Sistem Bermadzhab:
1. Sumber Hukum Islam
2. Masalah Hadits Dha‘if
3. Pengertian Ijtihad
4. Seputar Taqlid
5. Madzhab
6. Madzhab Qauli dan Manhaji
7. Madzhab Imam al-Syafi’i
8. Persoalan Talfiq
1. Sumber Hukum Islam
Dalam menyelesaikan persoalan hukum, golongan Ahlussunnah
Wal-Jama’ah berpedoman kepada al-Qur’an dan hadits sebagai sumber utama, kemudian didukung dengan ijma’ dan qiyas. Empat dalil ini yang harus
menjadi rujukan setiap Muslim
dalam mengambil suatu keputusan hukum. Imam al-Syafi`i dalam kitabnya al-Risalah menegaskan:
“Seseorang tidak boleh mengatakan ini halal atau ini
haram, kecuali ia telah mengetahui dalilnya. Sedangkan
mengetahui dalil itu didapat dari al-Qur’an, hadits, ijma’
atau qiyas.” (Imam al-Syafi’i, al-Risalah,
hal. 36).
Pedoman ini dipetik dari firman Allah SWT:
يَآاَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اَطِيْعُوْا اللهَ وَاَطِيْعُوْا الرَّسُوْلَ وَاُوْلِى
اْلأَمْرِ مِنْكُمْ. وَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فىِ شَيْءٍ
فَرُدُّوْهُ اِلىَ اللهِ
وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِااللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَاَحْسَنُ تَأْوِيْلاً
(النساء: 59)
“Wahai orang-orang yang beriman, patuhlah kamu kepada
Allah SWT, dan patuhlah kamu kepada Rasul serta Ulil-Amri di antara kamu
sekalian. Kemudian jika kamu berselisih paham tentang sesuatu, maka kembalilah
kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu benar-benar beriman kepada hari kemudian.
Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS.
al-Nisa’: 59).
Menjelaskan ayat ini, Syaikh Abdul Wahhab
Khallaf menyatakan bahwa, “Perintah untuk taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, merupakan perintah untuk
mengikuti al-Qur’an dan hadits. Sedangkan perintah untuk
mengikuti Ulil-Amri,
merupakan anjuran untuk mengikuti hukum-hukum yang telah disepakati (ijma’)
oleh para mujtahid, sebab merekalah yang menjadi Ulil--Amri dalam
masalah hukum agama bagi kaum Muslimin. Dan perintah untuk mengembalikan semua perkara yang masih
diperselisihkan kepada Allah dan Rasul-Nya berarti perintah
untuk mengikuti qiyas ketika tidak ada
dalil nash (al-Qur’an dan hadits) dan ijma’.” (Abdul Wahhab Khallaf,
‘Ilm Ushul al-Fiqh, hal. 21).
Ketika memutuskan suatu persoalan hukum, empat dalil ini digunakan secara berurutan. Artinya,
yang pertama kali harus dilihat adalah
al-Qur’an. Kemudian meneliti hadits Nabi SAW. Jika tidak ada, maka melihat
ijma’ ulama. Dan yang terakhir adalah
menggunakan qiyas para fuqaha.
Hirarki (urutan) ini sesuai dengan orisinalitas serta tingkatan
kekuatan dalilnya. Imam Saifuddin Ali bin Muhammad al-Amidi (551-631 H/1156-1233 M)
menjelaskan dalam kitabnya al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam
bahwa yang asal dalam dalil syar’i
adalah al-Qur’an, sebab ia datang langsung dari Allah SWT sebagai musyarri’ (pembuat hukum). Sedangkan urutan kedua adalah sunnah, sebab ia berfungsi
sebagai penjelas dari firman dan hukum Allah SWT dalam al-Qur’an. Dan sesudah
itu adalah ijma’, karena ijma’ selalu berpijak
pada dalil al-Qur’an dan al-Sunnah. Yang terakhir adalah qiyas, sebab proses qiyas selalu berpedoman pada nash
(al-Qur’an dan al-Sunnah) dan Ijma’. (Al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam,
juz I, hal 208).
Dari sini dapat diketahui bahwa sumber hukum Islam tidak hanya terbatas pada al-Qur'an dan hadits.
Masih ada ijma’ dan qiyas yang
digunakan terutama untuk menjawab persoalan yang tidak dijelaskan secara langsung dalam
al-Qur'an dan hadits sebagai dalil utama.
Al-Qur'an
Al-Qur’an adalah:
اَللَّفْظُ الْمُنَزَّلُ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلإِعْجَازِ بِسُوْرَةٍ مِنْهُ
اَلْمُتَعَبَّدِ بِتِلاَوَتِهِ
(السيوطي، الكوكب الساطع، 1/69)
“Al-Qur’an adalah
lafazh yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW sebagai mukjizat dengan satu surat saja,
dan merupakan ibadah apabila
membacanya”. (Al-Suyuthi, al-Kawkab al-Sathi’, juz I, hal 69).
Allah SWT menjamin bahwa al-Qur'an terjaga dari berbagai
upaya tangan-tangan kotor yang ingin merubah untuk menyisipkan walau hanya satu
huruf. Sebagaimana firman Allah SWT:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ (الحجر: 9)
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. (QS. al-Hijr: 9).
Secara keseluruhan al-Qur’an terdiri dari 6.666 ayat, 114 surat dan terbagi dalam 30 juz. Hal tersebut
telah diuji dengan menggunakan metode ilmiah oleh para ahli
filologi (ahli tentang manuskrip) dunia. Dr Muhammad
Mushthafa al-A’zhami mengutip
keterangan dari Prof. Hamidullah:
Universitas Munich (Jerman) telah mendirikan dalam abad yang
lalu sebuah Lembaga Penelitian al-Qur’an. Sesudah beberapa generasi, tatkala direkturnya yang
sekarang, Prof. Pretzell datang ke
Paris pada tahun 1933, beliau menceritakan pada saya bahwa mereka telah mengumpulkan empat puluh dua (42) ribu salinan al-Qur’an dari salinan yang berbeda, sebagian lengkap, sebagian
lainnya berupa fragmen-fragmen, sebagian
asli, kebanyakan foto-foto yang asli
dari segala penjuru dunia. Pekerjaan secara terus menerus membandingkan setiap kata dari setiap salinan al-Qur’an itu untuk mengetahui apakah ada variasinya (perbedaannya). Tak lama sebelum Perang Dunia Kedua, sebuah
laporan awal dan percobaan
diterbitkan, sehingga tentu saja menyalin kekeliruan
dalam naskah al-Qur’an, tetapi ternyata tidak terdapat variasinya (tidak ada yang berbeda).
