْلُ مَنْ عَلَّقَ تَمِيْمَةً فَلاَ اَتَمَّ اللهُ لَهُ وَمَنْ عَلَّقَ وَدَعَةً فَلاَ وَدَعَ اللهُ لَهُ) رَوَاهُ الْبَيْهَقِى وَقَالَ هُوَ اَيْضًا رَاجِعٌ إِلَى مَعْنَى مَا قَالَ اَبُوْ عُبَيْدَةَ قَالَ وَيَحْتَمِلُ أَنْ يَكُوْنَ ذَلِكَ وَمَا اَشْبَهَ مِنَ النَّهْىِ وَالْكَرَاهَةِ فِيْمَنْ يُعَلِّقُهَا وَهُوَ يَرَى تَمَامَ الْعَافِيَةِ وَزَوَالَ الْعِلَّةِ بِهَا عَلَى مَا كَانَتْ عَلَيْهِ الْجَاهِلِيَّةُ وَأَمَّا مَنْ يُعَلِّقُهَا مُتَبَرِّكًا بِذِكْرِ اللهِ تَعَالَى فِيْهَا وَهُوَ يَعْلَمُ اَنْ لاَ كَاشِفَ لَهُ اِلاَّ اللهُ وَلاَ دَافِعَ عَنْهُ سِوَاهُ فَلاَ بَأْسَ بِهَا اِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى (المجموع ج 9 / ص 66)
“Ruqyah dan jimat, yang dilarang adalah jika terdiri dari jimat yang tidak menggunakan bahasa Arab atau yang tidak diketahui maknanya. Sedangkan yang dilarang adalah bagi orang yang menggunakan jimat dan ia meyakini bahwa yang menyembuhkan dan yang menghilangkan penyakit adalah jimat tersebut, seperti orang Jahiliyah. Sedangkan jika menggunakan jimat dengan mengharap berkah dari berdzikir kepada Allah, ia meyakini bahwa tidak ada yang membuka kesembuhan kecuali Allah dan tidak ada yang menolak penyakit selain Allah, maka tidak apa-apa menggunakan jimat. InsyaAllah” (Majmu’ 9/66)

19.  Hari Apa Saya Kawin?
Pertanyaan:
Kerabat saya setiap mau menikahkan anaknya selalu menanyakan kepada ustadz tentang hari-hari khusus untuk pernikahan anaknya, apakah itu termasuk yang dilarang dalam agaman? Hasbi, Madura

Jawaban:
Selama berkeyakinan bahwa pernikahan yan dilakukan pada hari dan bulan yang telah ditentukan bahwa yang memberi rezeki dan yang memberi kelancaran adalah Allah, maka boleh, sebagaimana disampaikan oleh Imam Syafii:
(مَسْئَلَةٌ) اِذَا سَأَلَ رَجُلٌ اَخَرَ هَلْ لَيْلَةُ كَذَا اَوْ يَوْمُ كَذَا يَصْلُحُ لِلْعَقْدِ اَوِ النَّقْلَةِ فَلاَ يَحْتَاجُ اِلَى جَوَابٍ لاَنَّ الشَّارِعَ نَهَى عَنِ اعْتِقَادِ ذَلِكَ وَزَجَرَ عَنْهُ زَجْرًا بَلِيْغًا فَلاَ عِبْرَةَ بِمَنْ يَفْعَلُهُ . وَذَكَرَ ابْنُ الْفَرْكَاحِ عَنِ الشَّافِعِي اِنَّهُ اِنْ كَانَ الْمُنَجِّمُ يَقُوْلُ وَيَعْتَقِدُ اِنَّهُ لاَ يُؤَثِّرُ اِلاَّ اللهُ وَلَكِنْ اَجْرَى اللهُ الْعَادَةَ بِاَنَّهُ يَقَعُ كَذَا عِنْدَ كَذَا وَالْمُؤَثِّرُ هُوَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ فَهَذَا عِنْدِي لاَ بَأْسَ بِهِ وَحَيْثُ جَاءَ الذَّمُّ يُحْمَلُ عَلَى مَنْ يَعْتَقِدُ تَأْثِيْرَ النُّجُوْمِ وَغَيْرِهَا مِنَ الْمَخْلُوْقَاتِ . وَاَفْتَى الزَّمْلَكَانِي بِالتَّحْرِيْمِ مُطْلَقًا وَاَفْتَى ابْنُ الصَّلاَحِ بِنَحْرِيْمِ الضَّرْبِ بِالرَّمَلِ وَبِالْحَصَى وَنَحْوِهَا وَقَالَ حُسَيْنٌ اْلاَهْدَلُ وَمَا يُوْجَدُ مِنَ التَّعَالِيْقِ فِي الْكُتُبِ مِنْ ذَلِكَ فَمِنْ خُرَفَاتِ بَعْضِ الْمُنَجِّمِيْنَ وَالْمُتَحَذْلِقِيْنَ وَتَرَهَاتِهِمْ لاَ يَحِلُّ اعْتِقَادُ ذَلِكَ وَهُوَ مِنَ اْلاِسْتِقْسَامِ بِاْلاَزْلاَمِ وَمِنْ جُمْلَةِ الطِّيْرَةِ الْمَنْهِيِّ عَنْهَا وَقَدْ نَهَى عَنْهُ عَلِيٌّ وَابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا (تلخيص المراد في فتاوى ابن زياد 206) 
