Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Pada kesempatan yang mulia ini,
marilah kita bersama-sama menguatkan hati dan bertekad meningkatkan ketaqwaan
kita kepada Allah SWT, karena sesungguhnya hanya taqwalah yang dapat
menghantarkan kita menuju ridha-Nya. Bagaimana makhluk seperti kita ini masih
menyombongkan diri, padahal sebenarnya kita ini makhluk yang sangat kecil bila
dibandingkan dengan kemahabesaran Allah. Kita ini makhluk yang sangat lemah
bila dibandingkan dengan kemahakuasaan Allah. Dan kita ini makhluk yang sangat
hina bila dibandingkan dengan kemahamuliaan Allah.
Marilah kita bersyukur kepada Allah SWT
menjadikan waktu sebagai ruang bagi manusia untuk menanam berbagai kebaikan
sebagai bekal di hari mendatang. Maka apabila waktu terus berganti, itu pertanda
semakin menipis kesempatan diri menikmati indahnya dunia. Haruslah segera kita
ingat, bahwa yang kekal adalah hari akhirat. Hari keadilan yang membahagiakan
bagi mereka yang telah mempersiapkan diri dan menyedihkan bagi mereka yang lupa
diri.
Jama’ah Jum’ah yang Berbahagia
Pada kesempatan ini, marilah kita
menyimak salah satu nasihat dari sahabat Abu Bakar As-Shidiq yang berbicara
mengenai kehidupan ini. Bahwasanya ada lima jenis kegelapan yang menjadikan
pekatnya kehidupan manusia. Namun lima kegelapan itu dapat disirnakan oleh lima
macam cahaya.
Pertama حب
الدنيا ظلمة والسراج
لها التقوى ‘hubbud dunya dzulmatun was siroju lahat
taqwa’ Kegelapan terjadi akibat dari terlalunya cinta manusia kepada
kehidupan dunia, dan cahaya yang menghilangkannya adalah taqwa. Terlalu
mencintai kehidupan dunia (hubbud dunya) akan menyebabkan seseorang
menghampiri perkara-perkara syubhat, yaitu perkara samar yang tidak jelas halal
dan haramnya. Perkara yang syubhat itu akan menghantarkan kepada yang makruhat,
yaitu perkara yang dibenci oleh syariat. Jika sudah demikian maka akhirnya
jatuhlah ia ke lembah muharramat, yaitu perkara yang dilarang oleh agama. Semua
ini berawal dari semangat yang berlebihan pada cinta kehidupan dunia.
Oleh karena itu Rasulullah SAW
bersabda حب الدنيا رأس
كل خطيئة “hubbud dunya ro’su kulli khoti’ah” (cinta dunia adalah pangkal semua
keburukan). Yang kemudian dijabarkan oleh al-Ghazali فبغضها
رأس كل حسنة “Fabaghdhuha ro’su kulli hasanah” (maka membenci
dunia adalah modal kebaikan). Kegelapan ini bisa sirna apabila diterangi oleh
taqwa, sebab substansi taqwa adalah ‘takut’; takut akan terjatuh pada
larangan-Nya. Sehingga seseorang hanya akan mengerjakan apa yang
diperintahkan-Nya.
Cinta kepada dunia menjadikan
pekerjaan kita sebagai prioritas. Orang-orang yang cinta dunia dan melupakan
akhirat akan dengan mudahnya meninggalkan shalat tanpa adanya rasa dosa dan
penyesalan. Boleh jadi mereka mengaku sebagai orang Islam, tetapi rukun Islam
sering mereka lalaikan. Bahkan, boleh jadi mereka shalat, tetapi di dalam
hatinya ada unsur riya’/pamer. Allah memperingatkan perilaku seperti ini dalam
firman-Nya:
فَوَيْلٌ
لِلْمُصَلِّينَ . الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ . الَّذِينَ هُمْ
يُرَاءُونَ . وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ
“Maka
kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu)
orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya dan enggan
(menolong dengan) barang berguna.” (Qs. al-Ma’un: 4-7)
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa
ayat ini turun berkenaan dengan kaum
Munafiqin yang mempertontonkan shalat kepada kaum Mukminin dan meninggalkannya
apabila tidak ada yang melihatnya serta menolak memberikan bantuan ataupun
pinjaman. Ayat ini sendiri turun sebagai peringatan kepada orang-orang yang
berbuat seperti itu.
