Ma’asyiral Muslimin, Jama’ah Jum’ah
Rahimakumullah,
Marilah kita terus berupaya
meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah SWT, yang telah menganugerahkan
berbagai nikmat-Nya kepada kita, berupa nikmat iman, Islam, kesehatan lahir
maupun batin sehingga pada saat ini kita dapat hadir di masjid ini untuk
menunaikan kewajiban kita sebagai seorang muslim, yakni dengan menjalankan
shalat Jum’at berjama’ah di masjid yang berkah ini.
Hal ini patut kita syukuri sebab
betapa banyak saudara-saudara kita yang diberi nikmat dengan sehatnya tubuh,
kemampuan untuk melangkah ke masjid, tetapi karena tidak mendapatkan nikmat
sehatnya ruhani dan kesadaran beragama, sebagian mereka merasa enggan atau
tidak memiliki kemauan untuk menjalankan kewajiban agamanya.
Sebaliknya, betapa banyak
saudara-saudara kita yang berkeinginan untuk dapat hadir menjalankan shalat Jum’at,
tetapi karena Allah masih mengujinya dengan berbagai keterbatasan, misalnya
sedang terbaring di rumah sakit, sedang melakukan perjalanan jauh, dan
sebagainya, mereka pun tidak dapat hadir di masjid ini.
Maka kita bersyukur kepada Allah SWT
yang telah memberi kita kesehatan, menggerakkan hati kita, serta melangkahkan
kaki kita untuk menghadiri shalat Jum’at ini. Dengan
demikian, sempurnalah nikmat Allah bagi kita berupa kesehatan jasmani dan
ruhani. Kita dapat merasakan betapa lezatnya iman, sehingga apapun kesibukan
kita seharian ini, tidak menggoyahkan tekad kita untuk menunaikan kewajiban
shalat Jum’at ini.
Oleh karenanya, sudah sepantasnya bagi kita yang telah
diberi nikmat untuk kemudian mensyukuri nikmat tersebut, minimal dengan
mengucapkan hamdalah, “alhamdu lillahi rabbil ‘alamin”, diiringi
upaya untuk terus meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah SWT, dengan menjalankan
segala perintah-Nya, baik yang wajib maupun sunnah; serta menjauhi segala
larangan-Nya, baik yang haram, syubhat, maupun makruh. Dengan cara tersebut, Allah
berjanji akan menambahkan nikmat dan anugerah-Nya kepada kita. Amin ya
Rabbal Alamin.
Jama’ah
Sidang Jum’ah yang Berbahagia,
Hari Jum’at ini merupakan hari yang sangat istimewa untuk umat Islam. Jika
seharian penuh manusia bergelut dengan dunia, maka Allah memanggilnya lima kali
sehari melalui shalat maktubah. Jika selama sepekan manusia mengejar
penghidupan dunia, maka Allah mengundangnya melalui shalat Jum’at. Sekali dalam sepekan, Allah mengumpulkan umat Islam di
rumah-Nya, menghentikan sejenak umat Islam dari berbagai kesibukannya, untuk semata-mata
beribadah dan mendengarkan seruan kebaikan dan ajaran Islam melalui khutbah
Jum’at. Karena itulah, hari Jum’at disebut sebagai sayyidul ayyam, pemuka
atas hari-hari lainnya.
