Penghormatan Jenazah:
1. Hadiah Pahala Untuk Ahli
Kubur
2. Talqin
3. Ziarah Kubur
4. Menyuguhkan Makanan Kepada
Orang Yang Ta’ziah
5. Tradisi Tahlilan
6. Perjamuan Makanan dalam
Acara Tahlilan
7. Pelaksanaan Tahlil Selama
Tujuh Hari
1. Hadiah Pahala Untuk Ahli Kubur
Ibnu Taimiyyah mengatakan
dalam kitab Fatawa-nya, “Sesuai
dengan kesepakatan para imam bahwa mayit dapat memperoleh manfaat dari semua ibadah, baik
ibadah badaniyah seperti shalat, puasa,
membaca al-Qur’an, ataupun ibadah maliyah
seperti sedekah dan lain-lainnya. Hal yang sama juga berlaku untuk orang yang berdoa dan membaca istighfar untuk mayit.” (Hukm al-Syari’ah
al-Islamiyah fi Ma’tam al-Arba’in, hal. 36).
Mengutip dari kitab Syarh
al-Kanz, Imam al-Syaukani juga menyatakan bahwa seseorang boleh
menghadiahkan pahala perbuatan yang ia kerjakan kepada orang lain, baik berupa shalat, puasa, haji, shadaqah, bacaan
al-Qur’an atau semua bentuk perbuatan baik lainnya, dan pahala
perbuatan tersebut sampai kepada mayit dan memberi manfaat
kepada mayit tersebut menurut ulama Ahlussunnah.
(Nail al-Awthar, juz IV, hal. 142).
Ada banyak dalil al-Qur’an
atau hadits yang menjelaskan
hal ini. Di antaranya adalah firman Allah SWT:
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا
وَلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإِيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا
غِلاًّ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
(الحشر: 10)
“Dan orang–orang yang
datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, “Ya Tuhan kami, ampunilah
kami dan orang-orang yang mendahului kami (wafat) dengan
membawa iman. Dan janganlah Engkau memberikan kedengkian dalam
hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan
kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Hasyr: 10).
Dalam sebuah hadits shahih
disebutkan:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ، يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أُمِّيَ افْتُلِتَتْ نَفْسَهَا وَلَمْ تُوصِ وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ
تَصَدَّقَتْ أَفَلَهَا أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ (رواه
مسلم ،1672)
“Dari ‘Aisyah –radhiyallahu
‘anha, “Seorang laki-laki bertanya kepada Nabi SAW, “Ibu saya meninggal dunia secara
mendadak dan tidak sempat berwasiat. Saya menduga seandainya ia dapat
berwasiat, tentu ia akan bersedekah. Apakah ia akan mendapat pahala jika saya
bersedekah atas namanya?” Nabi SAW menjawab, “Ya”.” (HR. Muslim, [1672]).
Hadits tersebut di atas menegaskan bahwa pahala shadaqah itu sampai kepada ahli kubur. Sementara
di hadits shahih yang lain dijelaskan bahwa shadaqah tidak hanya berupa harta
benda saja, tapi juga dapat berwujud bacaan dzikir seperti kalimat la ilaha
illallah, subhanallah, dan
lain-lain sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih berikut ini:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَا رَسُولَ اللهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِاْلأُجُورِ يُصَلُّونَ كَمَا
نُصَلِّي وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ
أَمْوَالِهِمْ قَالَ أَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ
صَدَقَةً وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةً
(رواه مسلم، 1674)
“Dari Abu Dzar RA, ada beberapa sahabat berkata kepada Nabi SAW,” Ya Rasulullah, orang-orang yang kaya
bisa (beruntung) mendapatkan banyak pahala.
(Padahal) mereka shalat seperti kami shalat. Mereka berpuasa seperti kami
berpuasa. Mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka. Nabi SAW menjawab, “Bukankah
Allah SWT telah menyediakan untukmu sesuatu yang dapat kamu sedekahkan?
Sesungguhnya setiap satu tasbih (yang kamu baca) adalah sedekah, setiap takbir
adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, dan setiap tahlil adalah
sedekah.” (HR. Muslim [1674]).
Ayat dan hadits-hadits di
atas sekaligus juga menunjukkan
bahwa menurut Ahlussunnah Wal Jama’ah,
Ukhuwwah Islamiyyah itu tidak terputus karena kematian. Maka menolong ahli kubur dengan do’a dan shadaqah yang
diwujudkan dalam bentuk Tahlilan dan sebagainya itu pahalanya akan sampai kepada mereka. Hal ini berbeda dengan
Mu’tazilah yang sama sekali tidak
meyakini sampainya hadiah pahala kepada orang yang telah meninggal dunia baik
berupa do’a ataupun yang lain. (Lihat, al-Ruh, hal. 117)
Seseorang yang beriman ketika sudah ada hadits
shahih yang menyatakan sampainya pahala
kepada orang yang telah meninggal dunia tentu tidak akan ragu lagi untuk meyakininya.
Dalil-dalil inilah yang
dijadikan dasar oleh para ulama tentang sampainya pahala bacaan al-Qur’an,
tasbih, tahlil, shalawat yang dihadiahkan kepada orang yang meninggal dunia.
