Problematika
Di Bulan Ramadlan:
1.
Shalawat di
Sela-Sela Tarawih
2.
Membaca
Surat-Surat Pendek Dalam Tarawih
3. Qadla' Ramadlan di Bulan Syawal
4.
Rukyat Internasional
5.
Tadarus Di Bulan Ramadlan
6. Qunut Salat Witir
1. Shalawat di Sela-Sela Tarawih
Pertanyaan:
Banyak
dijumpai di masjid
atau mushalla,
ketika selesai salam dari salat Tarawih
dikumandangkan bacaan-bacaan shalawat dan doa untuk Khulafa' ar-Rasyidin.
Bagaima-nakah hukumnya dan adakah dasarnya? Syukri, Sby
Jawaban:
Membaca shalawat di antara bilangan
rakaat salat Tarawih bukan saja menjadi kebiasaan bagi umat Islam di Nusantara,
tetapi juga dilakukan oleh sebagian umat Islam dari Yaman, dimana ada banyak
ulama Yaman yang berdakwah ke Nusantara ini. Hal ini dibuktikan dengan fatwa
ulama Yaman, yaitu Syaikh Ibnu Ziyad (975 H), beliau berkata:
لَمْ
يُصَرِّحْ اَحَدٌ مِنَ اْلاَصْحَابِ بِاسْتِحْبَابِ الصَّلاَةِ عَلَى النَّبِي g بَيْنَ تَسْلِيْمَاتِ التَّرَاوِيْحِ لَكِنِ الَّذِي يُفْهَمُ
مِنْ عُمُوْمِ كَلاَمِهِمْ اَنَّهُ يُسْتَحَبُّ الدُّعَاءُ عَقِبَ كُلِّ صَلاَةٍ
وَالْمُرَادُ عَقِبَ التَّسْلِيْمِ وَقَدْ صَرَّحُوْا بِاَنَّهُ يُسْتَحَبُّ
افْتِتَاحُ الدُّعَاءِ وَخَتْمُهُ بِالصَّلاَةِ عَلَى النَّبِي g وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ. فَاسْتِحْبَابُ الصَّلاَةِ حِيْنَئِذٍ
مِنْ هَذِهِ الْحَيْثِيَّةِ (غاية تلخيص المراد من فتاوى ابن زياد بهامش بغية
المسترشدين 94)
"Tidak
ada ulama Syafiiyah yang menjelaskan anjuran membaca shalawat
kepada Nabi Saw diantara sela-sela salam salat Tarawih. Namun yang dapat
dipahami dari para ulama Syafiiyah adalah anjuran membaca doa setelah selesai
salat. Para ulama juga menganjurkan mengawali doa dan mengakhirinya dengan
bacaan shalawat kepada Rasulullah Saw, keluarga dan para sahabatnya. Dengan
demikian, anjuran membaca shalawat dalam Tarawih adalah dengan melihat faktor
tersebut" (Talkhish al-Fatawa Ibnu Ziyad 94)
Sementara bacaan dengan suara keras
untuk menyemangatkan jamaah juga diperbolehkan. Sebuah riwayat menyebutkan
bahwa Umar bin Khattab jika melantunkan al-Quran dengan suara keras tidak
disalahkan oleh Nabi Saw. Lalu ia ditanya oleh Nabi:
وَقَالَ
لِعُمَرَ لِمَ تَجْهَرُ؟ قَالَ أُفْزِعُ الشَّيْطَانَ وَأُوقِظُ الْوَسْنَانَ
قَالَ "فَكُلٌّ طَيِّبٌ" (رواه احمد وقال الحافظ الهيثمي رجاله ثقات)
"Mengapa
kamu mengeraskan bacaanmu?" Umar menjawab: "Saya ingin mengusir
syetan dan menghilangkan kantuk". Rasulullah menjawab: "Bagus"
(HR Ahmad No 865, semua perawinya terpercaya)
Disamping itu, ada anjuran untuk
berpindah dari satu tempat ke tempat salat yang lain, agar semakin banyak
tempat yang akan memberikan kesaksian kelak di akhirat (HR Abu Dawud, Baca
Syarah Aun al-Ma’bud 2/134). Kalau tidak berpindah tempat, hendaklah dipisah
dengan dzikir, doa atau pembicaraan (I’anat ath-Thalibin 1/188)
2. Membaca Surat-Surat Pendek Dalam
Tarawih
Pertanyaan:
Imam shalat Tarawih 20
rakaat umumnya membaca
surat
at-Takatsur sampai al-Lahab, dan di rakaat kedua membaca al-Ikhlas. Adakah
dalil yang mendasarinya? Ust Sya'roni, Masjid an-Nur Sby.
