Seputar Ritual Shalat:
1. Dzikir dan Syair Sebelum
Shalat Berjama’ah
2. Mengeraskan Dzikir
3. Bilangan Shalat Tarawih
4. Qunut Shalat Shubuh
5. Dzikir dengan Cara
Berjama’ah
1. Dzikir dan Syair Sebelum
Shalat Berjama’ah
Membaca dzikir dan syair sebelum pelaksanaan shalat jama’ah, adalah perbuatan yang boleh dan tidak
bertentangan dengan ajaran Islam. Kebolehan ini bisa ditinjau dari beberapa sisi.
Pertama, dari sisi dalil, membaca syair di dalam masjid bukan merupakan sesuatu yang dilarang oleh
agama. Pada masa Rasulullah SAW, para sahabat
juga membaca syair di masjid. Dalam sebuah hadits:
عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ قَالَ مَرَّ عُمَرُ بِحَسَّانِ بْنِ ثَابِتٍ
وَهُوَ يُنْشِدُ فِي الْمَسْجِدِ فَلَحَظَ إِلَيْهِ فَقَالَ قَدْ أَنْشَدْتُ
وَفِيهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ ثُمَّ الْتَفَتَ إِلَى أَبِي هُرَيْرَةَ فَقَالَ
أَسَمِعْتَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَجِبْ عَنِّي اللَّهُمَّ أَيِّدْهُ
بِرُوحِ الْقُدُسِ قَالَ اللَّهُمَّ نَعَمْ (رواه أبو داود، 4360، و
النسائي، 709، وأحمد، 20928)
“Dari Sa’id bin Musayyab RA ia berkata, “Suatu ketika Umar berjalan kemudian bertemu
dengan Hassan bin tsabit yang sedang melantunkan syair di masjid. Umar menegur Hassan,
namun Hassan menjawab, “Aku
telah melantunkan syair di masjid yang di dalamnya ada seorang yang lebih mulia
darimu”, kemudian ia menoleh kepada Abu
Hurairah RA.
Hassan melanjutkan perkataannya,“Bukankah
engkau telah mendengarkan sabda Rasulullah SAW, “Jawablah dariku, ya
Allah mudah-mudahan engkau menguatkannya
dengan Ruh al-Qudus”. Abu Hurairah menjawab,“Ya Allah, benar (aku telah
mendengarnya).” (HR. Abu
Dawud [4360] al-Nasa’i,[709] dan Ahmad [20928]).
Mengomentari hadits ini, Syaikh Isma’il al-Zain
menjelaskan adanya kebolehan melantunkan syair yang berisi
puji-pujian, nasehat, pelajaran tata krama dan ilmu yang bermanfaat di dalam masjid. (Irsyad
al-Mu’minin Ila Fadha’ili Dzikr
Rabb al-‘Alamin, hal. 16).
Kedua,
dari sisi syiar dan penanaman akidah umat. Selain
menambah syiar agama, amaliah ini merupakan
strategi yang sangat jitu untuk menyebarkan ajaran Islam di tengah masyarakat. Karena di dalamnya tersebut
terkandung beberapa pujian kepada
Allah SWT, dzikir dan nasehat.
Ketiga, dari aspek psikologis, lantunan syair yang indah itu dapat menambah semangat dan mengkondisikan suasana. Dalam hal ini, tradisi yang telah berjalan di
masyarakat tersebut dapat menjadi semacam warming up (persiapan) sebelum
masuk ke tujuan inti, yakni shalat lima waktu.
Manfaat lain adalah, untuk mengobati rasa jemu sembari menunggu waktu shalat jama’ah dilaksanakan.
Juga agar para jama’ah tidak membicarakan hal-hal yang tidak perlu ketika
menunggu shalat jama’ah dilaksanakan.