Begitu pula dengan sedekah dan amal baik lainnya.
Mengenai sebagian riwayat
Imam al-Syafi’i yang mengatakan hadiah pahala itu tidak akan
sampai kepada orang yang telah meninggal
dunia, Syaikhul Islam Zakariyya
al-Anshari -salah seorang tokoh utama dalam madzhab al-Syafi’i-, menyatakan bahwa yang
dimaksud oleh pendapat Imam al-Syafi'i itu adalah
apabila tidak dibaca di hadapan mayit serta pahalanya tidak diniatkan sebagai
hadiah, atau berniat tetapi tidak membaca doa sesudah bacaan al-Qur’an
tersebut. (Hukm al-Syari’ah al-Islamiyyah fi Ma’tam al-Arba’in, hal. 43).
Kesimpulan ini dimunculkan
karena ternyata Imam al-Syafi’i pernah berziarah ke makam
Imam Layts bin Sa’ad kemudian beliau mengkhatamkan al-Qur’an. Lalu beliau
berkata, “Saya berharap semoga perbuatan seperti ini tetap berlanjut dan senantiasa dilakukan.” (al-Dzakhirah al-Tsaminah, hal. 64). Bahkan dalam kesempatan lain Imam al-Syafi’i menyatakan “Disunnahkan membaca sebagian ayat al-Qur’an
di dekat mayit, dan lebih baik lagi jika mereka (pelayat) membaca al-Qur’an sampai khatam.” (Dalil Al-Falihin, juz VI, hal. 103).
Sejalan dengan apa yang dilakukan oleh Imam
al-Syafi’i di makam Imam Layts bin Sa’ad, sekaligus
mengukuhkan kebenaran perbuatan Imam al-Syafi’i tersebut, Muhammad bin Abdul Wahhab mengutip
sebuah hadits yang menjelaskan
tentang tata cara melakukan ziarah kubur, yang menegaskan bahwa pahala bacaan
tersebut bermanfaat kepada si mayit, juga kepada orang yang membacanya.
“Al-Zanjani meriwayatkan sebuah hadits marfu’ riwayat Abi Hurairah, “Barangsiapa memasuki
komplek pemakaman, lalu membaca
surat al-Fatihah, al-Ikhlas, al-hakumuttakatsur, kemudian berdoa “Aku menghadiahkan pahala apa yang aku baca dari firman-Mu kepada
ahli kubur muslimin dan muslimat, maka semua ahli kubur itu akan membantu ia di
hadapan Allah SWT di hari kiamat”. Dan Abdul Aziz murid Imam al-Khallal meriwayatkan sebuah hadits marfu’ dari Anas,
“Barangsiapa yang masuk pemakaman,
kemudian membaca surat Yasin, maka Allah SWT akan meringankan dosa-dosa ahli
kubur itu, dan ia akan mendapatkan kebaikan sebanyak ahli kubur yang ada ditempat
itu.” (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Ahkam Tamanni al-Mawt, hal. 75).
Kaitannya dengan firman
Allah SWT:
وَأَنْ لَيْسَ للإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى (النجم:
39)
“Dan bahwa seorang manusia
tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. al-Najm: 39).
Ibnu Qayyim al-Jawziyyah
mengutip pendapat Abi al-Wafa bin ‘Aqil al-Hanbali yang menjelaskan jawaban
yang paling baik tentang ayat ini, bahwa manusia dengan usahanya sendiri dan
juga karena pergaulannya yang baik dengan orang lain, ia akan memperoleh banyak
teman, melahirkan keturunan,
menikahi perempuan, berbuat baik serta menyintai sesama.
Maka semua teman, keturunannya
dan keluarganya tentu akan menyayanginya
kemudian menghadiahkan pahala ibadahnya
(ketika telah meninggal dunia). Maka hal itu pada hakikatnya merupakan hasil
usahanya sendiri. (Ibnu al-Qayyim, al-Ruh, hal. 143).
Dari sini maka kita harus
yakin bahwa menghadiahkan pahala ibadah kepada orang
yang meninggal dunia itu ada manfaatnya, karena dengan izin Allah SWT akan
sampai kepada orang yang dimaksud.[1]
Jika Allah SWT telah
mengabulkan doa yang dipanjatkan itu, lalu siapakah yang berani mengatakan pahala al-Qur’an serta dzikir itu tidak sampai kepada orang yang meninggal
dunia? Pasti pahala bacaan tersebut akan sampai kepada ahli kubur yang dimaksud.
2. Talqin
Ada dua jenis talqin yang dianjurkan dalam Islam.
a. Talqin saat sakarat al-maut.
Yakni mentalqin orang yang akan meninggal dunia
sebelum nafasnya sampai di tenggorokan, dan hal itu disunnahkan. Berdasarkan
Hadits yang terdapat dalam Shahih Muslim dan lainnya:
عن أبي سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لا إلَهَ إِلا اللهُ
(رواه مسلم، 1523)
“Dari Abi Sa'id al-Khudri, Rasulullah SAW bersabda,
"Talqinkanlah orang yang akan mati di
antara kamu dengan ucapan la ’ilaha illa Allah”.(HR. Muslim [1523]).