Jawaban:
Syaikh al-Azhar, Sulaiman al-Jamal
(1204 H) berkata:
وَفِعْلُهَا
بِالْقُرْآنِ فِي جَمِيْعِ الشَّهْرِ أَوْلَى وَأَفْضَلُ مِنْ تَكْرِيْرِ سُورَةِ
الْإِخْلَاصِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ مِنْهَا وَمِنْ تَكْرِيْرِ
سُورَةِ الرَّحْمَنِ أَوْ هَلْ أَتَى فِي جَمِيْعِهَا وَمِنْ تَكْرِيْرِ سُورَةِ
الْإِخْلَاصِ بَعْدَ كُلِّ سُوْرَةٍ مِنْ التَّكَاثُرِ إلَى الْمَسَدِ كَمَا
اعْتَادَهُ غَالِبُ الْأَئِمَّةِ بِمِصْرَ اهـ
بِرْمَاوِيٌّ (حاشية الجمل 4/ 325)
"Mengerjakan
Tarawih dengan mengkhatamkan al-Quran selama 1 bulan lebih utama daripada
mengulang-ulang surat al-Ikhlas 3 kali di setiap rakaat, atau mengulang-ulang
surat ar-Rahman, atau mengulang surat al-Ikhlas setelah surat
at-Takatsur sampai al-Lahab, sebagaimana yang biasa dilakukan kebanyakan imam
di Mesir (Hasyiah al-Jamal 4/325)
Hal ini berdasarkan riwayat dari Anas:
عَنْ
أَنَسٍ h كَانَ رَجُلٌ (كَلْثُوْمٌ بْنُ الْهَدْمِ) مِنَ الأَنْصَارِ
يَؤُمُّهُمْ فِى مَسْجِدِ قُبَاءٍ، وَكَانَ كُلَّمَا افْتَتَحَ سُورَةً يَقْرَأُ
بِهَا لَهُمْ فِى الصَّلاَةِ مِمَّا يَقْرَأُ بِهِ افْتَتَحَ بِپ (قُلْ هُوَ اللهُ
أَحَدٌ) حَتَّى يَفْرُغَ مِنْهَا، ثُمَّ يَقْرَأُ سُورَةً أُخْرَى مَعَهَا،
وَكَانَ يَصْنَعُ ذَلِكَ فِى كُلِّ رَكْعَةٍ، فَكَلَّمَهُ أَصْحَابُهُ فَقَالُوا
إِنَّكَ تَفْتَتِحُ بِهَذِهِ السُّورَةِ، ثُمَّ لاَ تَرَى أَنَّهَا تُجْزِئُكَ
حَتَّى تَقْرَأَ بِأُخْرَى، فَإِمَّا أَنْ تَقْرَأَ بِهَا وَإِمَّا أَنْ تَدَعَهَا
وَتَقْرَأَ بِأُخْرَى. فَقَالَ مَا أَنَا بِتَارِكِهَا، إِنْ أَحْبَبْتُمْ أَنْ
أَؤُمَّكُمْ بِذَلِكَ فَعَلْتُ، وَإِنْ كَرِهْتُمْ تَرَكْتُكُمْ. وَكَانُوا
يَرَوْنَ أَنَّهُ مِنْ أَفْضَلِهِمْ، وَكَرِهُوا أَنْ يَؤُمَّهُمْ غَيْرُهُ،
فَلَمَّا أَتَاهُمُ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرُوهُ
الْخَبَرَ فَقَالَ «يَا فُلاَنُ مَا يَمْنَعُكَ أَنْ تَفْعَلَ مَا يَأْمُرُكَ بِهِ
أَصْحَابُكَ وَمَا يَحْمِلُكَ عَلَى لُزُومِ هَذِهِ السُّورَةِ فِى كُلِّ
رَكْعَةٍ». فَقَالَ إِنِّى أُحِبُّهَا. فَقَالَ «حُبُّكَ إِيَّاهَا أَدْخَلَكَ
الْجَنَّةَ» (رواه البخارى 774)
“Bahwa
ada seorang laki-laki (Kaltsum bin Hadam) dari Anshor yang menjadi imam di
masjid Quba'. Setiap ia membaca surat selalu
didahului dengan membaca Surat al-Ikhlas sampai
selesai, baru kemudian membaca dengan surat
lainnya, dan ia lakukan dalam setiap rakaatnya. Para sahabat yang lain merasa
kurang senang dengan hal ini, lalu dihaturkan kepada Rasulullah Saw. Beliau
bertanya: "Apa yang menyebabkan kamu membaca surat ini terus-menerus di setiap
rakaat?". Ia menjawab: "Saya senang dengan surat al-Ikhlas". Nabi menjawab: "Kesenanganmu
