Menggapai Lailatul Qadar

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم

MENGGAPAI LAILATUL QADAR

Oleh: Rofi’udin, S.Th.I, M.Pd.I

 


اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

الْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ، وَبِفَضْلِهِ تَتَنَزَّلُ الْخَيْرَاتُ وَالْبَرَكَاتُ، وَبِتَوْفِيْقِهِ تَتَحَقَّقُ الْمَقَاصِدُ وَالْغَايَاتُ، أَشْهَدُ أَنْ لَاۤ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لَانَبِيَّ بَعْدَهُ، اللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ اَجْمَعْيْنَ.

 

Dalam kesempatan yang baik ini, marilah kita senantiasa bersyukur kepada Allah Swt. atas berbagai nikmat-Nya kepada kita. Shalawat dan salam kita haturkan ke pangkuan junjungan kita, Nabi Muhammad saw. Sebagai umatnya, kita tentu selalu mengharapkan syafaatnya min yaumina hadza ila yaumil qiyamah, sejak saat ini hingga hari kiamat nanti.

Imam Al-Ghazali menceritakan suatu kisah dalam kitabnya, Mukasyafatul Qulub. Suatu ketika, Rasulullah saw. bercerita kepada para sahabat tentang salah seorang nabi dari kalangan Bani Israil. Namanya Syam’un al-Ghazi. Diceritakan bahwa ia berjuang seorang diri menentang bangsa Israil yang menentang tauhid. 

Singkat cerita, Syam’un sempat dijebak oleh istrinya yang berkhianat, hingga akhirnya bisa ditangkap dan disiksa. Syam’un berdoa kepada Allah agar mengembalikan kekuatannya. Doanya dikabulkan Allah dan kekuatannya kembali pulih. Akhirnya istana raja berhasil ia hancurkan. Ia pun bersyukur kepada Allah dengan bersumpah akan menghabiskan waktunya untuk jihad fi sabilillah selama seribu bulan. 

Para sahabat yang mendengar cerita tersebut merasa takjub sekaligus cemburu. Umur mereka belum tentu mencapai 83 tahun dan kecil peluang mereka untuk menyamai pahala Syam’un. Malaikat Jibril as. kemudian turun kepada Nabi saw. dengan membawa surat al-Qadar. Isinya, pada bulan Ramadan, ada sebuah malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan. 

Itulah Lailatul Qadar, yang secara eksplisit diterangkan dalam al-Qur’an:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ، وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ، لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ.

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (Qs. al-Qadar: 1-3)

Prof. Quraish Shihab menulis, Lailatul Qadar bisa bermakna ”malam kemuliaan”, lantaran turunnya al-Qur’an pada malam itu. Ia bisa bermakna ”malam pengaturan”, karena ketika itu Allah mengatur strategi nabi dalam mengajak umat pada kebenaran. Ia juga bisa bermakna ”malam ketetapan”, lantaran malam itu terjadi ketetapan bagi perjalanan hidup makhuk.

Kenapa disebut malam ketetapan? Sebab sepanjang Ramadan kita telah berjuang mengendalikan hawa nafsu. Di siang hari, kita berlapar-lapar sepanjang hari karena Allah. Di malam hari, kita bangun untuk shalat tarawih juga karena Allah. Hal ini kita lakukan sejak tanggal 1 Ramadan. Dan ketika menjelang tiba di akhir Ramadan, tentu kebiasaan baik itu akan membawa dampak positif. Malam ketetapan itulah yang akan menjadi titik balik kita menjadi manusia yang lebih baik. 

Dampak positif dari penempaan diri selama Ramadan dapat kita rasakan bersama. Kita menjadi pribadi yang lebih sabar, lebih pemaaf, dan lebih penyayang. Dengan menyadari dosa di masa lalu, kita juga bertekad bertaubat dan tidak mengulangi kesalahan yang sama. Kita siap meminta maaf dan memaafkan sesama. Suasana persaudaraan seperti inilah yang kita rasakan selama bulan Ramadan.

Itulah barangkali kenapa Ramadan dijuluki bulan rahmat dan penuh ampunan. Kita bisa merasakan lebih dekat satu sama lain. Kita lebih menyayangi dibanding sebelumnya. Tidak ada lagi sumpah serapah atau kata-kata menyakitkan yang biasanya gampang meluncur dari mulut-mulut kita. Di bulan Ramadan ini, kita memiliki perasaan yang sama. Kita sama-sama ingin introspeksi diri, memperbaiki diri, dan berusaha menjadi lebih baik.

Proses menuju kebaikan tersebut ditentukan hasilnya di akhir proses. Dengan demikian, momentum Lailatul Qadar yang terjadi di akhir Ramadan merupakan manisfestasi kesuksesan kita selama Ramadan. Lailatul Qadar menjadi momentum titik balik kita menjadi manusia suci tanpa dosa. Rasulullah saw bersabda:

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barang siapa bangun di malam lailatul qadar dengan dasar iman dan mengharap ridha Allah, maka diampuni dosanya yang telah lalu.” (Muttafaqun Alaih)

Apabila kita dapat memanfaatkan momentum Lailatul Qadar dengan sebaik-baiknya, maka berarti kita seperti menambah umur lebih dari 83 tahun. Apabila tiap tahun kita dapat menggapai Lailatul Qadar, tak terbayang berapa hakikat umur kita untuk kebaikan. Boleh jadi hanya puluhan tahun, namun hakikatnya ratusan tahun. Itulah umur yang berkah.

Ramadan adalah bulan suci yang sudah semestinya menjadikan kita menjadi suci. Kualitas dan kuantitas ibadah kita kepada Allah lebih meningkat. Tutur kata dan sikap kita juga menjadi lebih baik. Jangan sampai sindiran Gus Mus dalam sajaknya ini mengarah kepada kita: ”Ramadan bulan suci katamu. Kau menirukan ucapan Nabi, atau kau telah merasakan sendiri kesuciannya melalui kesucianmu.” Wallahu A’lam.

 

وَاللهُ الْمُوَفِّقُ اِلَى أَقْوَمِ الطَّرِيْقِ

وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

 

Tulisan ini dimuat dalam buku “30 Naskah Kultum untuk Jamaah Masjid Perumahan dan Perkantoran” yang diterbitkan oleh Subdit Kepustakaan Islam Direktorat Urais Binsyar Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama R.I. (2023)

Ditulis oleh : abinadine.blogspot.com ~ Official

Rofiudin Anda sedang membaca postingan tentang Menggapai Lailatul Qadar. Anda boleh mengcopy paste atau menyebarluaskan postingan ini, namun jangan lupa untuk meletakkan link di bawah ini sebagai sumbernya.
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِين

Post a Comment