Sekelompok pengikut Imam al-Syafi‘i menganjurkan agar bacaan tersebut ditambah dengan ucapan Muhammad Rasulullah SAW. Namun mayoritas ulama mengatakan tidak perlu
ditambah dengan bacaan tersebut. (Fatawi al-Imam al-Nawawi, hal. 83).
b. Talqin saat pemakaman
jenazah.
Imam al-Nawawi dalam al-Adzkar menjelaskan bahwa membaca talqin untuk mayit setelah dimakamkan
adalah perbuatan sunnah.[2]
Didasarkan pada sabda Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abi Umamah:
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ إِذَا أَنَا مُتُّ فَاصْنَعُوْا بِي كَمَا أَمَرَنَا
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَصْنَعَ بِمَوْتَانَا.
أَمَرَناَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِذَا مَاتَ أَحَدٌ مِنْ إِخْوَانِكُمْ فَسَوَّيْتُمُ التُّرَابَ عَلَى
قَبْرِهِ فَلْيَقُمْ اَحَدٌ عَلَى رَأْسِ قَبْرِهِ ثُمَّ لِيَقُلْ:
يَافُلاَنُ ابْنُ
فُلاَنَةَ فَاِنَّهُ يَسْمَعُهُ وَلاَ يُجِيْبُ
ثُمَّ يَقُوْلُ يَافُلاَنُ بْنُ فُلاَنَةَ
فَإِنَّهُ يَسْتَوِى قَاعِدًا.
ثُمَّ يَقُوْلُ يَافُلاَنُ بْنُ فُلاَنَةَ فَإِنَّهُ
يَقُوْلُ: أَرْشِدْنَا يَرْحَمْكَ اللهُ وَلَكِنْ لاَ تَشْعُرُوْنَ فَلْيَقُلْ
اُذْكُرْ مَا خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا شَهَادَةَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَأَنَّكّ رَضَيْتَ بِاللهِ رَبًّا
وَبِاْلإِسْلاَمِ دِيْنًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيَّا وَبِالْقُرْأَنِ إِمَامًا فَإِنَّ مُنْكَرًا
وَنَكِيْرًا يَأْخُذُ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِيَدِ صَاحِبِهِ.
وَيَقُوْلُ
اِنْطَلِقْ بِنَا مَا يُقْعِدُنَا عِنْدَ مَنْ قَدْ لُقِّنَ حُجَّتُهُ.
فَقَالَ رَجُلٌ
يَارَسُوْلِ اللهِ فَإِنْ لَمْ يُعْرَفْ أُمُّهُ؟ قَالَ يَنْسِبُهُ إِلىَ أُمِّهِ
حَوَّاءَ: يَافُلاَنُ بْنُ حَوَّاء (رواه الطبراني في المعجم الكبير ،
7979، ونقله الشيخ محمد بن عبد الوهاب في كتابه أحكام تمني الموت ص 9 بدون أي
تعليق)
“Dari Abi Umamah RA,
beliau berkata, “Jika aku kelak telah
meninggal dunia, maka perlakukanlah aku sebagaimana Rasulullah SAW memperlakukan orang-orang yang wafat di antara kita. Rasulullah SAW memerintahkan kita, seraya
bersabda, “Ketika di antara kamu ada
yang meninggal dunia, lalu kamu meratakan tanah di atas kuburannya, maka
hendaklah salah satu di antara kamu berdiri pada bagian kepala kuburan itu
seraya berkata, “Wahai fulan bin
fulanah”. Orang yang berada dalam kubur pasti mendengar apa yang kamu ucapkan, namun mereka tidak dapat menjawabnya.
Kemudian (orang yang berdiri di kuburan) berkata lagi, “Wahai fulan bin
fulanah”, ketika itu juga si mayyit bangkit dan duduk dalam kuburannya. Orang yang berada di atas kuburan itu berucap lagi, “Wahai fulan bin fulanah”, maka
si mayit berucap, “Berilah kami petunjuk, dan semoga Allah akan selalu memberi
rahmat kepadamu. Namun kamu tidak merasakan (apa yang aku rasakan di sini).”
(Karena itu) hendaklah orang yang berdiri di atas kuburan itu berkata,
“Ingatlah sewaktu engkau keluar ke alam dunia, engkau telah bersaksi bahwa
tidak ada Tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammad adalah hamba serta Rasul Allah.
(Kamu juga telah bersaksi) bahwa engkau akan selalu ridha menjadikan Allah sebagai Tuhanmu, Islam sebagai agamamu, Muhammad sebagai Nabimu, dan al-Qur’an sebagai
imam (penuntun jalan)mu. (Setelah
dibacakan talqin ini) malaikat Munkar dan Nakir saling berpegangan tangan
sambil berkata, “Marilah kita kembali,
apa gunanya kita duduk (untuk bertanya) di muka orang yang dibacakan talqin”.
Abu Umamah kemudian berkata,” Setelah
itu ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, bagaimana kalau kita
tidak mengenal ibunya?” Rasulullah menjawab,
“(Kalau seperti itu) dinisbatkan saja kepada ibu Hawa, “Wahai fulan bin
Hawa.” (HR. al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir [7979], Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab juga mengutip hadits tersebut dalam
kitabnya Ahkam Tamanni al-Mawt hal. 9
tanpa ada komentar).