Dengan beberapa alasan inilah maka membaca dzikir, nasehat, puji-pujian
secara bersama-sama sebelum melaksanakan shalat jama’ah di masjid atau di
mushalla adalah amaliah yang baik dan dianjurkan. Namun dengan satu
catatan, tidak mengganggu orang yang sedang melaksanakan shalat. Tentu hal tersebut
disesuaikan dengan situasi dan
kondisi masing-masing masjid dan mushalla dimaksud.
2. Mengeraskan Dzikir
Mengenai tata cara dzikir, apakah dikeraskan
atau dibaca pelan, masing-masing ada dalil dan tuntunan dari hadits Nabi SAW. Di antara hadits yang menjelaskan keutamaan mengeraskan dzikir adalah:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ، قَالَ النَّبِيُّ
:صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اللهُ تَعَالَى
أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي، فَإِنْ
ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلإٍ
ذَكَرْتُهُ فِي مَلإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ
(رواه البخاري،
7857، ومسلم، 4832، والترمذي، 3528، وابن ماجه،
3812).
“Dari Abu Hurairah RA, ia berkata. Nabi SAW bersabda, “Allah ta’ala berfirman,
“Saya akan berbuat sesuai dengan keyakinan hamba-Ku kepada-Ku. Dan Aku akan selalu
bersamanya selama ia ingat kepada-Ku.
Jika ia ingat (berdzikir) kepada-Ku di dalam hatinya, maka Aku akan memperhatikannya. Dan
jika ia menyebut Aku di dalam
suatu perkumpulan (dengan suara yang didengar orang lain) maka Aku akan ingat
kepadanya di dalam perkumpulan yang lebih baik dari perkumpulan yang mereka adakan.” (HR. al-Bukhari [7857], Muslim [4832], al-Tirmidzi [3528] dan Ibnu Majah [3812]).
Di samping itu banyak sekali do’a-do’a yang
diajarkan oleh Nabi SAW yang
diriwayatkan para sahabat, itu artinya suara Nabi cukup keras sehingga para
sahabat dapat mendengar dan menghafalnya.
Sedangkan hadits yang menjelaskan keutamaan
berdzikir dengan pelan adalah:
عَنْ سَعْدِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرُ الذِّكْرِ
الْخَفِيُّ وَخَيْرُ الرِّزْقِ مَا يَكْفِي (رواه أحمد، 1397).
“Dari Sa’ad bin Malik ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Paling baik dzikir adalah yang dilakukan secara
samar. Sedangkan rizki
yang paling baik adalah yang mencukupi.” (HR. Ahmad [1397]).
Karena sama-sama memiliki sandaran hukum, maka
semua berpulang kepada masing-masing individu. Imam Jalaluddin al-Suyuthi
menjelaskan bahwa memelankan dzikir itu bisa lebih utama sekiranya ada
kekhawatiran akan riya’ atau mengganggu orang yang shalat atau orang tidur.
Pada selain yang dua ini, maka mengeraskan suara itu lebih utama, karena
pekerjaan yang dilakukan ketika itu lebih banyak, serta manfaat dari dzikir
dengan suara keras itu bisa didapatkan
oleh orang yang mendengar. Dzikir itu juga dapat mengingatkan hati orang yang membaca, memusatkan segenap pikirannya untuk terus
merenungkan dan menghayati (dzikir yang dibaca), memfokuskan
konsentrasi dan pendengarannya, menghilangkan ngantuk serta
menambah semangat.” (Al-Suyuthi, al-Hawi li al-Fatawi,
juz II, hal. 133).
Keterangan dari Imam al-Suyuthi ini selain
menjelaskan keutamaan mengeraskan
dzikir, sekaligus menegaskan batasannya, bahwa dzikir itu boleh dikeraskan
selama tidak mengganggu orang lain yang sedang beribadah.
3. Bilangan
Shalat Tarawih
Shalat tarawih adalah salah satu ibadah yang
disunnahkan pada bulan
Ramadhan. Dilaksanakan setelah shalat Isya’ sebanyak 20 rakaat dengan sepuluh
salam (melakukan salam setiap
dua rakaat), yang kemudian diiringi shalat witir tiga rakaat.