“Jika seseorang bertanya kepada yang lainnya: Apakah mala mini atau hari ini cocok dijadikan hari pernikahan atau pindah rumah? Maka tidak perlu dijawab, sebab Agama Islam melarang keyakinan hal tersebut dan mencegahnya. Maka tidak perlu dijadikan pegangan bagi yang melakukannya. Ibnu Farkah mengutip dari asy-Syafii bahwa; Jika peramal mengatakan dan meyakini bahwa tidak ada yang memberi kuasa kecuali Allah, tetapi Allah mentakdirkan suatu kebiasaan bahwa sesuatu akan terjadi pada hari-hari tertentu, sedangkan yang menentukan itu semua adalah Allah, maka tidak apa-apa menurut saya. Sementara larangan yang ada adalah ketika seseorang meyakini datangnya kekuatan dari bintang tertentu dan lainnya. az-Zamlakani memberi fatwa haram secara mutlak. Ibnu Shalah memberi fatwa mengadu nasib dengan kerikil dan batu. al-Ahdal berkata: Cara-cara (seperti rajah) yang ditemukan dalam kitab maka hanya perbuatan khurafat tukang ramal dan tipuannya, yang dilarang meyakininya, sebab hal itu bagian dari mengadu nasib dan termasuk percaya pada kesialan yang dilarang. Diantara yang melarangnya adalah Ali dan Ibnu Abbas” (Talkhis al-Murad fi Fatawa Ibni Ziyad 206)

20.  Menabuh Terbang di Masjid
Pertanyaan:
“Saat peringatan hari besar Islam kita menjumpai beberapa masjid mengundang kelompok hadlrah untuk membaca Salawat, kasidah Arab dan lainnya. Bolehkah menabuh terbangan di dalam Masjid?” Hadi, Sby

Jawaban:
Kita ulas dahulu hukum alat musik ‘terbang’ (ad-duf) dalam beberapa hadis. Diriwayatkan bahwa
فِي الْبُخَارِيِّ أَنَّهُ g سَمِعَ بَعْضَ جَوَارٍ يَضْرِبْنَ بِالدُّفِّ وَهِيَ تَقُولُ وَفِينَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا فِي غَدٍ فَقَالَ g دَعِي هَذَا وَقُولِي الَّذِي كُنْت تَقُولِينَ (رواه البخارى رقم 4001)
Nabi mendengar beberapa budak perempuan yang menabuh terbang (HR al-Bukhari No 4001) Dan Rasulullah tidak melarangnya. Di hadis lain:
وَفِي التِّرْمِذِيِّ وَابْنِ مَاجَهْ أَنَّهُ g {لَمَّا رَجَعَ مِنْ بَعْضِ غَزَوَاتِهِ أَتَتْهُ جَارِيَةٌ سَوْدَاءُ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إنِّي نَذَرْتُ إنْ رَدَّك اللهُ تَعَالَى سَالِمًا أَنْ أَضْرِبَ بَيْنَ يَدَيْك بِالدُّفِّ فَقَالَ لَهَا إنْ كُنْتِ نَذَرْتِ فَأَوْفِ بِنَذْرِك}.
“Ketika Rasulullah pulang dari  peperangan didatangi oleh seorang budak wanita hitam dan ia berkata: “Wahai Nabi, saya bernadzar jika Engkau kembali dari perang diselamatkan oleh Allah, saya akan menabuh terbang di hadapanmu. Rasulullah menjawab: “Jika kamu bernadzar seperti itu, maka lakukanlah nadzarmu” (HR Turmudzi no 3690 dan Ia menilainya sahih).