Mayoritas ulama mengatakan bahwa hadits tentang talqin ini termasuk hadits dha’if, karena
ada seorang perawinya yang tidak cukup syarat untuk meriwayatkan
hadits. Namun dalam rangka fadha’il al-a‘mal, hadits
ini dapat digunakan. [3]
Kaitannya dengan Firman Allah SWT:
وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِى الْقُبُوْرِ
(فاطر: 22)
“Dan engkau (wahai Muhammad) sekali-kali tiada sanggup
menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar.” (QS. Fathir: 22).
Yang dimaksud dengan kata man fi al-qubur (orang
yang berada di dalam kubur) dalam ayat ini ialah orang-orang kafir yang
diserupakan orang mati karena sama-sama tidak menerima dakwah. Kata mati
tersebut adalah metaforis (bentuk majaz) dari hati mereka yang mati.
(Tafsir al-Khazin, juz V, hal. 347).
Dengan demikian dapat dipahami bahwa orang yang beriman
itu di dalam kubur bisa mendengar suara orang yang membimbing talqin tersebut dengan kekuasaan Allah SWT. Hal ini dapat diperkokoh dengan kebiasaan Rasulullah SAW apabila berziarah ke kuburan
selalu mengucapkan salam.
Seandainya ahli kubur tidak mendengar salam Rasulullah SAW, tentu
Rasulullah SAW melakukan sesuatu yang sia-sia, dan itu tidak mungkin. Wallahu A’lam.
3. Ziarah Kubur
Pada masa awal Islam, Rasulullah SAW memang melarang umat Islam untuk melakukan
ziarah kubur, karena khawatir
umat Islam akan menjadi penyembah kuburan. Setelah akidah umat Islam kuat, dan tidak ada
kekhawatiran untuk berbuat syirik, Rasulullah SAW membolehkan
para sahabatnya untuk melakukan ziarah kubur. Rasulullah SAW
bersabda:
عَنْ بُرَيْدَةَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
: قَدْ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ
زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَقَدْ أُذِنَ لِمُحَمَّدٍ فِى زِيَارَةِ قَبْرِ أُمِّهِ فَزُوْرُوْهَا فَاِنَّهَا تُذَكِّرُ اْلآخِرَة َ)رواه الترمذى، 974)
“Dari Buraidah, ia berkata, Rasululllah SAW bersabda, “Saya pernah
melarang kamu berziarah kubur. Tapi sekarang, Muhammad telah diberi izin untuk berziarah ke makam ibunya. Maka
sekarang, berziarahlah! Karena
perbuatan itu dapat mengingatkan kamu pada akhirat.” (HR. al-Tirmidzi [974]).
Kemudian kaitannya dengan hadits Nabi SAW yang secara tegas menyatakan larangan perempuan berziarah
kubur:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ زَوَّارَاتِ الْقُبُور
(رواه احمد، 8095)
“Dari Abu Hurairah RA bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW melaknat wanita yang berziarah kubur.” (HR. Ahmad [8095]).
Menyikapi hadits ini ulama menyatakan bahwa
larangan itu telah dicabut menjadi
sebuah kebolehan berziarah baik
bagi laki-laki dan perempuan. Imam al-Tirmidzi menyebutkan dalam kitab al-Sunan:
“Sebagian Ahli ilmu mengatakan bahwa hadits
itu diucapkan
sebelum Nabi SAW membolehkan untuk melakukan ziarah kubur. Setelah Rasulullah SAW membolehkannya, laki-laki dan perempuan
tercakup dalam kebolehan itu.” (Sunan
al-Tirmidzi, [976]).
Ketika berziarah, seseorang dianjurkan untuk membaca al-Qur’an atau lainnya. Sebagaimana sabda Rasulullah
SAW:
عَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ قَالَ
. قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِقْرَؤُوْا عَلَى مَوْتاَكُمْ يس (رواه أبو داود، 2714)
“Dari Ma‘qil bin Yasar RA,
ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Bacalah surat Yasin pada orang-orang mati
di antara kamu.” (HR. Abu Dawud [2714]).
Dalil-dalil ini membuktikan bahwa ziarah kubur itu memang dianjurkan. Terlebih jika yang diziarahi
itu adalah makam para wali dan orang shaleh. Ibnu Hajar
al-Haitami pernah ditanya tentang
berziarah ke makam para wali pada
waktu tertentu dengan melakukan perjalanan khusus ke makam mereka. Beliau
menjawab, berziarah ke makam
para wali adalah ibadah
yang disunnahkan. Demikian pula
dengan perjalanan ke makam mereka.” (Al-Fatawi
al-Kubra, juz II, hal 24).