Ibnu Taimiyyah dan Abdullah bin Muhammad bin
Abdil Wahhab menjelaskan:
“Imam Ibnu Taimiyyah berkata dalam kitab
Fatawa-nya, “Telah terbukti bahwa sahabat Ubay
bin Ka‘ab mengerjakan shalat Ramadhan bersama orang-orang waktu itu sebanyak dua puluh raka’at. Lalu mengerjakan
witir tiga raka’at. Kemudian mayoritas ulama mengatakan bahwa itu adalah sunnah. Karena pekerjaan itu
dilaksanakan di tengah-tengah kaum Muhajirin dan Anshar, tapi tidak ada satupun di antara mereka yang menentang atau
melarang perbuatan itu”. Dalam kitab Majmu’ Fatawi
al-Najdiyah diterangkan tentang jawaban Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abdil Wahhab mengenai bilangan
raka’at shalat tarawih. Ia mengatakan bahwa setelah sahabat Umar mengumpulkan orang untuk shalat berjama’ah
kepada Ubay bin Ka’ab, maka shalat yang mereka kerjakan adalah dua puluh raka’at”. (Tashhih Hadits Shalat al-Tarawih ‘Isyrina Rak’ah, hal. 13-14).
Dari sisi lain, KH. Bisri Mustofa menyatakan
bahwa secara esensial melaksanakan shalat tarawih dua puluh rakaat itu berarti mengamalkan hadits Nabi SAW yang menjelaskan keutamaan serta anjuran
mengikuti jejak sahabat Umar RA. (Risalah Ijtihad dan Taqlid,
hal. 15).
Tata cara ini didasarkan pada hadits:
عَنْ يَزِيدَ بْنِ رُومَانَ أَنَّهُ قَالَ كَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ فِي زَمَانِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي رَمَضَانَ بِثَلاَثٍ وَعِشْرِينَ
رَكْعَةً (رواه مالك في الموطاء، 233)
“Dari Yazid bin Ruman, ia berkata,
“Orang-orang (kaum Muslimin) pada masa Umar melakukan shalat malam di bulan
Ramadhan 23 raka’at (dua puluh tarawih dan tiga witir).” (HR. Malik dalam al-Muwaththa’,
[233]).[1]
Kaitannya dengan hadits:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ مَا كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
(رواه البخاري،
1079)
“Dari Sayyidatuna Aisyah –radhiyallahu ‘anha, ia
berkata, “Rasulullah SAW tidak pernah menambah shalat malam pada bulan ramadhan
atau bulan lain melebihi sebelas rakaat”. (HR. al-Bukhari, [1079]).
Ibnu Hajar al-Haitami menyatakan bahwa hadits tersebut
adalah dalilnya shalat witir, bukan dalil shalat tarawih. Sebab dalam banyak riwayat disebutkan bahwa Nabi SAW
melaksanakan shalat witir bilangan maksimal adalah sebelas rakaat. (Tuhfah
al-Muhtaj, juz II, hal. 229).
Mengenai pelaksanaan tarawih dua rakaat dengan satu salam, hal ini
sesuai dengan tuntunan Nabi SAW tentang
tata cara melaksanakan shalat malam. Nabi SAW bersabda:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَلاَةِ
اللَّيْلِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى (رواه
البخاري، 936، ومسلم ، 1239 والترمذي،
401، والنسائي،1659، وأبو داود، 1130،
وابن ماجه، 1165).
“Dari Ibnu Umar, “Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW tentang shalat malam. Maka Nabi
SAW menjawab, “Shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat”. (HR. al-Bukhari [936], Muslim
[1239], al-Tirmidzi [401], al-Nasa’i [1650], Abu Dawud [1130] dan Ibnu Majah
[1165]).