Selama perang berlangsung, lembaga ini kena bom dan semuanya binasa, direktur, personalia, dan perpustakaan. (Mukjizat al-Qur’an, hal. 57).
Sunnah
Sumber hukum Islam yang kedua adalah al-Sunnah, yakni:
مَااُضِيْفَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ قَوْلٍ اَوْ فِعْلٍ اَوْ تَقْرِيْر
(المنهل اللطيف في اصول الحديث الشريف: 51)
“Yakni segala sesuatu yang disandarkan pada Nabi SAW,
baik berupa perbuatan, ucapan serta pengakuan Nabi SAW”. (Al-Manhal al-Lathif fi Ushul
al-Hadits al-Syarif, hal. 51).
Sunnah terbagi menjadi tiga.
1. Sunnah
Qawliyyah. Yakni semua ucapan Nabi SAW yang menerangkan tentang suatu
hukum, seperti perintah Nabi SAW untuk berpuasa
Ramadhan apabila telah melihat
bulan (ru’yah).
2. Sunnah Fi‘liyyah. Yaitu semua perbuatan Nabi SAW yang terkait dengan hukum, seperti tata cara shalat yang beliau kerjakan.
3. Sunnah
Taqririyyah. Yaitu pengakuan Nabi SAW atas apa yang diperbuat oleh
para sahabat, seperti pengakuan Nabi SAW pada seorang sahabat yang bertayammum
karena tidak ada air. (Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, hal. 105).
Kitab-kitab yang mencatat al-Sunnah itu banyak sekali. Namun tidak semua dapat dijadikan pedoman dan standar. Karena itulah para ulama membagi kitab-kitab hadits pada tiga tingkatan besar.
1. Kitab-kitab yang
hanya memuat hadits mutawatir, hadits shahih yang ahad (tidak sampai pada tingkatan mutawatir, karena diriwayatkan oleh sedikit orang), serta
hadits hasan. Misalnya Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim
serta Kitab al-Muwaththa’ karangan Imam Malik.
2. Kitab-kitab yang muatan haditsnya tidak sampai
pada tingkatan pertama. Yaitu
kitab-kitab yang ditulis oleh orang-orang yang diyakini tidak mudah memasukkan
sembarang hadits dalam kitab-kitab mereka, namun masih ada kemungkinan hadits
yang mereka tulis masuk pada kategori dha’if. Misalnya adalah Jami’
al-Tirmidzi, Sunan Abi Dawud, Musnad Ahmad bin Hanbal dan Mujtaba
al-Nasa’i.
3. Kitab hadits
yang banyak memuat hadits dha‘if, namun kebanyakan para perawinya
tidak diketahui keadaannya,
apakah tergolong fasiq atau
tidak. Contoh untuk golongan
ketiga ini adalah Mushannaf Ibn Abi Syaibah, Musnad al-Thayalisi, Musnad
‘Abd bin Humaid, Sunan al-Baihaqi, al-Thabarani, al-Thahawi dan Mushannaf
‘Abdurrazaq.
4. Kitab-kitab
yang banyak mengandung hadits dha‘if, seperti kitab hadits karya Ibn
Mardawaih, Ibn Syahin, Abu al-Syaikh dan lain-lain. Jenis keempat ini tidak dapat dijadikan pedoman, karena kebanyakan
sumber mereka adalah orang-orang yang kurang dapat
dipercaya, karena selalu mengedepankan
hawa nafsunya. (Dr. Shubhi al-Shalih, ‘Ulum al-Hadits wa Mushthalahuh, hal.
116-117).
Salah satu keistimewaan hadits Nabi SAW adalah bahwa hadits Nabi SAW telah dilengkapi dengan berbagai macam ilmu
untuk menjaga kemurniannya. Para ulama salaf yang telah memberikan pagar-pagar
beton yang kokoh dan tak mungkin bisa dijebol oleh siapapun juga untuk menjaga kemurnian hadits nabi. Al-Sunnah telah
dilengkapi dengan berbagai perangkat ilmu
seperti musthalah al-hadits, ‘ulum al-rijal, al-jarh wa al-ta’dil, ‘ulum
naqd al-matn dan sebagainya.
Oleh
karena itu betapapun banyak upaya untuk melemahkan keimanan umat Islam pada sunnah Nabi
SAW, tetapi usaha tersebut tidak
menampakkan hasil bahkan menuai kegagalan. [1]
Ijma’
Ijma’ adalah:
اَمَّا اْلإِجْمَاعُ فَهُوَ اِتِّفَاقُ عُلَمَاءِ اَهْلِ الْعَصْرِ عَلَى حُكْمِ
الْحَادِثَة (الورقات في أصول الفقه: 44)
“Yang
dimaksud dengan Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid di suatu zaman tentang satu permasalahan hukum yang terjadi ketika
itu.” (Al-Waraqat fi Ushul
al-Fiqh, hal. 44).
Sebagaimana disebutkan oleh Imam Ahmad bin Idris al-Qarafi (w. 684 H/1285 M) dalam kitab Tanqih al-Fushul
Fi al-Ushul (hal. 82), dalil lain yang menunjukkan
keberadaan ijma’ dalam hukum Islam adalah firman Allah SWT
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ
غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ
مَصِيرًا (النساء: 115)
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan
jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke
dalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. al-Nisa’: 115).
Contoh ijma’ adalah kesepakatan para sahabat
tentang adzan dua kali pada hari
Jum’at, shalat tarawih secara berjama’ah
sebulan penuh di bulan Ramadhan dan
semacamnya.
Para ulama membagi ijma’ menjadi dua macam, yakni:
1.
Ijma’ sharih. Terjadi ketika para imam mujtahid menyampaikan pendapatnya. Dan ternyata pendapat mereka sama.
2.
Ijma’ sukuti. Yakni ketika sebagian mujtahid menyampaikan hasil ijtihad, tetapi yang lain diam, dan tidak
menyampaikan pendapatnya. Dalam hal ini diam berarti setuju. (Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, hal. 23).
Qiyas
Al-Imam Ibnu al-Hajib al-Maliki (570-646 H/1174-1249 M)
menjelaskan definisi qiyas, sebagai berikut:
قَالَ اِبْنُ الْحَاجِبٍ: هُوَ مُسَاوَاةُ الْفَرْعِ اْلأَصْلَ فِي عِلَّةِ
حُكْمِه (الخضري بك، اصول الفقه: 289)
“Ibnu al-Hajib mengatakan, “Qiyas adalah menyamakan hukum cabang
(far‘) kepada asal karena ada (kesamaan) illat (sebab) hukumnya.” (Al-Khudhari Bik, Ushul al-Fiqh, hal. 289).