Dengan demikian menabuh terbangan adalah boleh.
Sedangkan dalil menabuh terbang di masjid adalah sebuah hadis:
حَدِيْثُ (أَعْلِنُوْا النِّكَاحَ وَاجْعَلُوْهُ فِي الْمَسَاجِدِ وَاضْرِبُوْا عَلَيْهِ بِالدُّفِّ) التُّرْمُذِي وَضَعَّفَهُ وَابْنُ مَاجَهْ وَابْنُ مَنِيْعٍ وَغَيْرُهُمْ عَنْ عَائِشَةَ مَرْفُوْعًا بِهَذَا وَهُوَ حَسَنٌ فَرَاوِيْهِ عِنْدَ التُّرْمُذِي وَإِنْ كَانَ ضَعِيْفًا فَإِنَّهُ قَدْ تُوْبِعَ كَمَا فِي ابْنِ مَاجَهْ وَغَيْرِهِ (المقاصد الحسنة للسخاوي ص: 125)
"Ramaikanlah pernikahan, jadikan pernikahan di masjid dan tabuhkanlah dengan terbang" (HR Turmudzi, ia menilainya dlaif dan ulama yang lain juga mendlaifkannya). Namun ahli hadis al-Hafidz as-Sakhawi berkata bahwa hadis ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Ibnu Mani' dan lainnya. Dengan demikian hadis ini berstatus hasan karena diperkuat (mutaba'ah) oleh riwayat lain”. (Al-Maqashid al-Hasanah 125)
Dari hadis ini ahli fikih Syafiiyah, Ibnu Hajar al-Haitami berkata:
وَفِيهِ إيمَاءٌ إلَى جَوَازِ ضَرْبِ الدُّفِّ فِي الْمَسَاجِدِ لِأَجْلِ ذَلِكَ فَعَلَى تَسْلِيمِهِ يُقَاسُ بِهِ غَيْرُهُ وَأَمَّا نَقْلُ ذَلِكَ عَنْ السَّلَفِ فَقَدْ قَالَ الْوَلِيُّ أَبُو زُرْعَةَ فِي تَحْرِيرِهِ صَحَّ عَنْ الشَّيْخِ عِزِّ الدِّينِ بْنِ عَبْدِ السَّلَامِ وَابْنِ دَقِيقِ الْعِيدِ وَهُمَا سَيِّدَا الْمُتَأَخِّرِينَ عِلْمًا وَوَرَعًا وَنَقَلَهُ بَعْضُهُمْ عَنْ الشَّيْخِ أَبِي إِسْحَاقَ الشِّيرَازِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى وَكَفَاكَ بِهِ وَرِعًا مُجْتَهِدًا (الفتاوى الفقهية الكبرى  - ج 10 / ص 298)
“Hadis ini mengisyaratkan dibolehkannya menabuh terbang di masjid. Hal tersebut disampaikan oleh ulama Salaf seperti Abu Zur’ah, Ibnu Abdi Salam, Ibnu Daqiq al-Id, Asy-Syairazi dan sebagainya” (Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra 10/298)

21.  Tawassul
Pertanyaan:
Benarkah berdoa kepada Allah dengan cara bertawassul dihukumi syirik? Masjid al-Fattah, Sby

Jawaban:
Tawassul memiliki empat macam, tiga diantaranya disepakati kebolehannya oleh para ulama, sementara yang satu macam masih diperselisihkan, yakni ada ulama yang memperbolehkannya dan ada pula yang melarang. Tiga macam tawassul yang disepakati kebolehannya adalah:
1.     Tawassul dengan Nama-Nama Allah (Asma al-Husna)
Allah berfirman yang artinya “Hanya milik Allah asmaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu”. (Al-A’raf:180)
2.     Tawassul dengan Amal Sholeh
Tawassul ini berdasarkah hadits shahih yang diriwa-yatkan oleh al-Bukhari dan Muslim yang mengisahkan tentang tiga orang yang terperangkap dalam sebuah gua. Lalu mereka bertawassul dengan amal shalih mereka masing-masing. Orang yang pertama bertawassul dengan amal shalihnya yang berupa amal bakti kepada kedua orang tuanya. Orang yang kedua bertawassul dengan rasa takutnya kepada Allah Swt saat membatalkan perbuatan zina kepada keponakannya. Sedangkan orang yang ketiga bertawassul dengan menjaga dan memberikan hak buruh yang ada padanya. Akhirnya Allah Ta’ala membukakan pintu gua itu dari batu besar yang menghalangi mereka, yang pada akhirnya mereka bertiga bisa keluar dari dalam gua dengan selamat.