Lalu bagaimana kaitannya dengan shalat tarawih
yang dilakukan secara berjama’ah? Hal ini juga dibenarkan dan dihukumi sunnah. Dalam kitab Shahih
al-Bukhari dijelaskan:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا
النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي
الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاَءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ
فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى
وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلاَةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ نِعْمَتِ
الْبِدْعَةُ هَذِهِ (رواه البخاري،
1871)
“Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Abd
al-Qari, beliau berkata, “Saya
keluar bersama Sayyidina Umar bin al-Khaththab RA ke masjid pada bulan Ramadhan.
(Didapati dalam masjid tersebut) orang-orang shalat tarawih sendiri-sendiri.
Ada yang shalat sendiri-sendiri dan ada yang shalat dengan berjama’ah”. Lalu
Sayyidina Umar berkata, “Saya punya pendapat andaikata mereka aku kumpulkan
dalam jama’ah dengan satu imam, niscaya itu lebih bagus”. Lalu beliau
mengumpulkan mereka dengan seorang imam, yakni sahabat Ubay bin Ka‘ab. Kemudian satu
malam berikutnya, kami datang lagi ke masjid. Orang-orang sudah
melaksanakan shalat tarawih dengan
berjama’ah di belakang satu imam. ‘Umar berkata, “Sebaik-baik bid‘ah adalah
ini. (Shalat tarawih dengan berjama’ah)”. (HR. al-Bukhari [1871]).
4. Qunut Shalat Shubuh
Dalam
madzhab Imam al-Syafi’i, ada tiga tempat
disunnahkan membaca qunut, yakni ketika terjadi nazilah (bencana, cobaan), qunut pada shalat witir di
pertengahan bulan Ramadhan, dan
terakhir pada shalat subuh.
Tentang kesunnahan qunut subuh ditegaskan oleh kebanyakan
ulama salaf dan setelahnya. Di antara ulama salaf yang mensunnahkannya adalah Abu Bakr al-Shiddiq, Umar bin al-Khaththab, Utsman, Ali, Ibnu Abbas
dan al-Barra’ bin Azib –radhiyallahu ‘anhum. (Al-Majmu’, juz I, hal
504). Dalil yang dijadikan acuan adalah hadits Nabi SAW:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ مَا زَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
(رواه أحمد، 12196)
“Diriwayatkan dari Anas bin Malik RA, “Beliau berkata, “Rasulullah SAW senantiasa membaca
qunut ketika shalat shubuh sehingga beliau wafat.” (HR. Ahmad [12196]).
Pakar hadits al-‘Allamah Muhammad bin ‘Allan
al-Shiddiqi dalam kitabnya, al-Futuhat al-Rabbaniyyah menyatakan bahwa hadits inilah yang benar, dan
diriwayatkan serta di-shahih-kan oleh segolongan pakar yang banyak hafal
hadits. Di antara orang yang menyatakan ke-shahih-an hadits ini adalah
al-Hafizh Abu Abdillah Muhammad bin Ali al-Balkhi, al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak,
dan di beberapa tempat dari kitab yang ditulis oleh al-Baihaqi. Al-Daraquthni
juga meriwayatkannya dari beberapa jalur dengan berbagai sanad yang shahih.
(Al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar al-Nawawiyyah, juz II, hal. 268).
Sedangkan redaksi doa qunut yang warid (diajarkan
langsung) oleh Nabi SAW adalah:
اَللّهُمَّ اهْدِنَا فِيْمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِنَا فِيْمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنَا
فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ لَنَا فِيْمَا اَعْطَيْتَ، وَقِنَا شَرَّ مَا
قَضَيْتَ، فَاِنَّكَ تَقْضِى وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ، وَاِنَّهُ لاَيَذِلُّ
مَنْ وَالَيْتَ، وَلاَيَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ،
فَلَكَ الْحَمْدُ عَلَى مَا قَضَيْتَ، نَسْتَغْفِرُكَ وَنَتُوْبُ اِلَيْكَ
. (رواه النسائي 1725، وأبو داود 1214،
والترمذي 426، وأحمد 1625، والدارمي 1545، بسند صحيح).