Seperti kita ketahui, tidak hanya agama Islam saja yang memiliki hari
istimewa. Agama-agama samawi lainnya, seperti Yahudi dan Nasrani, masing-masing
juga memiliki hari istimewa. Agama Yahudi, memiliki hari Sabbath sebagai hari
khusus peribadatan. Allah mengambil perjanjian dengan Bani Israel bahwa pada
hari Sabbath mereka dikhususkan untuk semata-mata beribadah kepada Allah. Allah
menguji keimanan Bani Israel; apakah lebih memilih Allah dengan beribadah
kepada-Nya, atau justru memilih dunia dengan sibuk mengumpulkan harta. Hal ini seperti dijelaskan dalam al-Qur’an:
.... وَآَتَيْنَا مُوسَى سُلْطَانًا مُبِينًا (۱٥٣) وَرَفَعْنَا فَوْقَهُمُ
الطُّورَ بِمِيثَاقِهِمْ وَقُلْنَا لَهُمُ ادْخُلُوا الْبَابَ سُجَّدًا وَقُلْنَا
لَهُمْ لَا تَعْدُوا فِي السَّبْتِ وَأَخَذْنَا مِنْهُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا (۱٥٤)
”.... Dan telah Kami berikan kepada Musa keterangan yang nyata. Dan telah
Kami angkat ke atas (kepala) mereka bukit Thursina untuk (menerima) perjanjian
(yang telah Kami ambil dari) mereka. Dan kami perintahkan kepada mereka:
"Masuklah pintu gerbang itu sambil bersujud, dan Kami perintahkan (pula)
kepada mereka: "Janganlah kamu melanggar peraturan mengenai hari Sabbath",
dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang kokoh.” (Qs. al-Nisa’: 153-154)
Untuk menguji keimanan Bani Israel, maka pada saat itu, Allah justru
memberikan banyak kemudahan dalam memperoleh rizki justru pada hari Sabbath. Mereka
yang berdagang akan mendapatkan banyak laba dan keuntungan. Para nelayan yang
mencari ikan di laut akan mendapatkan hasil tangkapan yang melimpah. Dan hanya
pada hari Sabbath itulah, semua aktivitas duniawi justru mendapatkan hasil yang
lebih banyak bila dibandingkan dengan hari-hari lainnya.
Padahal hari Sabbath adalah hari dimana Bani Israel dikhususkan untuk
semata-mata beribadah kepada Allah. Dan mereka gagal dalam ujian itu karena ternyata
lebih mengutamakan mengejar dunia daripada beribadah kepada Allah. Hari Sabbath
ini kemudian kita kenal sebagai hari Sabtu. Oleh karenanya, hari istimewa bagi
agama Yahudi adalah hari Sabtu.
Hadirin Sidang Jum’ah Rahimakumullah,
Jika agama Yahudi memiliki hari Sabtu sebagai hari istimewa, agama Nasrani
juga memiliki hari Minggu sebagai hari istimewa. Dalam bahasa Inggris, hari
Minggu disebut ’Sunday’ yang berarti ”Hari untuk Penyembahan Dewa Matahari”,
seperti halnya Monday yang berarti ”Hari untuk Penyembahan Dewi Bulan”. Hal ini
sesuai dengan kepercayaan bangsa Yunani dan Romawi Kuno yang meyakini ”Dewa
Matahari” sebagai ”Dewa Tertinggi”. Oleh karenanya, hari Minggu digunakan
sebagai hari tertinggi dan hari pertama di antara hari-hari lainnya, dan pada Sunday
atau hari Minggu ini dikhususkan umat Nasrani untuk beribadah. Di sinilah
terjadi apa yang disebut proses Christianization of Greeco-Romans atau ”Kristenisasi
Kepercayaan Yunani-Romawi”.
Di Indonesia, kata ’Minggu’ sendiri berasal dari
bahasa Portugal, ’Domingo’ atau ‘Domingus’ yang berarti “Hari untuk Tuhan”. Bahkan, Domingo juga merupakan nama salah seorang
penyebar agama Nasrani di Indonesia yang berasal dari Portugis. Dan untuk mengabadikan
nama Domingo tersebut, kaum penjajah menggunakan nama Minggu sebagai pengganti hari
Ahad. Padahal penggunaan nama ’Ahad’ sebagai hari pertama dalam
sepekan sudah digunakan sejak zaman Walisongo hingga awal abad ke-19 Masehi.
Pada hari Minggu, umat Nasrani menjalankan ibadah di gereja-gereja, sehingga
sekolah-sekolah diliburkan, demikian juga kantor-kantor dan instansi pemerintah
maupun swasta, pabrik-pabrik, dan tempat-tempat lainnya. Mengapa libur? Karena
pada hari Minggu, umat Nasrani akan pergi ke gereja untuk beribadah. Inilah warisan
peninggalan penjajah yang masih bangsa kita gunakan hingga saat ini.
