Kaum Muslimin, jamaah shalat Jum’at yang
berbahagia
Mengawali khutbah pada kesempatan yang
mulia ini, marilah kita senantiasa memperteguh keimanan dan meningkatkan kualitas
ketakwaan kita kepada Allah Swt. Hanya dengan iman dan takwa, kita akan
mendapatkan keridlaan dari Allah Swt.
فَقَدْ
فَازَ مَنِ اتَّقَى وَقَدْ خَابَ مَنْ طَغَى
“Sungguh beruntunglah orang yang bertakwa dan sungguh merugilah
orang yang melampaui batas.”
Sidang Jum’at yang dirahmati Allah
Suatu waktu Nabi Muhammad Saw pernah
memprediksi bahwa di akhir jaman, musuh-musuh Islam tidak lagi takut kepada
umat Islam. Seorang sahabat bertanya, apakah itu disebabkan umat Islam sedikit?
Nabi pun menegaskan, bahwa saat itu umat Islam dalam jumlah yang banyak. Namun
banyaknya jumlah tersebut ibarat buih di lautan. Mudah terbawa dan
terombang-ambing oleh deru ombak dan badai. Selain itu, ketidaktakutan
musuh-musuh Islam juga disebabkan umat Islam sudah dijangkiti penyakit yang
bernama Al-Wahnu, yakni cinta terhadap dunia secara berlebihan.
Peringatan Nabi tersebut harus menjadi
perhatian penting kepada kita, karena saat ini kita melihat di beberapa negara
dan daerah, banyak orang-orang memeluk Islam, tetapi belum diiringi dengan kualitas
keagamaan yang baik. Kita tentu tidak ingin umat Islam seperti buih di lautan,
yang terombang-ambing dalam kehidupan dunia ini, sebagaimana yang diprediksi
oleh Nabi.
Banyaknya jumlah umat Islam harus
ditopang dengan kualitas berupa ilmu-ilmu agama yang mumpuni. Dengan bekal ilmu
dan keimanan kepada Allah, mereka tidak akan mudah terjangkiti penyakit cinta
dunia. Dengan modal keyakinan yang kuat, orang bisa bersyukur dikala mendapat
nikmat dan bisa bersabar dikala mendapat musibah.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah
Kaya dan miskin bukan menjadi tujuan
hidup. Orang kaya harus bersyukur, karena dengan keluasan harta ia memiliki
banyak kesempatan untuk berderma. Orang miskin pun harus bersyukur, karena amat
sedikit harta yang akan dipertanggungjawabkan di hari akhir nanti.
Kaya atau miskin merupakan ujian untuk
manusia. Allah memberikan ujian dalam dua bentuk. Pertama dalam bentuk
kenikmatan, dan kedua dalam bentuk masalah. Bagi sebagian orang mungkin lebih
memilih ujian dalam bentuk kenikmatan, seperti memiliki harta yang berlebih.
Padahal ujian yang amat besar adalah
ketika kita diuji dengan kenikmatan. Ketika mendapat rejeki yang melimpah,
terkadang kita lupa terhadap Allah. Sedangkan bila diuji dengan masalah, tidak
sedikit di antara kita yang memenuhi rumah-rumah Allah, bangun di sepertiga
malam untuk bermunajat, dan memperbanyak dzikrullah. Inilah sebagaimana yang
ditegaskan Allah dalam firman-Nya QS Az-Zumar ayat 8.
وَإِذَا
مَسَّ الْإِنْسَانَ ضُرٌّ دَعَا رَبَّهُ مُنِيبًا إِلَيْهِ ثُمَّ إِذَا خَوَّلَهُ
نِعْمَةً مِنْهُ نَسِيَ مَا كَانَ يَدْعُو إِلَيْهِ مِنْ قَبْلُ وَجَعَلَ لِلَّهِ
أَنْدَادًا لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِهِ
“Dan apabila manusia itu ditimpa kemudaratan,
dia memohon (pertolongan) kepada Tuhannya dengan kembali kepada-Nya; kemudian
apabila Tuhan memberikan nikmat kepadanya lupalah dia akan kemudaratan yang
pernah dia berdoa (kepada Allah) untuk (menghilangkannya) sebelum itu, dan dia
mengada-adakan sekutu-sekutu bagi Allah untuk menyesatkan (manusia) dari
jalan-Nya.”
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah
Kekayaan dan kenikmatan sering menjadi
ujian untuk kita. Di saat belum memiliki harta, kita masih sempat hadir ke
majlis-majlis dzikir, majlis-majlis ilmu, shalat berjamaah pun tidak tertinggal.
Tapi setelah kaya dan disibukkan dengan job, proyek, tender, dan berbagai
urusan duniawi, terkadang shalat pun ditinggalkan.
Sebagian kita berprinsip, kerja untuk
mencari makan dan uang. Padahal, sejatinya bekerja itu tidak hanya
mencari makan, tapi juga mencari makna. Bukan sekedar mencari uang, tapi juga
untuk berjuang. Usaha yang kita lakukan harus sejalan dengan niatan kita untuk
beribadah kepada Allah.