“Ya Allah, berikanlah kami petunjuk seperti
orang-orang yang telah Engkau beri
petunjuk. Berilah kami perlindungan seperti orang-orang yang telah Engkau beri perlindungan. Berilah
kami pertolongan sebagaimana
orang-orang yang Engkau berikan pertolongan. Berilah berkah pada segala yang telah Engkau
berikan kepada kami. Jauhkanlah kami dari segala kejahatan yang Engkau
pastikan. Sesungguhnya Engkau Dzat yang maha menentukan dan Engkau tidak dapat ditentukan. Tidak akan hina orang
yang Engkau lindungi.
Dan tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi. Engkau maha suci dan maha luhur.
Segala puji bagi-Mu atas segala yang Engkau pastikan. Kami mohon ampun dan
bertaubat kepada-Mu.” (HR. al-Nasa’i [1725], Abu Dawud [1214], al-Tirmidzi [426],
Ahmad [1625], dan al-Darimi [1545] dengan sanad yang shahih).
Sedangkan hadits yang menyatakan bahwa Nabi SAW tidak melakukan qunut, tidak dapat dijadikan
alasan untuk tidak mensunnahkan, apalagi sampai melarang qunut. Karena dalam kaidah disebutkan “al-mutsbit muqaddam ‘ala an-nafi”
(yang mengatakan ada didahulukan dari yang
mengatakan tidak ada).
5. Dzikir dengan Cara Berjama’ah
Membaca dzikir dengan cara berjama’ah sehabis menunaikan
shalat maupun dalam momen tertentu seperti dalam acara istighatsah,
tahlilan dan lain-lain adalah perbuatan yang tidak bertentangan dengan ajaran agama, bahkan termasuk
perbuatan yang dituntun oleh agama. Tidak
sedikit ayat-ayat al-Qur’an yang
menunjuk terhadap dzikir secara berjama’ah. Misalnya ayat:
فَاذْكُرُوْنِيْ أَذْكُرْكُمْ
( البقرة: 152)
“Ingatlah
(berdzikirlah) kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu.” (QS. al-Baqarah:
152).
Allah SWT juga
berfirman:
يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اذْكُرُوْا اللهَ ذِكْرًا كَثِيْرًا وَسَبِّحُوْهُ
بُكْرَةً وَأَصِيْلاً (الأحزاب: 41-42)
“Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah
(dengan menyebut nama) Allah,
zikir yang sebanyak-banyaknya, dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan
petang.” (QS. al-Ahzab: 41-42).
Tidak sedikit
pula hadits-hadits Rasulullah SAW yang menunjukkan keutamaan dzikir dengan cara
berjama’ah. Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْه قَالَ: قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ
:صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَرَرْتُمْ
بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوْا قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَا رِيَاضُ
الْجَنَّةِ؟ قَالَ:
حِلَقُ الذِّكْرِ
(أخرجه أحمد،3/150،
والترمذي، 3510)
“Dari Anas RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Apabila kalian melewati taman
surga, maka berdzikirlah bersama mereka.” Mereka bertanya: “Apa yang dimaksud
taman surga wahai
Rasulullah?” Beliau J menjawab: “Kumpulan orang-orang yang berdzikir.” (HR. Ahmad [3/150] dan al-Tirmidzi
[3510]).