3.     Tawassul dengan Orang yang Masih Hidup
Sahabat Umar yang bertawassul dengan Abbas: “Diriwayatkan dari Anas bahwa ketika umat Islam berada di musim kering, maka Umar bin Khattab t meminta hujan kepada Allah dengan perantara Abbas bin Abdul Muthallib (paman Nabi). Umar berdoa: “Ya Allah, sesungguhnya kami bertawassul kepada-Mu dengan Nabi kami, kemudian Engkau beri hujan pada kami. Dan kami bertawassul kepada-Mu dengan paman Nabi kami, maka berilah hujan pada kami”. Anas berkata: Kemudian mereka diberi hujan”. (HR. al-Bukhari)
Begitu pula Muawiyah dan Dlahhak bertawassul dengan Yazid bin Aswad (HR. Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh al-Dimasyqi dengan sanad yang shahih)
4.     Tawassul dengan Orang yang Telah Wafat
Tawassul inilah yang diperselisihkan. Diantara ulama yang memperbolehkan adalah Imam Malik, Imam Ahmad, Imam Nawawi, Imam Subki, al-Qasthalani (ahli hadis), al-Hakim, al-Hafidz al-Baihaqi, al-Hafidz al-Thabrani, al-Hafidz al-Haitsami, Ibnu Hajar al-Haitami, al-Karmani, al-Jazari, Ibnu al-Hajj, al-Sumhudi dan masih banyak lagi ulama lain yang memperbolehkannya. Namun ada pula sebagian kecil golongan umat Islam yang melarang tawassul semacam ini.
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ حُنَيْفٍ t أَنَّ رَجُلاً كَانَ يَخْتَلِفُ إِلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ t فِيْ حَاجَتِهِ وَكَانَ عُثْمَانُ لَا يَلْتَفِتُ إِلَيْهِ وَلَا يَنْظُرُ فِيْ حَاجَتِهِ فَلَقِيَ ابْنَ حُنَيْفٍ فَشَكَا ذَلِكَ إِلَيْهِ فَقَالَ لَهُ عُثْمَانُ بْنُ حُنَيْفٍ ائْتِ الْمِيْضَأَةَ فَتَوَضَّأْ ثُمَّ ائْتِ الْمَسْجِدَ فَصَلِّ فِيْهِ رَكْعَتَيْنِ اللّٰهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا نَبِيِّ الرَّحْمَةِ يَا مُحَمَّدُ إِنِّيْ أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّكَ فَيَقْضِيْ لِيْ حَاجَتِيْ وَتَذْكُرُ حَاجَتَكَ حَتَّى أَرْوَحَ مَعَكَ، فَانْطَلَقَ الرَّجُلُ فَصَنَعَ مَا قَالَ لَهُ ثُمَّ أَتَى بَابَ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ t فَجَاءَهُ الْبَوَّابُ حَتَّى أَخَذَ بِيَدِهِ فَأَدْخَلَهُ عَلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ فَأَجْلَسَهُ مَعَهُ عَلَى الطِّنْفِسَةِ فَقَالَ حَاجَتُكَ فَذَكَرَ حَاجَتَهُ وَقَضَاهَا لَهُ )رواه الطبرانى فى المعجم الكبير والبيهقى في دلائل النبوة(
Berikut ini adalah dalil hadits tentang tawassul dengan orang-orang yang telah wafat: “Diriwayatkan dari Utsman bin Hunaif bahwa ada seorang laki-laki datang kepada (Khalifah) Utsman bin Affan untuk memenuhi hajatnya, namun sayidina Utsman tidak menoleh ke arahnya dan tidak memperhatikan kebutuhannya. Kemudian ia bertemu dengan Utsman bin Hunaif (perawi) dan mengadu kepadanya. Utsman bin Hunaif berkata: Ambillah air wudlu' kemudian masuklah ke masjid, salatlah dua rakaat dan bacalah: “Ya Allah sesungguhnya aku meminta-Mu dan menghadap kepada-Mu melalui Nabi-Mu yang penuh kasih sayang, wahai Muhammad sesungguhnya aku menghadap kepadamu dan minta Tuhanmu melaluimu agar hajatku dikabukan. Sebutlah apa kebutuhanmu”. Lalu lelaki tadi melakukan apa yang dikatakan oleh Utsman bin Hunaif dan ia