pada surat itu
memasukkanmu ke dalam surga" (HR al-Bukhari No 774)
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:
قَالَ
: وَفِيهِ دَلِيلٌ عَلَى جَوَازِ تَخْصِيصِ بَعْضِ الْقُرْآنِ بِمَيْلِ النَّفْسِ
إِلَيْهِ وَالِاسْتِكْثَارِ مِنْهُ وَلَا يُعَدُّ ذَلِكَ هِجْرَانًا لِغَيْرِهِ
(فتح الباري لابن حجر - ج 3 / ص 150)
"Hadis
ini adalah dalil diperbolehkannya menentukan (membaca) sebagian al-Quran
berdasarkan kemauannya sendiri dan memperbanyak membacanya, dan hal ini tidak
dianggap sebagai pembiaran terhadap surat
yang lain" (Fathul Bari 3/150)
3.
Qadla' Ramadlan di Bulan Syawal
Pertanyaan:
Dalam puasa 6 hari syawal apakah harus berurutan dan
tidak boleh dipisah-pisah? Dan bagaimanakah jika membayar hutang puasa Ramadlan
dilaksanakan dengan puasa Syawal? Rahmat, Sby
Jawaban:
Syaikh al-Qulyubi berkata:
وَيُنْدَبُ
مُوَالاَتُهَا لِيَوْمِ الْعِيدِ وَتَتَابُعُهَا وَتَفُوتُ بِفَوَاتِ شَوَّالٍ ق ل (حاشية
البجيرمي على الخطيب 7/ 25)
"Disunahkan
berpuasa Syawal dilakukan secara berurutan dan dilakukan setelah hari raya. Dan
kesunahan puasa Syawal ini hilang, manakala Syawal telah berakhir"
(Hasyiah al-Bujairimi Khatib 7/25).
Dari penjelasan ini diperbolehkan puasa 6 hari
dipisah-pisah, asal dilakukan selama bulan Syawal.
Sementara menggabung niat 2 ibadah, para ulama ber-
beda pendapat. Sebagian ulama mengatakan puasa wajib
Ramadlan tidak boleh dibayar (qadla') dengan puasa sunah. Namun Syaikh Ibnu
Hajar al-Haitami menjelaskan hal tersebut diperbolehkan, dan pahala keduanya
sama-sama diperoleh. Bahkan, Imam Ramli men-tarjih (menguatkan) bahwa pahala
ibadah-ibadah wajib dan sunah dapat diperoleh meskipun tidak ada niat dari
pelakunya (Bughyat al-Mustarsyidin 235)
(مسألة: ك): ظَاهِرُ
حَدِيْثِ: "وَأَتْبَعَهُ سِتّاً مِنْ شَوَّالٍ" وَغَيْرِهِ مِنَ
اْلأَحَادِيْثِ عَدَمُ حُصُوْلِ السِّتِّ إِذَا نَوَاهَا مَعَ قَضَاءِ رَمَضَانَ،
لَكِنْ صَرَّحَ ابْنُ حَجَرٍ بِحُصُوْلِ أَصْلِ الثَّوَابِ لإِكْمَالِهِ إِذَا
نَوَاهَا كَغَيْرِهَا مِنْ عَرَفَةَ وَعَاشُوْرَاءَ، بَلْ رَجَّحَ (م ر) حُصُوْلَ
أَصْلِ ثَوَابِ سَائِرِ التَّطَوُّعَاتِ مَعَ الْفَرْضِ وَإِنْ لَمْ يَنْوِهَا،
مَا لَمْ يُصَرِّفْهُ عَنْهَا صَارِفٌ، كَأَنْ قَضَى رَمَضَانَ فِي شَوَّالَ
وَقَصَدَ قَضَاءَ السِّتِّ مِنْ ذِي الْقَعْدَةِ وَيُسَنُّ صَوْمُ السِّتِّ وَإِنْ
أَفْطَرَ رَمَضَانَ اهـ (بغية المسترشدين ص: 235)
Masalah ini bermula ketika ada 2 ibadah yang sama dan
dengan tujuan yang sama pula, apakah niat pelaksanaannya dapat digabung (tadakhul)?