Rasulullah SAW
juga bersabda:
عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ:
إِنَّا لَعِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ
قَالَ: ارْفَعُوْا أَيْدِيَكُمْ وَقُوْلُوْا لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ فَفَعَلْنَا فَقَالَ
رَسُوْلُ اللهِ :صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللّهُمَّ إِنَّكَ بَعَثْتَنِيْ بِهَذِهِ الْكَلِمَةِ وَأَمَرْتَنِيْ
بِهَا وَوَعَدْتَنِيْ عَلَيْهَا الْجَنَّةَ إِنَّكَ لاَ تُخْلِفُ الْمِيْعَادَ ثُمَّ قَالَ:
اَبْشِرُوْا فَإِنَّ اللهَ قَدْ غَفَرَ لَكُمْ (أخرجه الحاكم، 1844،
وأحمد، 4/124، والطبراني في الكبير، 7163،
والبزار،10، قال الحافظ الهيثمي في مجمع الزوائد،
1/163، ورجاله موثقون)
“Dari Syaddad bin Aus RA, ia berkata: “Pada saat kami bersama Rasulullah SAW,
tiba-tiba beliau bersabda: “Angkatlah tangan kalian dan katakanlah, tiada tuhan
selain Allah”. Kami pun melakukannya. Lalu Rasulullah SAW bersabda: “Ya Allah,
sesungguhnya Engkau mengutusku dengan membawa kalimat ini, Engkau memerintahkan aku dengan kalimat
tersebut, dan Engkau
menjanjikan aku surga
dengan kalimat tersebut, sesungguhnya Engkau tidak akan mengingkari janji.” Kemudian beliau J bersabda: “Bergembiralah kalian, karena Allah telah
mengampuni kalian.” (HR. al-Hakim [1844], Ahmad
[4/124], al-Thabarani dalam
al-Mu’jam al-Kabir [7163] dan al-Bazzar [10]. Al-Hafizh al-Haitsami
berkata dalam Majma’ al-Zawaid [1/163], “Para perawi hadits ini dapat
dipercaya”).
Redaksi
perintah berdzikir dalam dua ayat di atas dan dua hadits di
bawahnya memakai bentuk jamak, “udzkuruu, sabbihuu, farta’uu, hilaq al-dzikri (dzikir berjama’ah) dan quuluu”, menunjukkan bahwa perintah berdzikir tersebut yang utama dilakukan secara bersama-sama yakni secara berjama’ah. Hal tersebut sesuai dengan apa yang disampaikan oleh para ulama. Al-Imam Ibnu
Abidin berkata dalam kitabnya:
“Al-Imam al-Ghazali menyamakan
dzikir sendirian dan dzikir berjama’ah
dengan adzan sendirian dan adzan berjama’ah, di mana suara adzan yang dilakukan sekelompok orang secara berjama’ah akan membelah udara melebihi suara adzan seorang diri. Demikian pula, dzikir berjama’ah akan lebih berpengaruh terhadap hati seseorang dalam menyingkap tabir yang menyelimuti hati, dari pada dzikir seorang diri.” (Hasyiyah Ibnu ‘Abidin, juz
V, hal. 263).
Bahkan lebih jauh lagi, al-Imam al-Sya’rani mengemukakan sebagai berikut:
“Para ulama salaf dan khalaf telah bersepakat tentang disunnahkannya dzikir berjama’ah di masjid-masjid atau lainnya, tanpa ada yang menentang dari seorang pun, kecuali apabila suara keras mereka dapat mengganggu orang yang tidur, shalat atau membaca al-Qur’an.” (Hasyiyah al-Thahthawi
‘ala Maraqi al-Falah, hal. 208).