Berziarah ke makam para wali dan orang-orang shaleh telah menjadi tradisi para ulama salaf. Di antaranya
adalah Imam al-Syafi'i mencontohkan berziarah ke makam Laits bin Sa'ad dan
membaca al-Qur'an sampai khatam di sana (al-Dzakhirah al-Tsaminah, hal. 64). Bahkan
diceritakan bahwa Imam Syafi’i jika ada hajat, setiap hari beliau berziarah ke makam Imam Abu Hanifah. Seperti
pengakuan beliau dalam riwayat yang
shahih:
“Dari Ali bin Maimun, berkata, "Aku mendengar Imam al-Syafi'i berkata, "Aku selalu
bertabarruk dengan Abu Hanifah dan berziarah mendatangi makamnya setiap hari.
Apabila aku memiliki hajat, maka aku shalat dua rakaat, lalu mendatangi makam beliau, dan aku
mohon hajat itu kepada Allah SWT di sisi makamnya, sehingga tidak lama kemudian hajatku terkabul." (Tarikh Baghdad, juz 1, hal. 123)
4. Menyuguhkan
Makanan Kepada Orang Yang Ta’ziah
Menyuguhkan makanan kepada
orang yang bertakziah hukumnya boleh,
berdasarkan hadits:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ اْلإِسْلاَمِ خَيْرٌ قَالَ تُطْعِمُ الطَّعَامَ وَتَقْرَأُ
السَّلاَمَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ
(رواه البخاري، 11)
“Dari Abdullah bin Amr RA, “Ada seorang laki-laki bertanya pada Nabi SAW, “Perbuatan apakah yang paling baik?” Rasulullah
SAW menjawab, “Menyuguhkan makanan dan mengucapkan
salam, baik kepada orang yang engkau kenal atau tidak.” (HR. al-Bukhari [11]).
Juga didasarkan kepada
hadits Nabi SAW:
عَنْ عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ رَجُلٍ مِنْ اْلأَنْصَارِ
قَالَ خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جَنَازَةٍ فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الْقَبْرِ يُوصِي الْحَافِرَ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ
رِجْلَيْهِ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ فَلَمَّا رَجَعَ اسْتَقْبَلَهُ دَاعِي
امْرَأَتِهِ فَجَاءَ وَجِيءَ بِالطَّعَامِ فَوَضَعَ يَدَهُ ثُمَّ وَضَعَ الْقَوْمُ
فَأَكَلُوا فَنَظَرَ آبَاؤُنَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَلُوكُ لُقْمَةً فِي فَمِهِ ثُمَّ قَالَ أَجِدُ لَحْمَ شَاةٍ أُخِذَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ أَهْلِهَا فَأَرْسَلَتْ
الْمَرْأَةُ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي أَرْسَلْتُ إِلَى الْبَقِيعِ
يَشْتَرِي لِيْ شَاةً فَلَمْ أَجِدْ فَأَرْسَلْتُ إِلَى جَارٍ لِي قَدْ اشْتَرَى شَاةً أَنْ أَرْسِلْ إِلَيَّ بِهَا بِثَمَنِهَا فَلَمْ يُوجَدْ
فَأَرْسَلْتُ إِلَى امْرَأَتِهِ فَأَرْسَلَتْ إِلَيَّ بِهَا فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَطْعِمِيهِ اْلأُسَارَى
(رواه أبو داود، 2894، والبيهقي في دلائل النبوة انظر مشكاة المصابيح،
5942)
“Diriwayatkan oleh Ashim
bin Kulayb dari ayahnya dari salah seorang sahabat Anshar, ia berkata, “Saya pernah
melayat bersama Rasulullah SAW dan
di saat itu saya melihat beliau menasehati penggali
kubur seraya bersabda,“Luaskan bagian kaki dan kepalanya”. Setelah Rasulullah SAW pulang, beliau diundang oleh
seorang perempuan (istri yang meninggal). Rasulullah
SAW memenuhi undangannya, dan saya ikut bersama beliau. Ketika beliau datang, lalu
makananpun dihidangkan. Rasulullah
SAW mulai makan lalu diikuti oleh para undangan. Pada saat beliau akan
mengunyah makanan tersebut, beliau bersabda, “Aku merasa daging kambing ini
diambil dengan tanpa izin pemiliknya”. Kemudian perempuan tersebut bergegas
menemui Rasulullah SAW sembari berkata, “Wahai Rasulullah SAW saya sudah menyuruh orang pergi ke Baqi’, (suatu
tempat penjualan kambing), untuk membeli kambing, namun tidak
mendapatkannya. Kemudian saya menyuruhnya
menemui tetangga saya yang telah membeli kambing, agar kambing itu dijual kepada saya
dengan harga yang umum, akan tetapi ia tidak ada. Maka saya
menyuruh menemui isterinya dan ia pun mengirim kambingnya pada
saya. Rasulullah SAW
kemudian bersabda, “Berikan makanan ini pada para tawanan.” (HR. Abu Dawud [2894] dan al-Baihaqi dalam Dalail
al-Nubuwwah, [Lihat: Misykat al-Mashabih [5942]).
Berdasarkan hadits inilah,
Syaikh Ibrahim al-Halabi berkata, “Hadits ini menunjukkan kebolehan keluarga
mayit membuat makanan dan mengundang orang untuk makan. Jika makanan itu
disuguhkan kepada para fakir miskin, hal itu baik. Kecuali jika salah satu ahli
warisnya ada yang masih kecil, maka tidak boleh diambilkan dari harta waris si mayit.” (Al-Bariqah
al-Muhammadiyyah, juz III, hal. 235, dan lihat juga al-Masail al-Muntakhabah, hal.