Dalam kitab Tanqih al-Fushul fi al-Ushul (hal.
89), dijelaskan bahwa dalil qiyas
adalah firman Allah SWT:
فَاعْتَبِرُوا يَاأُولِي اْلأَبْصَارِ
(الحشر: 2)
“Maka
ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.” (QS. al-Hasyr: 2).
Contoh qiyas adalah perintah untuk meninggalkan segala jenis pekerjaan pada saat adzan Jum’at
dikumandangkan. Hal ini disamakan dengan perintah untuk meninggalkan jual-beli pada saat-saat tersebut, yang secara langsung dinyatakan dalam al-Qur’an, yakni firman Allah
SWT:
يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْ إِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلاَةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ
فَاسْعَوْا اِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوْا الْبَيْعَ
(الجمعة: 9)
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu dipanggil untuk mengerjakan shalat pada hari jum‘at, maka
bergegaslah kamu untuk dzikir kepada Allah (mengerjakan shalat jum‘at) dan tingggalkanlah jual-beli.” (QS. al-Jumu‘ah: 9).
Berdasarkan pemaparan di atas, kita dapat memahami bahwa
slogan sebagian kelompok “kembali kepada al-Qur'an dan al-Sunnah”,
adalah sekedar klaim dari pengusung
slogan tersebut agar mereka tampak sebagai kelompok yang paling islami. Padahal
kenyataannya madzhab yang empat dan
para pengikutnya juga menggunakan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber
hukum utama. Baru ketika tidak ditemukan nash secara tersurat maka
digunakan ijma’, qiyas dan metode
istinbat yang lain. [2]
Kalau kita terpaku hanya kepada teks al-Qur’an ataupun as-Sunnah saja kita tidak akan
menemukan teks yang secara jelas menetapkan keharaman narkoba. Maka kemungkaran
akan semakin merajalela. Jadi disamping menggunakan al-Qur’an ataupun as-Sunnah sebagai sumber hukum utama, kita juga harus menggunakan sumber-sumber yang lain seperti ijma’, qiyas, dan lain
sebagainya.
2. Masalah Hadits Dha‘if
Secara umum hadits itu ada tiga macam. Pertama, hadits shahih, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang yang adil, punya daya ingatan yang kuat, mempunyai sanad
(mata rantai orang-orang yang
meriwayatkan hadits) yang bersambung kepada Rasulullah SAW, tidak memiliki kekurangan serta
tidak syadz (menyalahi aturan umum). Para ulama sepakat bahwa hadits ini
dapat dijadikan dalil, baik dalam masalah hukum, akidah dan lainnya. Kedua, hadits hasan,
yakni hadits yang tingkatannya berada di bawah hadits
shahih, karena para periwayat hadits ini
memiliki kualitas yang lebih rendah dari para perawi hadits shahih.
Hadits ini dapat dijadikan sebagai dalil sebagaimana hadits shahih. Ketiga hadits dha‘if, yakni hadits yang bukan shahih dan juga
bukan hasan, karena diriwayatkan
oleh orang-orang yang tidak memenuhi
persyaratan sebagai perawi hadits, atau para perawinya tidak mencapai tingkatan
sebagai perawi hadits hasan.
Hadits dha‘if ini terbagi menjadi dua. Pertama,
ada riwayat lain yang dapat
menghilangkan dari ke-dha‘if-annya.
Hadits semacam ini disebut hadits hasan li-ghairih, sehingga dapat
diamalkan serta boleh dijadikan sebagai dalil syar’i. Kedua, hadits yang tetap dalam ke-dha’if-annya.
Hal ini terjadi karena tidak ada riwayat lain yang menguatkan, atau karena para
perawi hadits yang lain itu termasuk orang yang dicurigai sebagai pendusta,
tidak kuat hafalannya atau fasiq.
Dalam kategori yang kedua ini, para ulama mengatakan bahwa hadits dha’if hanya dapat diberlakukan dalam
fadha’il al-a‘mal (yaitu masalah yang tidak berhubungan dengan akidah, tafsir, dan hukum). Bahkan ada sebagian
ulama yang mengatakan bahwa telah
terjadi ijma’ di kalangan ulama tentang
kebolehan mengamalkan hadits dha‘if jika berkaitan dengan fadha’il
al-a‘mal ini. Sedangkan dalam masalah hukum, tafsir ayat al-Qur’an, serta
akidah, maka apa yang termaktub dalam hadits dha‘if tersebut tidak dapat
dijadikan pedoman. (Majmu’ Fatawi
wa Rasa’il, hal. 251).
Lebih jauh Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan:
اِنَّ ضَعِيْفَ الْحَدِيْثِ يُقَدَّمُ عَلَى رَأْيِ الرِّجَالِ
(مجموع فتاوى ورسائل: 251)
“Sesungguhnya hadits dha‘if itu
didahulukan dari pada pendapat seseorang.” (Majmu’ Fatawi wa Rasa’il, hal. 251).
Namun begitu, kebolehan mengamalkan hadits dha’if ini
harus memenuhi tiga syarat:
1. Bukan
hadits yang sangat dha‘if.
2. Masih
sejalan dengan ketentuan umum serta kaidah-kaidah
yang universal dalam agama Islam. Tidak menghalalkan yang haram atau
sebaliknya.
3. Tidak berkeyakinan bahwa perbuatan tersebut berdasarkan hadits dha‘if, tetapi dilaksanakan dalam
rangka ihtiyath (berhati-hati dalam masalah agama).
3. Pengertian Ijtihad
Al-Imam al-Hafizh Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar
al-Suyuthi (849-910 H/1445-1505 M) menjelaskan definisi ijtihad sebagai berikut:
اَلإِجْتِهَادُ بَذْلُ الْفَقِيْهِ الْوُسْعَ لِتَحْصِيْلِ ظَنٍّ بِحُكْمٍ
(السيوطي، الكوكب الساطع:
2/479)
“Ijtihad adalah usaha seorang faqih (seorang ahli fiqh)
untuk menghasilkan hukum yang
bersifat zhanni (persumtif).” (Al-Suyuthi, al-Kawkab al-Sathi’, juz II, hal. 479).
Ijtihad adalah mencurahkan segala upaya (daya pikir) secara maksimal untuk menemukan hukum Islam
tentang sesuatu yang belum jelas
di dalam al-Qur’an dan al-hadits dengan menggunakan dalil-dalil umum
(prinsip-prinsip dasar agama) yang ada dalam al-Qur’an, al-hadits, ijma’, qiyas
serta dalil yang lainnya.