memasuki pintu (Khalifah) Utsman bin Affan. Maka para penjaga memegang tangannya dan dibawa masuk ke hadapan Utsman bin Affan dan diletakkan di tempat duduk. Utsman bin Affan berkata: Apa hajatmu? Lelaki tersebut menyampaikan hajatnya, dan Utsman bin Affan memutuskan permasalahannya”. (HR. Al-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Kabir dan al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwwah. Doa ini dikutip oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Majmu' al-Fatawa, I/264, dan al-Tawassul wa al-Wasilah, II/199)
Ulama Ahli hadits al-Hafidz al-Haitsami berkata:
وَقَدْ قَالَ الطَّبْرَانِيُّ عَقِبَهُ وَالْحَدِيْثُ صَحِيْحٌ بَعْدَ ذِكْرِ طُرُقِهِ الَّتِيْ رَوٰى بِهَا )مجمع الزوائد ومنبع الفوائد ۲/۵۶۵(
“Dan   sungguh   al-Thabrani  berkata  (setelah  al-Thabrani
menyebut semua jalur riwayatnya): "Riwayat ini sahih”. (Majma’ al-Zawaid, II/565)
Perawi hadits ini, Utsman bin Hunaif, telah mengajarkan tawassul kepada orang lain setelah Rasulullah Saw wafat. Dan kalaulah tawassul kepada Rasulullah dilarang atau bahkan dihukumi syirik maka tidak mungkin seorang sahabat akan mengajarkan hal-hal yang menyimpang dari ajaran Rasulullah Saw.
Bahkan Utsman bin Hunaif menyaksikan sendiri ketika Rasulullah Saw mengajarkan doa Tawassul diatas sebagaimana dalam riwayat sahih berikut ini:
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ حُنَيْفٍ t أَنَّ رَجُلاً ضَرِيْرَ الْبَصَرِ أَتَى النَّبِيَّ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ عَلِّمْنِيْ دُعَاءً أَدْعُوْ بِهِ يَرُدُّ اللهُ عَلَيَّ بَصَرِيْ، فَقَالَ لَهُ قُلِ اللّٰهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ يَا مُحَمَّدُ إِنِّيْ قَدْ تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلٰى رَبِّيْ أَللّٰهُمَّ شَفِّعْهُ فِيَّ وَشَفِّعْنِيْ فِيْ نَفْسِيْ فَدَعَا بِهٰذَا الدُّعَاءِ فَقَامَ وَقَدْ أَبْصَرَ
“Dari Utsman bin Hunaif: “Suatu hari seorang yang buta datang kepada Rasulullah Saw, ia berkata: “Wahai Rasulullah, ajarkan saya sebuah doa yang akan saya baca agar Allah mengembalikan penglihatan saya”. Rasulullah berkata: “Bacalah doa (Allahumma inni as'aluka wa atawajjahu ilaika bi nabiyyika nabiyyirrahmati Ya Muhammad qad tawajjahtu bika ila Rabbi. Allahumma Syaffi'hu fiyya wa syaffi'ni fi nafsi): “Ya Allah sesungguhnya aku meminta-Mu dan menghadap kepada-Mu melalui Nabi-Mu yang penuh kasih sayang, wahai Muhammad sesungguhnya aku menghadap kepadamu dan minta Tuhanmu melaluimu agar dibukakan mataku, Ya Allah berilah ia syafaat untukku dan berilah aku syafaat. Kemudian ia berdoa dengan doa tersebut, ia berdiri dan telah bisa melihat” (HR. Hakim dan al-Turmudzi).[]

Ditulis oleh : abinadine.blogspot.com ~ Official

Rofiudin Anda sedang membaca postingan tentang Memperbarui Akad Nikah, Nishfu Sya'ban, Dahi Hitam, Mencukur Jenggot, Shalawat Penutup Majllis, Qurban untuk Mayit, Tawassul. Anda boleh mengcopy paste atau menyebarluaskan postingan ini, namun jangan lupa untuk meletakkan link di bawah ini sebagai sumbernya.
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِين