Jama’ah Jum’at yang dirahmati Allah SWT,
Pada kesempatan yang berbahagia ini, marilah kita
senantiasa bersyukur kepada Allah SWT dengan senantiasa meningkatkan iman dan
takwa kita kepada Allah SWT, menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi,
meninggalkan segala larangan-Nya. Semua bentuk ketakwaan itu pada dasarnya
adalah untuk kebaikan kita sendiri. Jika kita hidup sesuai aturan Dzat yang
membuat hidup, insya Allah kita akan mendapatkan kebahagiaan hakiki di dunia
dan akhirat.
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Oleh karenanya, mari kita perhatikan
penjelasan al-Qur’an tentang hakikat kehidupan di dunia ini. Dalam Qs. al-Hadid
ayat 20, Allah menjelaskan:
اِعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا
لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ
وَالْأَوْلَادِ
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya
kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan
bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta
dan anak.”
Imam Najmuddin an-Nasafi menafsirkan ayat
tersebut dengan membagi setiap fase kehidupan tersebut akan dilalui oleh
manusia selama delapan tahun.
Pertama fase la’ibun yang secara bahasa berarti sebuah
permainan. Permainan merupakan kata yang menunjuk pada tidak adanya keseriusan.
Dalam bahasa Indonesia keseharian ‘mainan’ adalah antonim dari ‘beneran’.
Dengan kata lain, bahwa kehidupan di dunia ini bukanlah sesuatu yang beneran,
tapi hanya bohongan. Rumah di dunia adalah rumah-rumahan, mobil di dunia adalah
mobil-mobilan dan begitulah seterusnya.
Jika diterapkan penafsiran Imam
Najmuddin dalam ayat ini, maka fase la’ibun
ada fase pertama dari kehidupan manusia selama berumur 1-8 tahun yang berisikan
permainan. Lihat saja anak-anak kita yang tidak terlalu banyak berpikir dalam
usia tersebut. Bahkan begitu pentingnya permainan hingga diciptakanlah berbagai
macam kelompok bermain (playgroup).
Hal ini persis dengan apa yang
dikatakan oleh Imam Fakhuddin ar-Razi dalam tafsirnya Mafatihul Ghaib, bahwa la’ibun merupakan karakter
anak-anak yang tidak pernah memikirkan manfaat dari apa yang dilakukannya,
karena semua itu hanya sekedar permainan.
Jama’ah Jum’ah Rahimakumullah
Fase kedua adalah lahwun, yaitu sifat lalai yang
terdapat dalam diri manusia, lalai karena tidak terbiasa berpikir panjang atau sengaja
tidak mau berpikir panjang. Apa yang dilakukan selalu menurut tuntutan hawa
nafsu. Tawuran, kebut-kebutan, semua dilakukan tanpa ada pertimbangan. Asal hati
senang, maka kakipun melangkah. Inilah sifat yang melanda anak manusia dalam
fase kedua kehidupannya, ketika remaja berumur 9-16 tahun.
Ketiga fase zinatun, bahwa dunia ini adalah perhiasan
semata. Dunia seisinya tidak lebih dari asesoris kehidupan. Imam ar-Razi
mengatakan bahwa fase ini banyak menerpa kaum hawa. Ketika umur telah mulai
menginjak tujuh belas tahun, maka mulailah perempuan itu menyadari akan
keperempuanannya. Mulailah apa yang disebut dengan masa kedewasaan. Diantara
tanda-tandanya adalah berlama-lama di depan kaca, merias diri, dan sebagainya.
Begitu juga dengan masalah penampilan,
fase kehidupan ini (17-24 tahun), anak manusia selalu ingin tampil mengagumkan.
Motor harus ada, HP harus seri terbaru, kuliah harus di perguruan tinggi, dan
seterusnya. Padahal jika dipikir lebih dalam, semua tuntutan itu hanya semakin
menjauh dari substansi kehidupan. Tidak peduli pengetahuan yang didapat, yang
penting universitas yang terkenal. Tidak peduli dengan pantas atau tidak, yang
penting tampil keren dan mempesona. Sungguh semua itu adalah dalil betapa
kehidupan dunia ini adalah asesoris belaka.
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Keempat, fase tafakhurun bainakum artinya dunia menjadi tempat untuk
saling bermegah-megahan, dunia menjadi media saling menyombongkan diri, atau
dalam bahasa jawa disebut ‘anggak-anggakan’. Baik saling menyombongkan kepunyaannya
maupun trah keturunannya. Biasanya dalam fase ini, antara umur 25-32 tahun,
anak manusia mulai mencari jati dirinya. Dalam pencarian itulah ada kalanya dia
membanggakan nasabnya, atau membanggakan milik ayahnya, atau hanya sekedar
ingin terlihat lebih di antara sesama.