Berangkat dari
keutamaan dzikir berjama’ah yang telah disepakati oleh para
ulama salaf dan khalaf tersebut, berdasarkan
al-Qur’an dan al-Hadits para ulama dalam setiap kurun waktu selalu melakukan
dzikir berjama’ah. Termasuk pula Ibnu Taimiyah yang rutin melakukan dzikir
berjama’ah dan membaca surah
al-Fatihah setiap selesai shalat shubuh sampai dengan terbitnya matahari sebagaimana diriwayatkan oleh
muridnya, Umar bin Ali al-Bazzar yang menjadi saksi mata sebagai
berikut:
فَإِذَا فَرَغَ أَيْ اِبْنُ
تَيْمِيَةَ مِنَ الصَّلاَةِ أَثْنَى عَلىَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ هُوَ وَمَنْ حَضَرَ
بِمَا وَرَدَ مِنْ قَوْلِهِ اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ ... ثُمَّ يُقْبِلُ
عَلَى الْجَمَاعَةِ ثُمَّ يَأْتِيْ بِالتَّهْلِيْلاَتِ الْوَارِدَاتِ حِيْنَئِذٍ
ثُمَّ يُسَبِّحُ اللهَ وَيَحْمَدُهُ وَيُكَبِّرُهُ ثَلاَثًا وَثَلاَثِيْنَ
وَيَخْتِمُ الْمِائَةَ بِالتَّهْلِيْلِ كَمَا وَرَدَ وَكَذَا الْجَمَاعَةُ ثُمَّ
يَدْعُو اللهَ تَعَالَى لَهُ وَلَهُمْ وَلِلْمُسْلِمِيْنَ... فَرَأَيْتُهُ
يَقْرَأُ الْفَاتِحَةَ وَيُكَرِّرُهَا وَيَقْطَعُ ذَلِكَ الْوَقْتَ كُلَّهُ –
أَعْنِي مِنَ الْفَجْرِ إِلَى ارْتِفَاعِ الشَّمْسِ – فِيْ تَكْرِيْرِ
تِلاَوَتِهَا... وَهَذَا مِنْ قُوَّةِ فِطْنَتِهِ وَثَاقِبِ بَصِيْرَتِهِ. (عمر بن
علي البزار، الأعلام العلية في مناقب ابن تيمية، ص/37-39).
“Apabila Ibnu Taimiyah selesai shalat shubuh, maka ia berdzikir
kepada Allah bersama-sama jama’ah yang hadir dengan doa yang warid (datang
dari Nabi SAW), Allahumma anta al-salam ... Kemudian dia menghadap kepada
jama’ah, lalu bersama mereka membaca tahlil yang warid, lalu membaca
subhanallah, alhamdulillah dan Allahu akbar, masing-masing 33 kali, dan
melengkapi yang keseratus dengan membaca tahlil yang warid, kemudian dia berdoa
untuk dirinya, jama’ah dan seluruh kaum
Muslimin. Selanjutnya dia membaca surat al-Fatihah, mengulang-ulanginya –yakni sejak terbitnya fajar
hingga matahari naik ke atas. Hal
tersebut sebagai bukti kekuatan kecerdasannya dan pandangan hatinya yang jitu.” (Umar bin Ali al-Bazzar, al-A’lam al-‘Aliyyah fi Manaqib Ibn Taimiyyah, hal.
37-39).[]
[1] “Hadits ini dishahihkan oleh Imam al-Nawawi dalam kitab beliau, al-Khulashah dan al-Majmu’, dan
diakui oleh al-Zaila’i dalam kitabnya
Nashb al-Rayah, Ibn al-‘Iraqi dalam kitabnya Tharh al-Tatsrib, al-‘Aini dalam kitabnya ‘Umdah al-Qari, al-Suyuthi dalam
kitabnya al-Mashabih fi Shalat al-Tarawih,
Ali al-Qari dalam kitabnya Syarh al-Muwaththa’ serta ulama-ulama
yang lain”. Lihat Syaikh Isma’il bin
Muhammad al-Anshari, Tashhih Hadits Shalah al-Tarawih ‘Isyrina
Rak’ah, hal. 7.
Ditulis oleh : abinadine.blogspot.com ~ Official
Anda sedang membaca postingan tentang Hujjah NU: Dzikir Keras, Dzikir Berjama'ah, Rakaat Tarawih, Qunut Shubuh. Anda boleh mengcopy paste atau menyebarluaskan postingan ini, namun jangan lupa untuk meletakkan link di bawah ini sebagai sumbernya.
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
ٱلْعَٰلَمِين