Menurut Ulama Syafi'iyah diperbolehkan, misalnya puasa diatas, juga salat
Tahiyyat Masjid yang digabung dengan salat sunah Rawatib, hewan Qurban digabung
dengan aqiqah, dan sebagainya. Namun tidak semua ibadah yang sama dapat
digabung seperti diatas, oleh karenanya ada pula ulama yang mengatakan tidak
boleh menggabung 2 ibadah karena berbedanya niat.
4. Rukyat
Internasional
Pertanyaan:
Bolehkah
mengikuti hasil Ru'yat yang terjadi di luar negeri, misalnya Arab Saudi, dalam
permulaan puasa dan hari raya? Rudi Himawan, Mojokerto
Jawaban:
Pertanyaan
Bapak saat ini dikenal dengan istilah Ru'yat Internasional, yaitu hilal
berhasil dilihat di suatu Negara kemudian seluruh Negara mengikuti keputusan rukyat
tersebut meskipun jaraknya sangat berjauhan.
Dalam
Madzhab Syafi'i hal ini tidak diperbolehkan karena negara-negara yang berjauhan
memiliki mathla' (peta kemunculan hilal / bulan) yang berbeda. Sehingga jika
ada hilal yang berhasil terlihat di suatu Negara, maka yang wajib berpuasa
adalah Negara yang memiliki mathla' yang sama (radius 120 km) dan Negara yang
berdekatan dengan terlihatnya hilal tersebut. Sementara untuk ukuran 1 negara
yang sangat luas, seluruh penduduknya juga wajib berpuasa atas keputusan isbat
pemerintahnya (Fathul Bari 4/123)
Hal
ini berdasarkan riwayat para sahabat di Madinah yang berhari raya pada hari
Sabtu, karena di Madinah hilal tidak terlihat, sementara di Damasqus para
sahabat berhari raya pada hari Jumat karena melihat hilal. Berikut kutipan
selengkapnya:
عَنْ
كُرَيْبٍ، أَن أُم الفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ بَعَثَتْهُ إِلَى مُعَاوِيَةَ
بِالشامِ. قَالَ: فَقَدِمْتُ الشامَ . فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا. وَاسْتُهِل عَلَي
رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشامِ. فَرَأَيْتُ الهِلاَلَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ. ثُمَّ
قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ. فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللهِ بْنُ عَباسٍ
k. ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلاَلَ فَقَالَ: مَتَى رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ؟
فَقُلْتُ: رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ. فَقَالَ: أَنْتَ رَأَيْتَهُ؟
فَقُلْتُ: نَعَمْ. وَرَآهُ الناسُ. وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ. فَقَالَ:
لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السّبْتِ. فَلاَ نَزَالُ نَصُومُ حَتى نُكْمِلَ
ثَلاَثِينَ. أَوْ نَرَاهُ. فَقُلْتُ: أَوَلاَ تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ
وَصِيَامِهِ؟ فَقَالَ: لاَ. هكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ (رواه مسلم رقم 2580)
“Dari
Kuraib, sesungguhnya Umma al-Fadhl binti al-Harits mengutus dirinya (Kuraib)
kepada Mu’awiyah di Syam. Kuraib berkata, aku
datang di Syam lalu menyelesaikan keperluan Ummi al-Fadhl, dan hilal
Ramadhan tampak olehku ketika aku di Syam. Saya melihat hilal pada malam
Jum’ah, kemudian aku datang di Madinah di akhir bulan. Abdullah bin Abbas RA
bertanya kepadaku, kemudian aku tuturkan hilal. Ibnu Abbas bertanya, kapan
kalian melihat hilal? Saya menjawab, kami melihatnya pada malam Jum’ah. Ibnu
Abbas bertanya, kamu melihatnya? Saya jawab, iya dan juga para manusia dan
mereka berpuasa dan juga Mu’awiyah. Ibnu Abbas berkata, tetapi kami melihat
hilal pada malam Sabtu, lalu kami tetap berpuasa hingga menggenapkan 30 hari
atau kami telah melihat hilal. Saya (Kuraib) bertanya, adakah tidak cukup
dengan rukyah dan puasa yang dilakukan oleh Mu’awiyah? Ibnu Abbas menjawab,
tidak, demikian Rasulullah SAW memerintahkan kepada kita”
(HR Muslim 2580)
Mengapa
tidak diseragamkan saja seluruh Negara Islam? Sebab ibadah dalam Islam
berkaitan dengan waktu, dan waktu di seluruh Negara pasti berbeda. misalnya
salat Dzuhur di Indonesia berbeda dengan di Makkah. Apakah harus diseragamkan
waktu salatnya? Begitu pula dalam Ru'yat, yang di Indonesia
gagal dilihat tetapi di Makkah berhasil dilihat, maka umat Islam Indonesia
tidak wajib mengikuti hasil Ru'yat di Makkah.
Masalah
ini memang tergolong masalah khilafiyah diantara para ulama. Dan menurut tiga
madzhab yang lain adalah ketika hilal terlihat di suatu Negara, maka Negara
yang lain juga wajib mengikutinya (al-Fiqh 'ala Madzahib al-Arba'ah 1/520)
5. Tadarus
Di Bulan Ramadlan
Pertanyaan:
Benarkah
Tadarus al-Quran di bulan Ramadlan merupakan amaliyah sejak masa sahabat?
Jamaah Yasinta Gubeng.
Jawaban:
Pelaksanaan
Tadarus atau mengaji al-Quran di masjid sudah dilaksanakan di masa Sayidina
Umar:
عَنْ
أَبِى إِسْحَاقَ الْهَمْدَانِى قَالَ خَرَجَ عَلِيُّ بْنُ أَبِى طَالِبٍ فِى
أَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ وَالْقَنَادِيْلُ تُزْهَرُ وَكِتَابُ اللهِ
يُتْلَى فِى الْمَسَاجِدِ فَقَالَ نَوَّرَ اللهُ لَكَ يَا ابْنَ الْخَطَّابِ فِى
قَبْرِكَ كَمَا نَوَّرْتَ مَسَاجِدَ اللهِ بِالْقُرْآنِ (رواه ابن شاهين)
“Diriwayatkan dari Abi Ishaq
al-Hamdani: Ali bin Abi Thalib keluar di awal Ramadlan, lentera dinyalakan dan
kitab Allah di baca di masjid-masjid. Ali berkata: Semoga Allah menerangimu,
wahai Umar dalam kuburmu, sebagaimana engkau terangi masjid-masjid Allah dengan
al-Quran”
(Riwayat Ibnu Syahin)
Hal
tersebut berdasarkan hadis:
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ g كَانَ مِنْ أَجْوَدِ
النَّاسِ وَأَجْوَدُ مَا يَكُوْنُ فِي رَمَضَانِ حِيْنَ يَلْقَاهُ جِبْرِيْلُ
يَلْقَاهُ كُلَّ لَيْلَةٍ يُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ فَكَانَ رَسُولُ اللهِ g حِيْنَ يَلْقَاهُ جِبْرِيْلُ أَجْوَدَ مِنْ الرِّيْحِ
الْمُرْسَلَةِ. (رواه احمد رقم 3358)
“Dari Ibn Abbas RA bahwa Rasululah SAW adalah orang yang paling
pemurah. Sedangkan saat yang paling pemurah bagi beliau pada bulan Ramadhan
adalah pada saat malaikat jibril mengunjungi beliau. Malaikat jibril selalu
mengunjungi Nabi setiap malam bulan ramadhan, lalu melakukan mudarasah
(tadarus) al-Qur’an bersama Nabi. Rasul SAW ketika dikunjungi malaikat jibril,
lebih dermawan dari angin yang berhembus.” (Musnad Ahmad [3358])
Syeikh
Nawawi al-Bantani mengatakan:
فَمِنَ
التِّلاَوَة الْمُدَارَسَةُ الْمُعَبَّرُ عَنْهَا
بِاْلإِدَارَةِ وَهِيَ أَنْ يَقْرَأَ عَلَى غَيْرِهِ
وَيَقْرَأَ غَيْرُهُ عَلَيْهِ وَلَوْغَيْرَمَا قَرَأَهُ اْلأَوَّلُ. (نهاية الزين,
ص 194-195)
“Termasuk membaca
al-Qur’an (pada malam Ramadhan) adalah mudarasah (tadarus), yang sering disebut
pula dengan idarah. Yakni seseorang membaca pada orang lain. Kemudian orang
lain itu membaca pada dirinya. (yang seperti ini tetap sunnah) sekalipun apa
yang dibaca (orang tersebut) tidak seperti yang dibaca orang pertama.” (Nihayah al-Zain, 194-195)
Begitu
pula:
(وَيُسْتَحَبُّ)
اسْتِحْبَابًا مُؤَكَّدًا (فِي رَمَضَانَ مُدَارَسَةُ الْقُرْآنِ) وَهِيَ أَنْ
يَقْرَأَ عَلَى غَيْرِهِ وَيَقْرَأَ غَيْرُهُ عَلَيْهِ لِخَبَرِ الصَّحِيحَيْنِ
[كَانَ جِبْرِيلُ يَلْقَى النَّبِيَّ g فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ]
(روض الطالب)
“(Dan disunatkan) dengan
kesunatan yang kokoh (di bulan ramadhan tadarus al-Qur'an), yaitu seseorang
membaca al-Qur'an dihadapan orang lain dan orang lain membaca al-Qur'an
dihadapannya, berdasarkan hadits dua kitab shahih (artinya) "Malaikat
Jibril menjumpai Nabi SAW pada setiap malam dari bulan ramadhan, lalu tadarus
al-Qur'an bersama beliau”
(Raudl ath-Thalib)
6.
Qunut Salat Witir
Pertanyaan:
Bagaimana hukumnya Qunut yang
banyak dilakukan di bulan Ramadlan saat salat witir di pertengahan bulan
Ramadlan? Romli, Sby
Jawaban:
Ahli hadis al-Hafidz
al-Baihaqi menjelaskan riwayat qunut dalam salat witir setelah separuh kedua
bulan Ramadlan dalam kitabnya as-Sunan al-Kubra 2/498, baik yang diriwayatkan
dari Sahabat maupun Tabi’in:
-
Ubay bin
Ka’b (Sahabat)
عَنْ
مُحَمَّدٍ هُوَ ابْنُ سِيْرِيْنَ عَنْ بَعْضِ اَصْحَابِهِ أَنَّ اُبَىَّ بْنَ
كَعْبٍ اَمَّهُمْ يَعْنِىْ فِيْ رَمَضَانَ وَكاَنَ يَقْنُتُ فِيْ النِّصْفِ
اْلأَخِيْرِ مِنْ رَمَضَانَ
“Dari Muhammad, yaitu Ibnu Sirina, dari sebagian
sahabatnya, sesungguhnya Ubay bin Ka’ab menjadi imam mereka yakni pada bulan
Ramadlan dan dia berqunut pada separoh terakhir dari bulan Ramadlan”
عَنِ
الْحَسَنِ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ t جَمَعَ النَّاسَ عَلَى اُبَىِّ بْنِ كَعْبٍ فَكَانَ يُصَلِّىْ
بِهِمْ عِشْرِيْنَ لَيْلَةً وَلاَ يَقْنُتُ بِهِمْ اِلاَّ فِي النِّصْفِ الْبَاقِى
“Dari Hasan, sesunggguhnya Umar bin Khatthab
mengumpulkan manusia pada ubay bin Ka’ab dan dia berjamaah bersama mereka
dengan dua puluh rakaat pada (setiap) malam dan dia tidak berqunut bersama
mereka kecuali pada paroh yang tersisa (dari bulan Ramadlan)”