Proses ijtihad sudah ada sejak Rasulullah SAW masih hidup. Dalam sebuah
hadits dinyatakan:
عَنْ مُعَاذٍ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا بَعَثَهُ إِلَى
الْيَمَنِ قَالَ كَيْفَ تَقْضِيْ إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟ قَالَ
أَقْضِيْ بِكِتَابِ اللهِ. قَالَ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِيْ كِتَابِ اللهِ ؟ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ.
قَالَ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِيْ سُنَّةِ رَسُوْلِ
اللهِ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِيْ وَ لاَ آلُوْ. قَالَ فَضَرَبَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عَلَى صَدْرِهِ وَقَالَ اَلْحَمْدُ للهِ وَفَّقَ رَسُوْلَ رَسُوْلِ اللهِ لِمَا
يَرْضَى رَسُوْلُ اللهِ (رواه أحمد، 2000،
وأبو داود 3119،
والدارمي ، 168).
“Diriwayatkan dari Mu‘adz bin Jabal RA bahwa pada saat Rasulullah
SAW mengutusnya
ke negeri Yaman, beliau bertanya, “Bagaimana cara kamu memutuskan suatu persoalan jika
disodorkan kepadamu sebuah masalah?”
Dia menjawab, “Saya memutuskan dengan
Kitab Allah.” Nabi SAW bertanya,
“Jika kamu tidak menemukan di dalam
Kitabullah?” Mu‘adz menjawab, “Maka dengan sunnah Rasulullah SAW.” Nabi SAW bertanya, “Jika kamu tidak menemukan di dalam sunnah ?” Dia menjawab,
“Saya melakukan ijtihad dan tidak
bertindak sewenang-wenang”. Lalu Mu‘adz berkata, “Maka Rasulullah SAW menepuk dadanya dan bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk
kepada utusan Rasulullah dengan apa yang
telah diridhai Rasulullah SAW.”
(HR. Ahmad [20000], Abu Dawud
[3119) dan al-Darimi [168]).
Begitu pula saat ini. Proses ijtihad harus terus
dilakukan karena persoalan kehidupan terus berkembang yang membutuhkan jawaban dari sisi agama. Dalam
konteks inilah Imam al-Hafizh Taqiyyuddin Ibnu Daqiq al-‘Id al-Qusyairi
(625-703 H/1235-1303 M) mengatakan:
لاَ يَخْلُو الْعَصْرُ عَنْ مُجْتَهِدٍ اِلاَّ اِذَا تَدَاعَى الزَّمَانُ
وَقَرُبَتِ السَّاعَةُ
(مجموعة سبعة كتب مفيدة: 67)
“Setiap masa tidak akan vakum dari seorang mujtahid,
kecuali apabila zaman telah kacau
atau kiamat telah dekat.”
(Majmu’ah Sab’ah Kutub Mufidah, hal. 67).
Hanya saja, karena sangat terkait dengan usaha mencari hukum Islam, maka ijtihad tidak bisa dilakukan serampangan. Ijtihad harus dilakukan oleh orang yang
benar-benar ahli dan telah memiliki syarat
sebagai mujtahid. Sabda Nabi SAW:
عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ
وَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ (رواه البخاري ، 6805، ومسلم، 3240، والترمذي،
1248، وأبو داود، 3101، والنسائي،
5287، وأحمد، 17148).
“Diriwayatkan dari Amr bin al-‘Ash, bahwa dia mendengar Rasulullah
SAW bersabda, “Apabila seorang hakim memutuskan perkara lalu ia melakukan ijtihad, kemudian
ijtihadnya benar, maka
ia memperoleh dua pahala
(pahala ijtihad dan pahala kebenarannya). Jika ia memutuskan suatu perkara lalu berijtihad dan
hasilnya salah, maka baginya satu pahala (pahala ijtihadnya).” (HR. al-Bukhari [6805], Muslim [3240],
al-Tirmidzi [1248], Abu Dawud [3101], al-Nasa’i [5287] dan Ahmad [17148]).
Selain menegaskan legalitas ijtihad dalam Islam, hadits ini juga mengisyarakatkan kriteria orang yang dapat
berijtihad (mujtahid), bahwa ia haruslah seorang hakim
(ahli hukum). Prof. KH. Saifuddin Zuhri menjelaskan bahwa redaksi hadits tersebut menggunakan kata al-hakim (seorang ahli
hukum), bukan kata al-rajul (seseorang secara umum). Hal ini menunjukkan bahwa yang mendapat kewenangan untuk melakukan ijtihad adalah seorang
ahli hukum. Dengan kata lain, jadilah
ahli hukum terlebih dahulu, baru melakukan pekerjaan ijtihad. Bukan sebaliknya, ‘berijtihad’ terlebih dahulu, baru
menamakan dirinya ahli hukum. (Prof. KH. Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan
Perkembangannya di Indonesia, hal.
162).[3]
Adapun syarat-syarat ijtihad adalah:
1. Memiliki kemampuan untuk menggali hukum dari al-Qur’an. Yaitu harus
paham ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah hukum. Termasuk di dalamnya harus
mengetahui asbab al-nuzul (latar belakang turunnya al-Qur‘an), nasikh-mansukh (ayat yang
mengganti atau yang diganti), mujmal-mubayyan (kalimat yang
global dan yang parsial), al-‘am wa al-khash (kalimat
yang umum dan khusus), muhkam-mutasyabih (kalimat yang jelas dan yang samar), dan sebagainya.
2. Memiliki ilmu yang luas
tentang hadits Nabi SAW, terutama yang berkaitan dengan persoalan hukum, seperti asbab
al-wurud (latar belakang munculnya hadits) dan rijal al-hadits (sejarah
para perawi hadits).
3. Menguasai persoalan-persoalan yang telah disepakati ulama (ijma’).
4. Memahami qiyas serta dapat menggunakannya dalam usaha menghasilkan
sebuah hukum.
5. Menguasai Bahasa Arab dan gramatikanya secara mendalam, seperti ilmu nahwu, sharf, balaghah dan
lain sebagainya. Juga harus menguasai kaidah-kaidah Ushul al-Fiqh (cara
memproduksi hukum).
6. Memahami serta menghayati
tujuan utama pemberlakuan hukum Islam. Yakni
memahami bahwa tujuan hukum Islam adalah rahmah li al-‘alamin, yang
terpusat pada usaha untuk menjaga perkara dharuriyyat (primer atau pokok), hajiyyat (sekunder atau
pelengkap), dan tahsiniyyat (tersier
atau keindahan).
7. Mempunyai pemahaman serta metodologi yang dapat dibenarkan untuk
menghasilkan keputusan hukum.
8. Mempunyai niat serta akidah yang benar. Dengan kata lain, tujuannya
bukan mengejar dan mencari pangkat serta kedudukan duniawi. Namun niatnya murni karena Allah SWT, ingin mencari hukum demi
kemaslahatan seluruh manusia. (Muhammad
Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh hal. 380-389).
Dari pencapaian pada syarat ini, juga didasarkan pada kualitas individu setiap mujtahid, maka
muncullah tingkatan imam mujtahid, yakni:
1. Mujtahid muthlaq/mustaqil, yaitu seseorang yang melakukan ijtihad dengan cara menciptakan sendiri kaidah istinbath (cara menggali) hukum. Masuk dalam kategori ini adalah imam madzhab yang empat, yakni Imam Abu Hanifah al-Nu‘man bin Tsabit (80 H-150 H/699-767 M) pendiri madzhab Hanafi, Imam Malik bin Anas al-Ashbahi (93-179 H/713-795 M) pendiri madzhab Maliki,
Imam Muhammad bin Idris
al-Syafi’i (150–204 H/767-819 M) pendiri madzhab Syafi’i, dan Imam Ahmad bin
Hanbal al-Syaibani (164–241 H/781-855 M) pendiri madzhab Hanbali.
2. Mujtahid muntasib, yakni seseorang yang melakukan
penggalian hukum dengan menggunakan metode dan kaidah istinbath imamnya (mujtahid mutlaq). Seperti, Imam al-Muzani
dan al-Buwaithi dari madzhab Syafi’i, Imam Muhammad bin al-Hasan (132-189 H/750-805 M) dan Imam Abu Yusuf (113-182
H/731-797 M) dari madzhab Hanafi. Golongan ini disebut pula dengan Mujtahid muthlaq ghair al-mustaqil (mujtahid mutlak yang tidak mandiri).
3. Mujtahid muqayyad, yaitu orang yang menggali hukum dari persoalan-persoalan
yang belum pernah dibahas oleh imam mujtahidnya, seperti Imam al-Karkhi (w. 482
H/1089 M), al-Sarakhsi (w. 483 H/1090 M), al-Bazdawi (w. 390 H/1004 M), Abi
Ishaq al-Syirazi (393-476 H/1003-1083 M) dan lain sebagainya.
4. Mujtahid madzhab/fatwa, yaitu mujtahid yang mengikuti metode dan cara istinbath hukum imamnya,
juga produk hukum dari imamnya. Dia hanya menyeleksi
pendapat imamnya, mana yang shahih dan yang
lemah. Misalnya, Imam al-Ghazali dan
al-Juwaini dari madzhab Syafi’i.
5. Mujtahid
murajjih, yaitu mujtahid yang
melakukan seleksi dalam madzhab tertentu, dengan memilih pendapat yang paling unggul dalilnya atau paling sesuai dengan tuntutan kemaslahatan masyarakatnya. Contoh
mujtahid dalam tingkatan ini
adalah Imam al-Rafi’i (557-623 H/1162-1226
M) dan Imam al-Nawawi dalam madzhab Syafi’i. (Muhammad Abu Zahrah, Ushul
al-Fiqh, hal, 30. dan Dr. al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa
Adillatuh, I, 47-48).
4. Seputar Taqlid
Sebagaimana pembahasan lalu, bahwa ijtihad hanya boleh
dilakukan oleh orang-orang yang telah mencukupi syarat untuk melakukannya.
Sedangkan bagi yang tidak memenuhi syarat tersebut, mereka harus bertaqlid kepada
para imam mujtahid.[4]
Mengenai definisi taqlid, Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi menjelaskan bahwa taqlid
adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa
mengerti dalil yang digunakan atas keshahihan pendapat tersebut, walaupun
mengetahui tentang keshahihan hujjah taqlid itu sendiri.[5]
(Al-Buthi, al-Lamadzhabiyyah Akhtharu Bid’ah Tuhaddid al-Syari’ah
al-Islamiyyah, hal. 69).
Dari definisi ini dapat diketahui bahwa taqlid itu
tidak hanya terbatas pada orang awam saja. Orang-orang alim yang sudah mengetahui dalilpun selama
pengetahuan mereka hanya sebatas dalil yang
digunakan, tidak sampai kepada proses, metode dan seluk-beluk dalam menentukan
suatu hukum, masih masuk dalam
kategori seorang muqallid. Karena itu dia masih wajib bertaqlid. (Mathlab al-Iqazh fi
al-Kalam ‘ala Syai’in min Ghurar al-Alfazh, hal. 87).
Taqlid adalah sesuatu yang pasti dilakukan setiap orang Islam.
Setidak-tidaknya ketika awal melaksanakan bagian dari ajaran Islam. Seperti
orang yang bersedekap di dalam shalat, mengangkat
tangan ketika takbiratul ihram, dia tentu melakukannya walaupun masih belum meneliti
dalilnya, apakah shahih ataukah tidak.
Jika di kemudian hari dia tahu argumentasinya, maka
berarti dia telah keluar dari taqlid a‘ma (taqlid buta) yang
tercela itu. Namun demikian dia tetap berstatus sebagai seorang muqallid,
karena tidak tahu dalil-dalil tersebut secara
detail. Setidaknya, dalam cara mengambil suatu kesimpulan hukum, ia masih
mengikuti metode dari imam mujtahid tertentu.
Taqlid itu sesungguhnya berlaku dalam berbagai persoalan di dalam kehidupan ini. Seorang dokter, misalnya, ketika memberikan resep obat kepada pasiennya, tentu dia mengambilnya dari apotik, bukan dari obat hasil
temuannya sendiri. Dia cukup membeli produk perusahaan obat
tertentu yang bonafit. Begitu juga
seorang guru geografi ketika menerangkan kepada murid-muridnya bahwa bumi itu bulat, dia hanya mengikuti teori Galileo Galilei dan
Thomas Copernicus, bukan dari hasil
penelitiannya sendiri.
Membebani ‘awam al-muslimin (masyarakat
kebanyakan) dengan ijtihad
sendiri-sendiri, jelas memberatkan dan mustahil. Karena minat setiap orang pada
bidang-bidang ilmu pengetahuan itu berbeda-beda. Sedangkan
yang menekuni ilmu agama tidak banyak. Bagi yang “tidak sempat” mempelajari ilmu agama, ia harus bertanya dan
mengikuti orang-orang yang paham tentang masalah agama.