Kaum Muslimin Rahimakumullah,
Tidak terkecuali, agama Islam sebagai agama samawi terakhir dan penyempurna
dari syari’at-syari’at para nabi terdahulu, juga memiliki hari istimewa, yaitu
hari Jum’at. Pada hari ini, tidak seperti agama Yahudi yang melarang aktivitas
duniawi pada hari Sabtu, Allah memperbolehkan umat Islam untuk mencari
penghidupan dunia, asalkan ketika tiba waktunya shalat Jum’at, semua bentuk
perniagaan dan aktivitas lainnya segera ditinggalkan. Hal ini ditegaskan dalam
al-Qur’an Surat al-Jumu’ah ayat 9-10:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى
ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ
تَعْلَمُونَ (۹) فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي
الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
(۱۰)
”Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at,
maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang
demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan
shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan
ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (Qs. al-Jumu’ah: 9-10)
Ayat di atas mengajarkan kepada kita agar tidak hubbuddunya (cinta
dunia) secara berlebihan. Sesibuk apapun kita, seberat apapun pekerjaan kita,
dan sebesar apapun keuntungan perniagaan kita, tidak boleh menjadi alasan bagi
kita untuk meninggalkan shalat Jum’at. Ada masanya bagi kita untuk berhenti
sejenak melepaskan urusan dunia, untuk kemudian menghadapkan wajah dan hati
kita kepada Allah SWT.
Ketika seruan adzan dikumandangkan, para pedagang hendaknya segera menutup
tokonya, para petani hendaknya segera meninggalkan sawah dan ladangnya, dan para
pekerja hendaknya meninggalkan pekerjaannya sejenak untuk menuju masjid
mengikuti pelaksanaan shalat Jum’at. Dan setelah shalat Jum’at ditunaikan,
Allah mempersilakan kepada kita untuk kembali kepada kesibukan kita, bertebaran
mencari karunia Allah di muka bumi. Dan Allah pun mengingatkan agar dalam
mencari rizki tersebut, kita banyak mengingat Allah agar mendapatkan keuntungan
dan keberuntungan yang banyak pula.
Ada pesan menarik dari redaksi ”fantasyiru fil ardh” (bertebaranlah
di muka bumi) dalam Surat al-Jumu’ah di atas. Menurut Muhammad Syafi’i Antonio,
salah seorang pakar ekonomi syari’ah, dalam ayat tersebut, Allah SWT
mengajarkan kepada umat Islam agar go global, dan tidak hanya puas dalam
keunggulan lokal. Dan untuk bisa go global, umat Islam harus membekali diri
dengan berbagai penguasaan bahasa, baik itu bahasa Inggris, Arab, Mandarin, dan
sebagainya. Sebab tanpa penguasaan bahasa internasional, mustahil umat Islam dapat
bertebaran di muka bumi untuk mencari karunia Allah. Di samping tentu saja,
umat Islam harus membekali dirinya dengan berbagai ilmu pengetahuan untuk dapat
menguasai dunia.
Jama’ah Jum’ah yang Dirahmati Allah,
Mari kita berkaca pada kondisi umat Islam dewasa ini. Apakah mereka mengikuti jejak Bani Israel dengan memilih mengejar dunia
atau lebih memilih Allah dengan menjalankan shalat Jum’at. Apakah harta yang
telah dikumpulkan selama 6 hari tidak cukup sebagai persediaan pada hari Jum’at,
sehingga pelaksanaan shalat Jum’at yang cuma satu jam masih saja ditinggalkan. Apakah
shalat merupakan beban yang sangat berat padahal merupakan kontrol iman seorang
muslim.
Padahal jika iman adalah pondasi, maka shalat adalah tiang atau dinding
suatu bangunan keislaman seseorang. Jika seorang muslim tidak mendirikan tiang
dan dinding keislamannya dengan shalat, maka robohlah keislamannya. Dalam suatu
hadits, Nabi bersabda, ”Shalat adalah tiang agama. Barangsiapa menegakkannya, maka kokohlah agamanya. Dan
barangsiapa merobohkannya (dengan meninggalkannya), maka robohlah agamanya.”
Lalu, apa tanda-tanda orang yang telah merobohkan agama? Merekalah yang menganggap
shalat dan ibadah-ibadah lainnya sebagai kebutuhan Tuhan dan bukan kebutuhan
manusia. Seakan-akan Allah membutuhkan manusia agar disembah dan dipuji.