49).
Mengenai keputusan Rasulullah SAW memberikan
makanan kepada para tawanan itu tidak dapat
dijadikan alasan mengharamkan menyuguhkan makanan kepada orang yang berta’ziyah. Rasulullah SAW menyuruh
memberikan makanan kepada para
tawanan karena orang yang akan dimintai
ridhanya atas daging itu belum ditemukan sedangkan makanan itu takut
basi. Maka sudah semestinya jika Rasulullah SAW memberikan makanan tersebut
kepada para tawanan. Dan isteri mayit pun
telah mengganti harga kambing yang disuguhkan tersebut. (Bulugh al-Umniyyah
hal. 219).
5.
Tradisi Tahlilan
Berkumpul
untuk melakukan tahlilan merupakan tradisi yang telah diamalkan secara turun
temurun oleh mayoritas
umat Islam Indonesia. Meskipun format acaranya tidak diajarkan secara
langsung oleh Rasulullah SAW, namun kegiatan tersebut dibolehkan karena
tidak satupun unsur-unsur yang terdapat di dalamnya bertentangan dengan ajaran
Islam, misalnya pembacaan surat Yasin, tahlil, tahmid,
tasbih dan
semacamnya. Karena itu, pelaksanaan tahlilan secara esensial merupakan
perwujudan dari tuntunan Rasulullah SAW.
Imam
al-Syaukani mengatakan bahwa setiap perkumpulan yang di dalamnya
dilaksanakan kebaikan, misalnya membaca al-Qur’an, dzikir dan doa itu adalah perbuatan
yang dibenarkan meskipun tidak pernah
dilaksanakan pada masa Rasul SAW. Begitu pula tidak ada larangan untuk
menghadiahkan pahala membaca al-Qur’an atau lainnya kepada orang yang telah
meninggal dunia. Bahkan ada beberapa jenis bacaan yang didasarkan pada hadits shahih
seperti, hadits ”Bacalah surat Yasin kepada orang mati di antara kamu”. Tidak ada bedanya apakah pembacaan
surat Yasin tersebut dilakukan
bersama-sama di dekat mayit atau di atas kuburnya, dan membaca al-Qur’an
secara keseluruhan atau sebagian, baik
dilakukan di Masjid atau di rumah. (Al-Syaukani, al-Rasa’il al-Salafiyyah,
hal. 46).
Kesimpulan al-Syaukani ini
memang didukung oleh banyak hadits Nabi SAW. Di antaranya adalah:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَقْعُدُ قَوْمٌ
يَذْكُرُونَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ حَفَّتْهُمْ الْمَلاَئِكَةُ وَغَشِيَتْهُمْ
الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَذَكَرَهُمْ اللهُ فِيمَنْ
عِنْدَهُ (رواه مسلم ، 4868)
“Dari Abi Sa’id al-Khudri RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah
berkumpul suatu kaum sambil berdzikir kepada Allah SWT, kecuali mereka akan
dikelilingi malaikat, dan Allah SWT akan memberikan rahmat-Nya kepada mereka,
memberikan ketenangan hati dan memujinya di hadapan makh-luk yang ada di
sisi-Nya.” (HR. al-Muslim [4868]).
Kaitannya dengan pendapat
Imam al-Syafi’i :
“Dan aku tidak senang pada
“ma’tam” yakni adanya perkumpulan, karena hal
itu akan mendatangkan kesusahan dan menambah beban.” (Al-Umm, juz I, hal.
318).
Perkataan Imam al-Syafi’i ini sering dijadikan dasar melarang acara tahlilan,
karena dianggap sebagai salah satu bentuk ma’tam yang dilarang tersebut.
Padahal
apa yang dimaksud dengan ma’tam itu tidak sama dengan tahlilan.
Ma’tam adalah perkumpulan untuk meratapi mayit yang dapat menambah
kesusahan dan kesedihan keluarga yang ditinggalkan. (Al-Munjid, 2)
Ma’tam yang tidak disenangi oleh Imam al-Syafi’i adalah perkumpulan untuk
meratapi kepergian mayit, yang
mencerminkan kesedihan
mendalam karena ditinggal oleh
orang yang dicintai. Seolah-olah tidak terima terhadap apa yang telah
diputuskan oleh Allah SWT. Dan itu sama sekali
tidak terjadi bagi orang yang melakukan tahlilan yang di dalamnya terdapat
dzikir dan doa untuk orang yang meninggal dunia. Sehingga lebih tepat jika tahlilan itu disebut sebagai majlis
al-dzikr.
Bagi sohibul musibah, tahlilan itu merupakan
pelipur lara dan penghapus duka karena ditinggal mati oleh
orang yang mereka sayangi, bukan
penambah kesusahan dan derita. Sebagai
bukti, semakin banyak orang yang tahlil, maka tuan rumah semakin senang. Justru tuan rumah akan
kecewa dan tambah
bersedih jika yang datang untuk tahlilan sangat sedikit.