Al-Qur’an sudah menyatakan agar ada sekelompok orang yang
menekuni ilmu agama, tidak perlu semuanya. Sehingga mereka dapat memberikan
fatwa kepada yang lainnya. Allah SWT berfirman:
وَمَا كَانَ
الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَآفَّةً فَلَوْلاَنَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ
مِنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوْا فىِ الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا
رَجَعُوْا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ
(التوبة: 122)
“Tidak seharusnya semua orang mukmin berangkat ke medan perang. Mengapa tidak berangkat satu rombongan
dari tiap-tiap golongan untuk mempelajari dengan mendalam ilmu agama agar mereka dapat memberikan peringatan (pelajaran)
kepada kaumnya apabila mereka sudah kembali. Mudah-mudahan
mereka waspada.” (QS. al-Taubah: 122).
Sahabat Nabi SAW adalah orang-orang yang terpilih.
Meskipun begitu, kualitas keilmuan mereka tidak sama, dan tidak semua mereka menjadi mujtahid.
Sebagian mereka menjadi mufti, sebagian
lain bertanya dan mengikuti apa yang difatwakan
sahabat yang lain. Dan Rasulullah SAW mengutus
beberapa sahabat ke berbagai daerah untuk menyebarkan agama Islam serta
menyelesaikan semua persoalan yang terjadi, baik dalam bidang ibadah dan mu’amalat,
sosial kemasyarakatan, menjelaskan halal-haram dan semacamnya. Lalu penduduk di daerah itu mengikuti apa yang
difatwakan para sahabat tersebut.
Beberapa hujjah ini semakin membuktikan bahwa taqlid merupakan
sunnatullah (hukum alam) yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya, ataupun diperjuangkan untuk dihapus. Apalagi sebenarnya, tidak semua taqlid
itu tercela. Yang tidak terpuji hanyalah taqlid buta (a‘ma)
yang menerima suatu pendapat
mentah-mentah, tanpa mengerti atau berusaha untuk mengetahui dalilnya, karena
itu akan menggambarkan keterbelakangan serta rendahnya kualitas
individu umat Islam.
Sedangkan taqlid-nya orang alim yang belum sampai
pada tingkatan mujtahid, adalah hal yang terpuji bahkan dianjurkan. Hal itu tentu lebih baik daripada
‘memaksakan’ diri untuk berijtihad
padahal tidak memiliki kemampuan untuk melakukannya.
Hanya saja, dalam bertaqlid ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Bahwa bertaqlid haruslah kepada madzhab yang empat yang dapat dijadikan pedoman (al-madzahib
al-mu'tabarah). Sementara di sisi yang lain, tidak diperkenankan mencampuradukkan satu madzhab dengan madzhab yang lain (talfiq).
5. Madzhab
Secara bahasa madzhab berarti jalan. Dalam pengertian istilah, KH Zainuddin Dimyathi mendefinisikan madzhab
sebagai berikut:
اَلْمَذْهَبُ هُوَ اْلأَحْكَامُ
فِيْ الْمَسَائِلِ الَّتِيْ ذَهَبَ وَاعْتَقَدَ وَاخْتَارَهَا اْلإِمَامُ الْمُجْتَهِدُ
(الإذاعة المهمة فى بيان مذهب أهل السنة والجماعة: 18)
“Madzhab adalah hukum dalam berbagai masalah yang diambil, diyakini dan dipilih oleh para imam
mujtahid.” (Al-Idza’ah
al-Muhimmah, hal. 18).
Dari definisi ini madzhab adalah hasil ijtihad
para ulama untuk mengetahui
hukum Islam yang terdapat dalam
al-Qur’an, al-Hadits serta dalil yang lainnya. Oleh karena itu, membicarakan
madzhab tidak akan lepas dari ijtihad.
Madzhab tidak terbentuk dari hukum yang telah jelas (qath‘i)
dan disepakati para ulama. Misalnya bahwa shalat itu wajib, zina haram dan
semacamnya. Madzhab itu ada dan terbentuk karena terdapat beberapa persoalan
yang masih menjadi perselisihan di kalangan ulama. Kemudian hasil pendapat
ulama itu disebarluaskan serta diamalkan oleh para pengikutnya.
Dalam sejarah Islam, madzhab fiqh yang berkembang sangat banyak. Namun yang diakui dan diamalkan
oleh ulama golongan Ahlussunnah Wal-Jama’ah hanya empat madzhab saja.
Ada beberapa faktor yang melandasinya.
a.
Kualitas individu dan keilmuan mereka sudah terkenal dan
diakui oleh seluruh umat Islam.
b.
Keempatnya merupakan mujtahid mutlak mustaqil.
c.
Mempunyai murid yang secara konsisten menulis dan mengajarkan
madzhab imamnya. [6]
d.
Di antara mereka terdapat hubungan intelektual.[7]
6. Madzhab Qauli dan Manhaji
Para ulama memperkenalkan dua system bermadzhab, yakni:
1.
Madzhab qauli, adalah mencari hukum suatu masalah
dengan mengikuti hasil pendapat ulama yang sudah terbukukan di dalam beberapa kitab madzhab tersebut.
2.
Madzhab manhaji,
yakni memecahkan problem hukum
dengan berpedoman kepada
metode istiqra’ (penelitian hukum) yang digunakan dalam suatu madzhab.
Pada perkembangan
selanjutnya para ulama pesantren terus menerus berusaha untuk mengembangkan sistem
bermadzhab ini. Karena zaman bergulir begitu cepatnya, waktu melesat tak dapat dicegat, dan perubahan
tak mungkin dielakkan, sementara fiqh
Islam harus hadir memberikan solusi
untuk menjawab berbagai persoalan kemasyarakatan, maka umat Islam dituntut untuk dapat berkreasi dalam memecahkan berbagai persoalan tersebut. Sehingga diperlukan pendekatan ‘baru’ guna membuktikan slogan الإسلام صالح لكل زمان ومكان .
Salah satu bentuknya adalah dengan mengembangkan fiqh sosial sebagai upaya mengembangkan pola bermadzhab secara tekstual (madzhab
qawli) menuju pola bermazhab metodologis (madzhab manhaji) dalam fiqh
Islam, sebagaimana digagas oleh Dr.
KH. Sahal Mahfudh.