Jama’ah Rahimakumullah
Kedua, والذنب ظلمة
والسراج له التوبة wad-dzanbu dzulmatun was siroju lahut taubah.
Kegelapan yang terjadi akibat dosa dan sinar yang akan menyirnakannya adalah
taubat. Imam Ghazali berkata: Sesungguhnya seorang hamba apabila ia berbuat
kesalahan maka di hatinya akan tertera setitik noda. Ketika ia telah
beristighfar (meminta ampunan) dan bertaubat maka hati itu akan kembali cemerlang
dan jika ia kembali melakukan kesalahan serupa maka hati itulah yang telah
tertutup.
Hal ini sesuai dengan Qs.
al-Muthaffifin ayat 14:
كَلَّا
بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Sekali-kali
tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati
mereka.”
Memang, manusia adalah tempatnya lupa
dan dosa. Tapi sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah orang yang
menyadari kesalahannya kemudian berusaha memperbaiki diri dengan bertaubat
kepada Allah dengan taubatan nasuha. Caranya adalah (1) menyesali
kesalahannya; (2) berjanji tidak akan mengulanginya lagi; dan (3) memperbanyak
amal saleh untuk menutupi kesalahannya tersebut, sebab dalam hadits disebutkan:
اِتَّقِ
اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ
النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
Bertaqwalah
kepada Allah dimanapun engkau berada, dan hendaknya setelah melakukan kejelekan
engkau melakukan kebaikan yang dapat menghapusnya, serta bergaulah dengan orang
lain dengan akhlak yang baik. (HR.
Ahmad dan Tirmidzi)
Ketiga, والقبر ظلمة
والسراج له لا
إله إلا الله
wal qabru dzulmatun was siroju lahu ‘la ilaha illallah’, kegelapan yang
terjadi di alam kubur dan yang akan menyinarinya adalah kalimat tauhid ‘la
ilaha illallah’. Nasehat ketiga ini didasarkan kepada hadits Rasulullah SAW:
إِنَّ
اللهَ تَعَالَى حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لَا اِلٰهَ إِلَّا اللهُ
“Sesungguhnya Allah SWT mengharamkan atas api
neraka orang yang mengatakan la ilaha illallah.”
Dalam hadits al-Khatib disebutkan: “Barangsiapa
yang membaca la ilaha illallah dengan ikhlas akan masuk surga. Kemudian
orang-orang bertanya: bagaimana ikhlas itu ya Rasulullah? Rasulullah menjawab: Ya,
apabila kalian merintangi diri dari segala yang dilarang Allah.”
Keikhlasan seseorang yang melafalkan la ilaha illallah berasal dari hati
yang ikhlas pula, sehingga menggerakkan lisannya untuk mengakui bahwa tidak ada
yang patut disembah dan dituju kecuali Allah. Hal ini berbeda dengan orang yang
mengucapkan la ilaha illallah tanpa adanya pemaknaan yang mendalam.
Orang-orang seperti ini barangkali lisannya mengucapkan la ilaha illallah,
tetapi boleh jadi perilakunya menyembah materi dan kedudukan. Na’udzubillah
min dzalik.
Jama’ah yang Dimuliakan Allah
Keempat, والأخرة ظلمة
والسراج لها الأعمال
الصالحة “Wal
akhiratu dzulmatun was siroju lahal ‘amalus shalih.” Kegelapan yang ada di
akhirat hanya dapat disinari dengan amal kebaikan. Maka selagi masih ada
kesempatan dan umur panjang, berbondong-bondonglah melakukan dan mengumpulkan
berbagai amal kebaikan.