Kelima, fase takatsurun fil amwal, bahwa
dunia ini adalah tempat memperbanyak harta dan keturunan. Inilah puncak dari
fase kehidupan manusia ketika berumur 33 tahun ke atas. Pada saat-saat inilah
kita melihat semangat yang menggebu dalam diri manusia untuk berbisnis menumpuk
harta. Bahkan juga masa memanjakan anak dan keluarga. Apa saja yang diinginkan
anak dan istrinya, selalu berusaha untuk dipenuhi, tidak peduli caranya halal
atau tidak.
Keenam takatsurun fil aulad, fase ini merupakan
kelanjutan dari fase sebelumnya. Jika mengikuti pendapat Iman Najmuddin
an-Nasafi, maka umur 40 tahun ke atas adalah masa yang wajar seseorang mulai
memperhatikan kepentingan anak dan cucu-cucunya. Membanggakan dan terlalu
memikirkan kehidupan mereka. Seolah tidak tega jika melihat anak dan cucu itu
terlantar hidupnya, maka diteruskanlah fase sebelumnya, sehingga mereka yang
diserahi amanah rela melakukan korupsi demi anak dan cucu, serta melakukan
praktik nepotisme dengan menjalin jejaring yang kuat untuk mempertahankan
kekayaan dan kehidupannya.
Sesungguhnya semua itu terjadi berawal
dari cara pandang orang-orang dunia yang terperangkap tipu daya dunia. Seakan
dunia ini bisa diraih dengan usahanya sendiri. Jika tidak bekerja, maka ia
tidak bisa makan. Jika tidak makan, maka ia bisa mati. Dan shalat pun ditinggalkan tanpa
ragu, sebab dianggap bisa mengurangi waktunya mengumpulkan dunia. Mereka lupa
Allah-lah yang sesungguhnya memberi rizki.
Hadirin Jama’ah Jum’ah yang Dimuliakan
Allah
Inilah, keadaan hidup di dunia.
Jika kita tidak segera sadar diri, niscaya kita akan terhanyut dalam arus yang
makin menjauhkan hidup ini dari substansinya. Semakin tersibukkanlah kita
dengan remeh temeh keduniawian yang tidak ada putusnya, dunia bagaikan candu
yang tidak mudah dihentikan.
Maka, begitulah remeh temeh perjalanan
hidup di dunia dan betapa sebentarnya kehidupan ini, sehingga ditamsilkan dalam
lanjutan Qs. al-Hadid ayat 20 tersebut bagaikan umur tumbuhan yang sebentar, yakni
ditanam, disirami, tumbuh, berbuah lalu hancur tak berbekas.
كَمَثَلِ
غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ
يَكُونُ حُطَامًا
“Seperti hujan yang tanam-tanamannya
mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat
warnanya kuning kemudian menjadi hancur.”
Oleh karena itulah, sungguh beruntung
mereka yang mengerti dan menyadarinya, lalu membenahi langkah dalam
kehidupannya. Bahwa akhirat-lah kehidupan yang sesungguhnya. Apa yang ditanam di
dunia ini akan dipanen hasilnya di akhirat. Jika amal saleh yang ditanam, maka
kebahagiaan-lah yang akan didapat. Dan jika amal buruk yang ditanam, maka
kecelakaan-lah yang akan didapat. Masih dalam ayat tersebut, Allah
memperingatkan:
وَفِي
الْآَخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا
الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
“Dan di akhirat (nanti) ada azab yang
keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak
lain hanyalah kesenangan yang menipu.”
Hadirin Jama’ah Jum’ah yang Dimuliakan
Allah
Sekarang tergantung kita, apakah di
akhirat nanti, kita akan mendapatkan azab yang keras atau ampunan dan ridha
dari Allah SWT. Semua bergantung dari cara kita memaknai dan menjalani hidup di
dunia ini, apakah berdasar hawa nafsu kita sendiri-sendiri atau berdasar
tuntutanan Allah dan Rasul-Nya.
Kita berdoa, semoga kita semua yang
hadir di tempat ini, serta seluruh keluarga kita, termasuk orang-orang yang
selalu waspada dan mawas diri terhadap rayuan dan godaan dunia, menjadi
hamba-hamba Allah yang memprioritaskan kehidupan akhirat, sehingga mendapatkan
kebahagiaan hakiki di dunia dan akhirat dalam naungan ridha Allah SWT. Amin.
Ditulis oleh : abinadine.blogspot.com ~ Official
Anda sedang membaca postingan tentang Fase Kehidupan Dunia yang Sementara. Anda boleh mengcopy paste atau menyebarluaskan postingan ini, namun jangan lupa untuk meletakkan link di bawah ini sebagai sumbernya.
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
ٱلْعَٰلَمِين
Post a Comment