-
Abdullah bin Umar (Sahabat)
عَنْ
نَافِعٍ اَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ لاَ يَقْنُتُ فِي الْوِتْرِ اِلاَّ فِي
النِّصْفِ مِنْ رَمَضَانَ
“Dari Nafi’, sesungguhnya Ibnu Umar tidak berqunut
pada shalat witir kecuali pada separoh terakhir dari bulan Ramadlan”
-
Ibnu Sirin (Tabi’in)
عَنِ
ابْنِ مِسْكِيْنَ قَالَ: كَانَ ابْنُ سِيْرِيْنَ يَكْرَهُ الْقُنُوْتَ فِي
الْوِتْرِ اِلاَّ فِي النِّصْفِ اْلاَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
“Dari Ibnu Miskin, dia berkata, Ibnu Sirina
memakruhkan (membenci) berqunut pada shalat witir kecuali pada paroh terakhir
dari bulan Ramadlan”
-
Qatadah (Tabi’in)
عَنْ
قَتَادَةَ قَالَ: اَلْقُنُوْتُ فِي النِّصْفِ اْلاَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
“Dari Qatadah, dia berkata “Qunut itu pada paroh
yang terakhir dari bulan Ramadlan”
Berdasarkan
riwayat-riwayat diatas banyak madzhab yang menjadikannya sebagai dalil
melakukan doa Qunut saat witir Ramadlan separuh kedua. Misalnya Madzhab
Syafi’i:
(فَصْلٌ فِي
الْقُنُوْتِ) وَهُوَ مُسْتَحَبٌّ بَعْدَ الرَّفْعِ مِنَ الرُّكُوْعِ فِي
الرَّكْعَةِ الثَّانِيَّةِ مِنَ الصُّبْحِ وَكَذَلِكَ الرَّكْعَةُ اْلأَخِيْرَةُ
مِنَ الْوِتْرِ فِي النِّصْفِ اْلأَخِيْرِ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ
“(Fasal tentang qunut). Qunut disunnahkan setelah
bangkit dari ruku’ pada rakaat kedua dari shalat shubuh, begitupula pada rakaat
terakhir dari shalat witir pada paroh terakhir dari bulan Ramadlan” (Raudlah al-Thalibin I/93)
Begitu
pula Madzhab Maliki:
وَلاَ
يَقْنُتُ فِيْهِ إِلاَّ فِي النِّصْفِ اْلاَخِيْرِ مِنْ رَمَضَانَ، رُوِيَ ذَلِكَ
عَنْ عَلِيٍّ وَأُبَيٍّ وَهُوَ قَوْلُ مَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ اِخْتَارَهُ
اْلاَثْرَمُ لِمَا رُوِيَ أَنَّ عُمَرَ جَمَعَ النَّاسَ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ
فَكَانَ يُصَلِّيْ بِهِمْ عِشْرِيْنَ وَلاَ يَقْنُتُ اِلاَّ فِي النِّصْفِ
الثَّانِيْ، {رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ}
“Dan tidak
disunnahkan berqunut pada witir kecuali pada separoh terakhir dari Ramadlan.
Riwayat tersebut dari Ali dan Ubay, itulah pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i
yang dipilih oleh Imam Atsram karena berdasarkan riwayat sesungguhnya Umar
mengumpulkan umat Islam pada Ubay bin Ka’ab, lalu dia shalat bersama mereka
sebanyak dua puluh rakaat dan tidak berqunut kecuali pada separoh kedua. Hadits
riwayat Abu Dawud” (Syarh al-Kabir li Ibni Qudamah I/719).[]
Ditulis oleh : abinadine.blogspot.com ~ Official
Anda sedang membaca postingan tentang Shalawat di Sela Tarawih, Qadha' Puasa, Rukyat Internasional, Qunut Witir. Anda boleh mengcopy paste atau menyebarluaskan postingan ini, namun jangan lupa untuk meletakkan link di bawah ini sebagai sumbernya.
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
ٱلْعَٰلَمِين