Mengutip hasil halaqah P3M, ada beberapa ciri yang
menonjol dalam fiqh Sosial. Ciri-ciri tersebut diantaranya adalah melakukan interpretasi teks-teks fiqh
secara kontekstual, perubahan pola bermadzhab, dari madzhab secara
tekstual (madzhab qawli) menuju pola bermadzhab
secara metodologis (madzhab manhaji), verifikasi ajaran secara mendasar, dengan membedakan ajaran yang pokok (ushul) dan
yang cabang (furu’), dan pengenalan metodologi filosofi, terutama
dalam masalah budaya dan sosial.
(KH. Dr. Sahal Mahfudh, dalam Duta Masyarakat, 18 Juni 2003).
Namun demikian, usaha ini hanya bisa dilakukan dalam persoalan sosial kemasyarakatan (hablun min
al-nas), tetapi tidak bisa masuk pada wilayah hubungan seorang hamba kepada khaliq-nya (hablun minallah).
Artinya, dalam hubungan dengan sesama manusia,
kaum muslimin harus mampu membuat
berbagai terobosan baru untuk menjawab dinamika sosial yang terus bergulir dengan cepat. Namun itu tidak
berlaku dalam hubungan vertikal seorang hamba dengan Sang Khaliq. Sebab yang dibutuhkan dalam ibadah
adalah kepatuhan seorang hamba
yang tunduk dan pasrah hanya menyembah kepada-Nya. Sebagaimana sebuah kaidah
yang diungkapkan oleh Imam Abu Ishaq al-Syathibi (w. 790 H/1388 M) dalam al-Muwafaqat-nya:
اْلاَصْلُ فِى الْعِبَادَةِ بِالنِّسْبَةِ اِلىَ الْمُكَلَّفِ اَلتَّعَبُّدُ دُوْنَ
اْلإِلْتِفَاتِ اِلَى الْمَعَانِى، وَاَصْلُ الْعَادَاتِ اَلاِلْتِفَاتُ اِلَى
الْمَعَانِى (الشاطبي، الموافقات فى اصول الاحكام،
2/300)
“Asal dalam masalah ibadah adalah ta‘abbud, tanpa perlu
melihat maknanya. Sedangkan asal dalam mu’amalah (interaksi antara sesama manusia) adalah memperhatikan
maknanya (esensinya).”
(Al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, juz II, hal. 300).
7. Madzhab Imam al-Syafi’i
Nama lengkap Imam al-Syafi’i adalah Muhammad bin
Idris al-Syafi’i. Beliau lahir pada tahun 150 H, bertepatan dengan tahun wafatnya Imam Abu Hanifah, dan wafat di Mesir pada tahun 204 H. Imam
al-Syafi‘i adalah seorang mujtahid
muthlaq mustaqil.
Selain ahli dalam bidang fiqh, beliau juga mahir dalam ilmu hadits dan akidah. Tentang keagungan dan
keistimewaan Imam al-Syafi’i, Dr. Wahbah al-Zuhaili –ulama fiqh kontemporer
berkebangsaan Syria-, menyatakan:
“Imam al-Syafi‘i adalah seorang mujtahid mustaqil muthlaq, imam dalam bidang fiqh dan hadits.
Beliaulah yang mampu menggabungkan
fiqh ulama Hijaz (sekarang wilayah Makkah dan Madinah) dan fiqh ulama Irak. Imam Ahmad bin Hanbal berkomentar, “Imam Syafi‘i adalah orang yang paling
mengerti tentang kitab Allah dan Sunnah Rasulullah SAW”…(seterusnya)… Semua
ulama ahli fiqh, ushul, hadits, ahli bahasa serta ulama yang lain telah sepakat
bahwa Imam al-Syafi‘i adalah seorang yang amanah, adil, zuhud, wara’, bertaqwa,
pemurah, reputasinya baik serta mempunyai kedudukan yang
mulia.” (Al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, juz
I, hal 36).
Apa yang beliau rintis kemudian diteruskan oleh para
pengikutnya, seperti Yusuf bin Yahya al-Buwaithi (w. 231 H/846 M), Abu Ibrahim
Isma’il bin Yahya al-Muzani (w. 264 H/877 M), dan lainnya. Termasuk pengikut madzhab al-Syafi’i adalah Imam Bukhari (194-251
H/810-870 M). (Al-Dahlawi, al-Inshaf fi Bayani Asbab al-Ikhtilaf, hal. 76).
Lebih jelas lagi Syaikh Musthafa Muhammad ‘Imarah
mengatakan:
وَتَفَقَّهَ اَلْبُخَارِيُّ عَلَى مَذْهَبِ اْلإِمَامِ الشَّافِعِيِّ (جواهر البخاري: 10)
“Dan
Imam Bukhari itu belajar fiqh mengikuti madzhab Imam al-Syafi‘i.“ (Jawahir al-Bukhari, hal. 10).
Apabila dianalogikan pada keahlian, maka Imam Bukhari diibaratkan pakar bahan baku, tetapi metode pengolahannya tetap mengikuti teori Imam
al-Syafi’i. Imam al-Syafi’i, di samping ahli “bahan
baku”, beliau juga ahli mengolah “bahan baku” tersebut. Maka tidak heran
apabila beliau menghasilkan produk hukum yang diikuti oleh umat Islam, termasuk
juga para pakar hadits.
8. Persoalan Talfiq
Secara bahasa, talfiq berarti
melipat. Sedangkan yang dimaksud dengan talfiq
secara syar‘i adalah menggabungkan pendapat seorang ulama dengan pendapat ulama yang lain,
sehingga tidak seorangpun dari mereka yang membenarkan perbuatan yang dilakukan tersebut. (Al-Kurdi,
Tanwir al-Qulub, hal. 397).
Jelasnya, talfiq adalah melakukan sesuatu
perbuatan atas dasar hukum yang
merupakan gabungan dua madzhab
atau lebih. Contohnya sebagai berikut:
a. Seseorang berwudhu menurut madzhab Imam al-Syafi’i dengan mengusap sebagian (kurang dari
seperempat) kepala. Kemudian dia menyentuh kulit wanita ajnabiyyah (bukan mahram-nya), dan langsung shalat dengan
mengikuti madzhab Imam Hanafi yang mengatakan bahwa menyentuh wanita ajnabiyyah tidak membatalkan wudhu. Perbuatan ini disebut talfiq, karena
menggabungkan pendapatnya Imam al-Syafi’i dan Imam Hanafi dalam masalah
wudhu, yang pada akhirnya, kedua imam
tersebut sama-sama tidak mengakui bahwa gabungan itu merupakan pendapatnya.