Jangan sampai alasan “belum bisa
ikhlas”, menjadikan kita malas untuk memulai suatu kebaikan. Sebab tiap manusia
tidak bisa langsung beramal dengan ikhlas tanpa adanya suatu latihan dan
pembiasaan. Dengan adanya pembiasaan beramal saleh, hendaknya kita terus
berusaha untuk belajar ikhlas, sehingga amal saleh yang kita lakukan diterima
oleh Allah SWT. Lebih baik kita banyak beramal sambil belajar ikhlas daripada
kita tidak beramal sama sekali hanya karena belum bisa ikhlas.
Belajar ikhlas memang sulit. Namun,
Allah memahami kondisi hamba-hamba-Nya dengan menjadikan berbagai macam
keringanan (rukhshah) agar manusia mengumpulkan sebanyak mungkin
kebaikan. Begitu pentingnya posisi rukhshah dalam syariat hingga
Rasulullah SAW bersabda :
أَدُّوا
الْعَزَائِمَ وَاقْبَلُوا الرُّخْصَةَ وَدَعَوا النَّاسَ فَقَدْ كَفْتُمُوْهُمْ
“Lakukanlah berbagai kehendak (baikmu) dan
terimalah keringanan dari Allah dan ajaklah orang-orang semuanya, maka yang
demikian cukuplah bagimu.”
Hal ini perlu dipahami bahwasanya rukhshah
yang diberikan oleh Allah SWT merupakan kesempatan dan peluang yang sebaiknya
segera ditindak-lanjuti menjadi amal kesalehan. Karena amal salehlah yang akan
menolong kehidupan di akhirat nanti. Akan tetapi perlu diiingat, segala keringanan
yang diberikan Allah jangan sampai menjadikan kita menggampangkannya. Demikian
juga, segala kewajiban dari Allah jangan sampai menjadikan kita merasa berat
sehingga meninggalkannya.
Kelima, والصراط ظلمة
والسراج له اليقين was sirathu dzulmatun wa siroju lahul yaqin. Bahwa
titian atau jembatan di hari akhir nanti sangatlah gelap, dan yang akan
menerangi perjalanan kita melewati jembatan itu adalah keyakinan. Yakin atas
petunjuk Allah SWT akan menghilangkan berbagai macam keraguan. Namun, jika kita
merasa ragu serta tidak meyakini petunjuk-Nya, maka perjalanan kita akan penuh
kegelapan.
Petunjuk Allah itu tidak lain adalah
kitab suci al-Qur’an sebagai penerang bagi hati yang gelap. Ibarat buku
rambu-rambu lalu lintas, al-Qur’an adalah buku pedoman bagi perjalanan kita di
dunia ini agar selamat sampai tujuan di akhirat nanti. Jika kita meyakini
kebenaran al-Qur’an dan mengamalkan pedoman-pedoman hidup yang ada di dalamnya,
insya Allah kita akan dinaungi oleh sinar terang pada saat kita berada di shirat,
di akhirat nanti. Amin.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah
Demikianlah nasihat sayyidina Abu
Bakar mengenai lima kegelapan yang harus disiapkan penerangnya oleh kita semua
agar perjalanan kita kelak menjadi lancar tanpa halangan apapun. Semoga khutbah
kali ini bermanfaat bagi kita semua dalam menapaki sisa-sisa umur kita yang
semakin berkurang ini. Amin, Ya Rabbal Alamin.
Ditulis oleh : abinadine.blogspot.com ~ Official
Anda sedang membaca postingan tentang Mutiara Hikmah Nasihat Abu Bakar Ash-Shiddiq. Anda boleh mengcopy paste atau menyebarluaskan postingan ini, namun jangan lupa untuk meletakkan link di bawah ini sebagai sumbernya.
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
ٱلْعَٰلَمِين
Post a Comment