Syahadat dianggap bahwa Allah krisis pengakuan ketuhanan sehingga manusia
diwajibkan untuk berikrar bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Shalat dianggap
bahwa Allah ingin selalu diingat lima kali sehari. Ibadah haji dianggap bahwa
Allah butuh untuk dikunjungi, dan seterusnya.
Orang-orang seperti ini lupa dan kehilangan kesadaran fitrahnya bahwa hidup
dan matinya seseorang itu berada dalam genggaman Allah, sukses dan gagalnya
berada dalam qudrah dan iradah-Nya. Mereka meninggalkan shalat,
padahal shalat merupakan tanda syukur seorang hamba atas Tuhannya. Subuh
kesiangan, Dhuhur kerepotan, Ashar di perjalanan, Maghrib kecapekan, dan Isya’
ketiduran. Rutinitas keseharian mereka jalani tanpa ibadah dan makna. Seakan-akan
manusia bisa hidup sendiri dan mendapatkan apapun keinginannya tanpa
pertolongan Allah.
Apakah memang pandangan hidup dan jalan hidup seperti ini yang dapat
menyelamatkan dirinya dari siksa Allah di akhirat? Enggan mengeluarkan zakat,
karena menganggap harta yang diperoleh merupakan hasil kerja kerasnya. Tidak
segera mendaftar haji, meskipun di rumahnya berjejer berbagai kendaraan mewah. Termasuk,
shalat Jum’at yang disyari’atkan sekali dalam sepekan jarang pula dijalankan. Jika dilakukan pun, lebih sering terlambat hingga
akhir-akhir khutbah. Padahal khutbah Jum’at berfungsi untuk menegur bagi yang
menyimpang, mengingatkan bagi yang lupa dan lalai, memantapkan bagi yang sudah baik,
serta mengajak bersama-sama menuju tujuan hidup manusia di dunia, yakni beribadah
kepada Allah SWT.
Orang-orang yang hubbuddunya (cinta dunia) memiliki seribu satu
alasan untuk menghindari kewajibannya. Padahal Allah mengetahui isi hati
orang-orang munafiq penuh dengan penyakit dan Allah akan menambah penyakitnya
itu.
فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ
فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ
”Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi
mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (Qs. Al-Baqarah: 10)
Ma’asyiral Muslimin yang Dimuliakan
Allah,
Jika saat ini kita masih belum bisa mencintai akhirat seperti kita
mencintai dunia, maka marilah kita belajar melalui shalat. Bagaimana kita dididik
segera bangun untuk shalat shubuh, meskipun saat itu sedang nyenyak-nyenyaknya
tidur. Bagaimana kita diajarkan untuk segera memenuhi panggilan adzan, meskipun
kita masih sibuk dengan pekerjaan. Termasuk, bagaimana kita dididik untuk
mengutamakan akhirat daripada dunia melalui pelaksanaan shalat Jum’at ini.
Itu semua bisa dilatih asalkan ada kemauan yang kuat, perspektif yang
lurus, disertai pembiasaan yang dilakukan secara berkelanjutan. Dengan cara
demikian, insya Allah, kita dapat menikmati betapa lezatnya mencintai akhirat,
dan bersungguh-sungguh dalam meraih keutamaan akhirat, dengan terus
meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah kita kepada Allah SWT.
Mengakhiri khutbah Jum’at ini, marilah kita berdoa, semoga Allah SWT mengaruniakan
taufiq dan hidayah-Nya kepada kita agar tetap istiqomah di atas jalan hidup
Islam yang lurus dan kiranya Allah SWT menerima semua amal dan ibadah kita. Amin
ya Rabbal Alamin.
Ditulis oleh : abinadine.blogspot.com ~ Official
Anda sedang membaca postingan tentang Belajar Mencintai Akhirat Melalui Shalat Jum'at. Anda boleh mengcopy paste atau menyebarluaskan postingan ini, namun jangan lupa untuk meletakkan link di bawah ini sebagai sumbernya.
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
ٱلْعَٰلَمِين
Post a Comment