Sebab, Imam al-Syafi’i membatalkan wudhu seseorang yang menyentuh kulit lain jenis. Sementara Imam Abu Hanifah tidak
mengesahkan wudhu seseorang
yang hanya mengusap sebagian kepala.
b. Seseorang
berwudhu dengan mengusap sebagian kepala, atau tidak menggosok anggota wudhu karena ikut madzhab Imam al-Syafi’i.
Lalu dia menyentuh anjing, karena ikut madzhab Imam Malik yang
mengatakan bahwa anjing adalah suci. Ketika
dia shalat, maka kedua imam tersebut
tentu sama-sama akan membatalkannya.
Sebab, menurut Imam Malik wudhu itu harus dengan mengusap seluruh kepala dan juga dengan menggosok anggota wudhu. Wudhu ala Imam al-Syafi’i, menurut
Imam Malik adalah tidak sah. Demikian juga anjing menurut Imam al-Syafi’i
termasuk najis mughallazhah (najis
yang berat). Ketika menyentuh anjing lalu shalat, maka shalatnya tidak sah. Sebab kedua imam itu tidak menganggap
sah shalat yang dilakukan.
Talfiq semacam ini dilarang dalam agama untuk menjaga kemurnian sebuah madzhab, dan agar tidak terjadi tatabbu’ al-rukhash
(mencari yang gampang-gampang), tidak ‘memanjakan’ umat Islam untuk mengambil yang
ringan-ringan saja atau bahkan
mempermainkan hukum agama.
Dari sinilah, maka talfiq tidak ditujukan untuk
melarang kebebasan bermadzhab atau pun untuk melestarikan
fanatisme pada satu madzhab saja. Tetapi dalam satu persoalan memilih salah satu madzhab yang empat secara utuh. Misalnya,
dalam persoalan shalat (mulai dari syarat, rukun dan batalnya) ikut madzhab al-Syafi’i. Untuk persoalan sosial kemasyarakatan mengikuti madzhab Hanafi,
dan seterusnya.[]
[1]
Ketika
Goldziher dalam bukunya yang berbahasa Jerman Muhammedanische Studien mencoba
mengacak teori ilmu hadits yang sudah baku, maka kemudian hadirlah Dr. Muhammad
Mushthafa al-A’zhami, dengan sebuah disertasinya
untuk membela kebenaran hadits secara ilmiyah, yang berjudul Dirasah
fi al-Hadits al-Nabawi Wa Tarikh Tadwinihi, yang dipertahankan di hadapan
para pakar ilmu ke-Islaman orientalis di Universitas Cambridge pada tahun 1966, di antaranya Prof. A.J. Arberry dan lulus
dengan predikat sangat memuaskan (Cum Laude). Dengan demikian runtuhlah upaya Goldziher dan para
koleganya tersebut. Lebih jelas lihat, Muqaddimah Dirasah fi
al-Hadits al-Nabawi Wa Tarikh Tadwinihi.
[2] Dalam
keharaman narkoba misalnya kita harus menggunakan metode qiyas (analogi) agar sampai pada kesimpulan
bahwa narkoba itu haram dengan cara menemukan kesamaan illat (penyebab)
keharaman khamer dan narkoba bahwa keduanya sama-sama memabukkan.
[3] Maka sungguh ironis, orang
yang hanya bisa memahami al-Qur’an dan
al-hadits dari terjemahannya, sedangkan dia tidak menguasai bahasa Arab dengan baik, sudah merasa
mampu berijtihad. Padahal sebenarnya,
tanpa disadari dia sedang ber-taqlid buta kepada penterjemah buku
tersebut, karena tidak bisa mengoreksi dan mengkritisi
hasil terjemahan tersebut, apakah benar ataukah salah? Lihat: Fiqh
Tradisionalils, hal. 36.
[4] Dalam konteks inilah kita
harus memahami perkataan Imam Ahmad kepada
Imam Abu Dawud: “Janganlah kamu bertaqlid kepadaku, juga kepada Imam
Malik, Imam al-Syafi’i, al-Awza’i, dan
al-Tsauri. Tapi galilah dalil-dalil hukum itu sebagaimana yang mereka
lakukan.” (Al-Syaukani, al-Qawl al-Mufid, hal. 61). Beliau mengatakan
itu kepada Imam Abu Dawud yang mengarang Sunan Abi Dawud, tidak kepada
orang kebanyakan.
[5] Sebagian kalangan ada yang
membedakan antara taqlid dan ittiba’.
Namun sebenarnya tidak ada perbedaan dalam kedua kata itu. Bahkan kata ittiba’ tidak selalu berarti baik. Tidak
jarang di dalam al-Qur’an, ittiba’
ditujukan untuk sesuatu yang tidak terpuji, sebagaimana firman Allah SWT yang artinya: “Dan janganlah kamu
mengikuti (ittiba‘) langkah-langkah setan karena sesungguhnya dia merupakan
musuh yang nyata bagi kalian.” (QS. al-Baqarah, 168).
[6] Segolongan ulama dari
kalangan madzhab al-Syafi‘i menjelaskan bahwa tidak boleh ber-taqlid kepada
selain madzhab yang empat, karena selain yang empat itu jalur
periwayatannya tidak valid, sebab tidak ada sanad yang bisa mencegah dari kemungkinan adanya penyisipan dan perubahan.
Berbeda dengan madzhab yang empat.
Para tokohnya telah mencurahkan kemampuannya untuk meneliti setiap pendapat serta menjelaskan setiap sesuatu
yang memang pernah diucapkan oleh mujtahidnya atau yang tidak pernah dikatakan, sehingga para pengikutnya merasa
aman (tidak merasa ragu atau khawatir) akan terjadinya perubahan,
distorsi pemahaman, serta mereka juga
mengetahui pendapat yang shahih dan yang dha’if. (Lihat: Sayyid
Alawi bin Ahmad al-Saqqaf, Majmu’ah Sab’ah Kutub Mufidah, hal. 59).
[7] Imam Abu Hanifah bertemu Imam Malik ketika menunaikan ibadah haji. Begitu pula Imam al-Syafi'i cukup lama menjadi murid
Imam Malik. Lihat: Aswaja an-Nahdliyyah, hal. 24-25.
Ditulis oleh : abinadine.blogspot.com ~ Official
Anda sedang membaca postingan tentang Hujjah NU: Sistem Bermadzhab, Hadits Dhaif, Ijtihad, Taqlid, Talfiq. Anda boleh mengcopy paste atau menyebarluaskan postingan ini, namun jangan lupa untuk meletakkan link di bawah ini sebagai sumbernya.
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
ٱلْعَٰلَمِين