Dari sisi sosial, keberadaan tradisi tahlilan mempunyai manfaat yang sangat besar untuk menjalin
ukhuwah antar anggota masyarakat. Dalam sebuah penelitian ilmiah yang dilakukan oleh Zainuddin Fananie MA dan Atiqo
Sabardila MA dosen Universitas
Muhammadiyah Surakarta didapat kesimpulan
bahwa tahlil merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan
keagamaan. Di samping itu tahlil juga merupakan
salah satu alat mediasi (perantara) yang paling memenuhi syarat yang bisa
dipakai sebagai media komunikasi keagamaan dan pemersatu umat serta
mendatangkan ketenangan jiwa.[4]
6.
Perjamuan Makanan dalam Acara Tahlilan
Dalam setiap pelaksanaan
tahlilan, tuan rumah memberikan makanan kepada orang-orang
yang mengikuti tahlilan. Selain
sebagai sedekah yang pahalanya diberikan kepada orang yang telah meninggal
dunia, motivasi tuan rumah adalah sebagai penghormatan kepada para tamu yang
turut mendoakan keluarga yang meninggal dunia.
Dilihat dari sisi sedekah,
bahwa dalam bentuk apapun, sedekah merupakan sesuatu yang sangat dianjurkan. Memberikan
makanan kepada orang lain adalah perbuatan yang sangat terpuji. Sabda Nabi SAW:
عَنْ عَمْرِو بْنِ عَبَسَةَ قَالَ أَتَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ مَا اْلإِسْلاَمُ قَالَ طِيبُ الْكَلاَمِ وَإِطْعَامُ الطَّعَامِ
(رواه احمد، 18617)
“Dari
Amr bin Abasah, ia berkata, saya mendatangi Rasulullah
SAW kemudian saya bertanya, “Wahai Rasul, apakah Islam itu?” Rasul SAW
menjawab, “Bertutur kata yang baik dan menyuguhkan makanan.” (HR. Ahmad [18617]).
Kaitannya dengan sedekah untuk mayit, pada masa Rasulullah SAW, jangankan makanan, kebun pun
(harta yang sangat berharga)
disedekahkan dan pahalanya diberikan kepada si mayit. Dalam sebuah hadits shahih
disebutkan:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَجُلاً قَالَ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أُمِّي
تُوُفِّيَتْ أَفَيَنْفَعُهَا إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَإِنَّ لِي مَخْرَفًا فَأُشْهِدُكَ أَنِّي قَدْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا (رواه
الترمذي، 605)
“Dari Ibnu Abbas,
sesungguhnya ada seorang laki-laki bertanya, “Wahai Rasulullah SAW, sesungguhnya ibuku telah
meninggal dunia, apakah ada manfaatnya jika aku bersedekah untuknya?” Rasulullah
SAW menjawab, “Ya”. Laki-laki itu berkata, “Aku memiliki sebidang kebun, maka
aku mempersaksikan kepadamu bahwa aku akan mensedekahkan kebun tersebut atas
nama ibuku.” (HR. Tirimidzi [605]).
Ibnu Qayyim al-Jawziyah dengan tegas mengatakan bahwa
sebaik-baik amal yang dihadiahkan kepada mayit adalah memerdekakan budak,
sedekah, istigfar, doa dan haji. Adapun pahala membaca al-Qur’an secara
sukarela dan pahalanya diberikan kepada mayit, juga akan sampai kepada mayit tersebut. Sebagaimana pahala puasa
dan haji.” (Ibnu al-Qayyim, al-Ruh, hal. 142).
Jika kemudian perbuatan tersebut dikaitkan dengan usaha untuk memberikan penghormatan kepada para
tamu, maka itu merupakan
perbuatan yang dianjurkan dalam Islam. Sabda Rasulullah SAW:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ
بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يُؤْذِ جَارَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ
وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ
اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
(رواه مسلم، 5559)
“Dari
Abi Hurairah RA,
ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda,
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, maka janganlah menyakiti tetangganya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, maka hormatilah
tamunya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, hendaklah ia
berkata dengan kebaikan atau (jika tidak bisa), diam.” (HR. Muslim [5559]).
Seorang tamu yang keperluannya hanya urusan bisnis atau
sekedar ngobrol dan main catur harus diterima dan dijamu dengan baik, apalagi tamu yang datang untuk mendoakan keluarga kita di akhirat, sudah
seharusnya lebih dihormati dan diperhatikan.
Hanya saja,
kemampuan ekonomi harus tetap menjadi pertimbangan
utama. Tidak boleh memaksakan diri untuk melakukan acara tahlilan. Berhutang ke
sana ke mari atau sampai mengambil harta anak yatim dan ahli waris yang lain. Hal tersebut jelas tidak dibenarkan. Dalam kondisi seperti ini, sebaiknya perjamuan itu diadakan ala kadarnya.
Lain halnya
jika memiliki kemampuan ekonomi yang sangat memungkinkan.
Selama tidak israf (berlebih-lebihan dan
menghamburkan harta) atau sekedar menjaga gengsi, suguhan
istimewa yang dihidangkan, dapat diperkenankan sebagai suatu bentuk penghormatan serta kecintaan kepada keluarga yang telah meninggal dunia.