Dalam khazanah keislaman dikisahkan,
dalam satu kesempatan, seorang wali bernama Syaikh Abu Hasan Asy-Syadzili
pernah dikritik oleh jamaah tentang kekayaannya. “Wahai syaikh, kenapa seorang
ulama seperti anda harus kaya? Apakah seorang wali boleh kaya? Lantas bagaimana
dengan ibadah anda kepada Allah?” Kemudian Syaikh Abu Hasan asy-Syadzili pun
mengajak orang itu berkeliling menaiki kereta kencana sambil ia diminta untuk
memegang segelas air dan tidak boleh tumpah.
Maka orang itu diajak mengelilingi
beberapa tempat dengan pemandangan yang indah. Sekembalinya ke tempat semula,
syaikh bertanya, “Apakah kau melihat keindahan alam tadi?” Ia menjawab, “Bagaimana
aku bisa menyaksikan keindahan alam, sedangkan aku hanya bisa fokus menjaga dan
memperhatikan air ini!”
Syaikh menjelaskan, begitulah gambaran
kekayaan yang kita miliki, walaupun berlimpah tapi belum berarti kita harus
merasakannya. Kekayaan tadi diibaratkan keindahan alam, dan fokus kepada Allah
digambarkan dengan fokus kita kepada perintah untuk menjaga segelas air.
Kelebihan rejeki yang dianugerahkan
Allah semestinya menjadi ladang untuk meraup pahala sebanyak-banyaknya dengan
cara berderma dan bershadaqah demi kepentingan umat dan agama Islam. Orang yang
memberi, ditegaskan oleh Nabi Saw, adalah lebih mulia daripada yang meminta.
“Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah,” begitulah pesan Nabi Saw.
Karena itu, marilah kita gunakan
titipan Allah tersebut dengan menjalankan segala perintahnya dan menjauhi
segala larangannya. Mari kita tunaikan zakat, sesuai dengan anjuran agama, dan
janganlah menimbun atau menyembunyikan harta dari kemaslahatan ummat.
Sidang jum’at yang berbahagia
Islam tidak melarang kaya harta. Namun
kekayaan tersebut hendaknya bisa menjadi kesempatan kita beramal. Tapi apabila
Allah belum memberikan kelebihan rejeki, kita tidak boleh berprasangka buruk
kepada Allah, karena Allah Mahatahu. Mungkin belum waktunya kita memiliki
kelimpahan rejeki, atau mungkin saja kita belum mampu mengelola harta dengan
baik.
Barangkali jika kita diberi harta yang
banyak, justru menjadikan kita lupa kepada Allah. Karena itu, Allah lebih
memilih menyayangi kita dengan cara memberi sedikit harta sehingga menjadikan
kita senantiasa mengingat dan memohon pertolongan-Nya. Perasaan butuh kepada
Allah itulah yang menjadikan seseorang menjadi manusia unggul dibandingkan
orang kaya harta yang merasa tidak butuh kepada Allah. Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani berkata:
اَلْفَقيْرُ
الصَّابِرُ اَفْضَلُ مِنَ الْغَنِيِّ الشَّاكِرِ. وَالْفَقِيْرُ الشَّاكِرُ اَفْضَلُ
مِنْهُمَا. وَالْفَقِيْرُ الصَّابِرُ الشَّاكِرُ اَفْضَلُ مِنَ الْكُلِّ.
“Orang miskin yang bersabar lebih utama daripada orang kaya yang
bersyukur. Dan orang miskin yang bersyukur lebih utama dari keduanya. Dan orang
miskin yang bersabar dan bersyukur lebih utama dari semuanya.”
Orang kaya yang lupa pada Allah yang
memberinya kekayaan, kelak di akhirat akan disuruh memikul semua hartanya. Satu
persatu hartanya akan dihisab dan dihitung: darimana asalnya dan digunakan
untuk apa. Sudahkah dizakati tiap tahunnya atau belum. Tidak hanya zakat
fitrah, tetapi juga zakat mal dari hasil perdagangan maupun hasil pertaniannya.
Semua akan dihitung dan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.
Sidang jum’at yang berbahagia
Oleh karenanya, betapa pun kaya harta
itu baik, tapi kekayaan hati jauh lebih penting, terutama di saat kita memiliki
kekayaan harta. Sehingga dengan kekayaan harta dan hati, kita dapat
mempergunakan harta tersebut untuk berjuang di jalan Allah. Rasulullah SAW
bersabda:
لَيْسَ
الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
“Kaya bukanlah diukur dengan banyaknya kemewahan
dunia. Namun kaya (ghina’) adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Semoga Allah Swt senantiasa
melimpahkan kekayaan hati, kedalaman ilmu, serta kekokohan iman kepada kita
sehingga kita tidak terjerumus kepada kecintaan berlebih terhadap materi. Amin.
Ditulis oleh : abinadine.blogspot.com ~ Official
Anda sedang membaca postingan tentang Hidup Kaya Menurut Islam. Anda boleh mengcopy paste atau menyebarluaskan postingan ini, namun jangan lupa untuk meletakkan link di bawah ini sebagai sumbernya.
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
ٱلْعَٰلَمِين
Post a Comment