Dan yang tak
kalah pentingnya masyarakat yang melakukan tahlilan hendaknya menata niat di
dalam hati bahwa apa yang dilakukan itu semata-mata karena Allah SWT. Dan jika ada
bagian dari upacara tahlil itu yang
menyimpang dari ketentuan syara’ maka tugas para ulama untuk meluruskannya
dengan penuh bijaksana.
7.
Pelaksanaan Tahlil Selama Tujuh Hari.
Syaikh
Nawawi al-Bantani -seorang ulama mutaakhkhirin-, menjelaskan penentuan
sedekah pada hari-hari tertentu itu merupakan kebiasaan masyarakat saja (al-’Adah).
Difatwakan oleh Sayyid Ahmad Dahlan.
"Sungguh telah berlaku di
masyarakat adanya kebiasaan bersedekah untuk mayit pada hari ke tiga dari kematian, hari ke tujuh, dua puluh dan
ketika genap empat puluh hari serta seratus hari. Setelah itu dilakukan setiap tahun pada hari kematiaanya. Sebagaimana
disampaikan oleh Syaikh kita Yusuf al-Sunbulawini.”
(Nihayah al-Zain, hal. 281).
Bahkan
Imam Ahmad bin Hanbal, dalam kitab al-Zuhd
menyatakan bahwa bersedekah selama tujuh hari itu adalah perbuatan sunnah,
karena merupakan salah satu bentuk doa untuk mayit yang sedang diuji di dalam
kubur selama tujuh hari. Sebagaimana yang dikutip oleh Imam al-Suyuthi dalam
kitab al-Hawi li al-Fatawi:
“Berkata
Imam Ahmad bin Hanbal, Hasyim bin al-Qasim meriwayatkan kepada
kami, ia berkata, al-Asyja’i meriwayatkan kepada kami dari
Sufyan, Imam Thawus berkata, “Orang yang meninggal dunia diuji selama tujuh hari
di dalam kubur mereka. Maka
kemudian kalangan salaf mensunnahkan
bersedekah makanan untuk orang yang meninggal dunia selama tujuh hari itu.” (Al-Hawi li al-Fatawi, juz II, hal 178 ).
Lebih jauh, Imam al-Suyuthi menilai hal tersebut
merupakan perbuatan sunnah yang telah
dilakukan secara turun temurun sejak
masa sahabat.
“Kesunnahan memberikan
sedekah makanan selama tujuh hari merupakan
perbuatan yang tetap berlaku hingga sekarang
(zaman Imam al-Suyuthi, abad X Hijriyah) di Makkah dan Madinah. Yang jelas,
kebiasaan itu tidak pernah
ditinggalkan sejak masa sahabat Nabi SAW sampai sekarang ini, dan tradisi itu diambil dari ulama salaf sejak generasi
pertama (masa sahabat).”
(Al-Hawi li al-Fatawi,
juz II, hal. 194)
Dari sini dapat disimpulkan bahwa kebiasaan masyarakat tentang
penentuan hari dalam tahlilan itu dapat dibenarkan.[]
[1] Sebagaimana diyakini oleh
ulama salaf seperti Imam al-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal, serta ulama yang datang kemudian semisal Ibnu Taymiyyah,
Ibnu al-Qayyim, al-Syaukani, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, dan
sebagainya.
[2] Ini adalah pendapat
sekelompok ulama serta mayoritas ulama Syafi‘iyyah. Ulama yang mengatakan
kesunnahan ini di antaranya adalah al-Qadli
Husain dalam Kitab Ta‘liq-nya, murid beliau yang bernama Abu
Sa‘ad al-Mutawalli dalam kitabnya al-Tatimmah, Syaikh Imam Abu al-Fath Nashr bin Ibrahim
al-Maqdisi, al-Imam Abu al-Qasim al-Rafi‘i, dan lainnya. Al-Qadhi Husain
menyitir pendapat ini dari kalangan Syafi`iyyah.” (Al-Adzkar al-Nawawiyyah,
hal. 206).
[3] Sayyid Alawi bin Abbas al-Maliki al-Hasani menegaskan bahwa sekalipun hadits tentang talqin itu
merupakan hadits dha‘if, namun dapat diamalkan dalam rangka fadlail
al-a’mal. Lebih-lebih karena hadits itu
masuk pada kategori prinsip yang universal, yakni usaha seorang mukmin
untuk memberi (dan membantu) saudaranya, serta untuk memperingatkannya karena
peringatan itu akan dapat bermanfaat kepada orang mukmin. (Majmu‘ Fatawi wa
Rasa’il, hal. 111).
[4] Lebih jelas lihat: (Sumber Konflik Masyarakat Muslim
NU-Muhammadiyah: Perspektif Keberterimaan Tahlil, diterbitkan oleh Universitas
Muhammadiyah Surakarta, hal. 257-259).
Ditulis oleh : abinadine.blogspot.com ~ Official
Anda sedang membaca postingan tentang Hujjah NU: Hadiah Pahala, Talqin, Ziarah Kubur, Tradisi Tahlilan. Anda boleh mengcopy paste atau menyebarluaskan postingan ini, namun jangan lupa untuk meletakkan link di bawah ini sebagai sumbernya.
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
ٱلْعَٰلَمِين