Keabsahan Salat Aswaja:
1.
Mengusap
Wajah Dan Bersalaman Setelah Salat
2.
Salat Sunah Berjamaah
3.
Menggerakkan Telunjuk Saat Tasyahhud?
4.
Berdoa Dengan Mengangkat Kedua Tangan
5.
Berdoa Dengan Syair Arab
6.
Kata 'Sayidina' dalam Tahiyat
7.
Dalil Qunut
Salat Subuh
8.
Meng-qadla’ Salat Mayit
9.
Larangan Salat Ba'diyah Ashar
dan Shubuh
10. Dzikir Suara Keras
11. Mengeraskan Basmalah
12. Doa Ruku’ dan Sujud
13. Puji-Pujian Setelah Adzan
14. Kesahihan
Salat Tasbih
1. Mengusap Wajah dan Bersalaman Setelah
Salat
Pertanyaan:
Benarkah dalam kitab-kitab fikih tidak
ada kesunahan mengusap wajah setelah Salat? Bagaimana pula hukum bersalaman
setelah Salat? Ahmad Arifin, Sby.
Jawaban:
Memang benar, dalam kitab-kitab fikih
Syaifiiyah tidak ada kesunahan tersebut. Namun, apa yang telah banyak dilakukan
oleh umat Islam tersebut berdasarkan sebuah hadis:
وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا صَلَّى وَفَرَغَ مِنْ صَلاَتِهِ مَسَحَ بِيَمِيْنِهِ
عَلَى رَأْسِهِ وَقَالَ بِسْمِ اللهِ الِّذِي لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الرَّحْمَنُ
الرَّحِيْمُ اللَّهُمَّ أَذْهِبْ عَنِّي الْهَمَّ وَالْحَزَنَ وَفِي رِوَايَةٍ:
مَسَحَ جَبْهَتَهُ بِيَدِهِ الْيُمْنَى وَقَالَ فِيْهَا "اللَّهُمَّ أَذْهِبْ
عَنِّي الْهَمَّ وَالْحَزَنَ" (رواه الطبراني في الأوسط والبزار بنحوه
بأسانيد وفيه زيد العمى وقد وثقه غير واحد وضعفه الجمهور وبقية رجال أحد إسنادي
الطبراني ثقات وفي بعضهم خلاف مجمع
الزوائد 10/ 145)
"Diriwayatkan
dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah Saw jika selesai dari salatnya, beliau
mengusap kepalanya (dalam riwayat lain keningnya/jabhat) dengan tangan kanannya
dan berdoa 'Bismillahi alladzi Laa ilaaha illaa huwa ar-Rahmaanu ar-Rahiimu.
Allahumma adzhib 'anni al-hamma wa al-hazana (Dengan nama Allah yang maha
pengasih lagi maha penyayang. Ya Allah hilangkan dari saya kesedihan dan
kesusahan)"
Al-Hafidz al-Haitsami berkata: HR
ath-Thabrani dalam al-Ausath dan al-Bazzar. Sebagian perawinya dinilai
terpercaya dan dlaif, perawi lainnya terpercaya. Seandainya pun hadis ini
dlaif, maka sesuai kesepakatan ulama ahli hadis bahwa hadis dlaif boleh
diamalkan dalam keutamaan amal.
Sedangkan bersalaman setelah salat
berdasarkan hadis:
وَعَنْ أَبِي جُحَيْفَةَ قَالَ خَرَجَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْهَاجِرَةِ إِلَى الْبَطْحَاءِ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ صَلَّى
الظُّهْرَ رَكْعَتَيْنِ، وَالْعَصْرَ رَكْعَتَيْنِ، وَبَيْنَ يَدَيْهِ عَنَزَةٌ
... وَقَامَ النَّاسُ فَجَعَلُوا يَأْخُذُونَ يَدَيْهِ ، فَيَمْسَحُونَ بِهَا
وُجُوهَهُمْ، قَالَ فَأَخَذْتُ بِيَدِهِ، فَوَضَعْتُهَا عَلَى وَجْهِى، فَإِذَا
هِىَ أَبْرَدُ مِنَ الثَّلْجِ، وَأَطْيَبُ رَائِحَةً مِنَ الْمِسْكِ (رواه أحمد
والبخاري)
"Diriwayatkan
dari Abu Juhaifah bahwa Rasulullah Saw keluar dari pada siang hari yang sangat
panas menuju Bathha', kemudian berwudlu', salat Dzuhur 2 rakaat dan Ashar 2
rakaat dan dihadapan beliau ada tongkat (sebagai sutrah/pembatas). Kemudian
Rasulullah Saw berdiri, dan orang-orang memegang tangan beliau (bersalaman) dan
meletakkan tangan beliau ke wajah mereka. Saya (Abu Juhaifah) juga
melakukannya. Ternyata tangan beliau lebih sejuk daripada salju dan lebih harum
daripada minyak misik" (HR al-Bukhari No 3289 dan Ahmad No
18789. Dalam riwayat lain para sahabat bersalaman dengan Rasulullah Saw setelah
salat Subuh, HR Ahmad No 17513 dari Yazid bin Aswad)
Al-Hafidz Ibnu Hajar mengutip pendapat
para ulama:
قَالَ النَّوَوِيّ: وَأَمَّا تَخْصِيصُ
الْمُصَافَحَةِ بِمَا بَعْد صَلَاتَيْ الصُّبْحِ وَالْعَصْرِ فَقَدْ مَثَّلَ
اِبْنُ عَبْدِ السَّلَامِ فِي "الْقَوَاعِدِ" الْبِدْعَةَ الْمُبَاحَةَ
مِنْهَا. قَالَ النَّوَوِيّ: وَأَصْلُ الْمُصَافَحَة سُنَّةٌ، وَكَوْنُهمْ
حَافَظُوا عَلَيْهَا فِي بَعْضِ الْأَحْوَال لَا يُخْرِجُ ذَلِكَ عَنْ أَصْلِ
السُّنَّةِ (فتح الباري لابن حجر - ج 17 / ص 498)
“An-Nawawi
berkata: Penentuan bersalaman setelah salat Subuh dan Ashar digolongkan oleh
Ibnu Abdissalam seabagai bid’ah yang diperbolehkan. An-Nawawi berkata: Pada
dasarnya bersalaman adalah sunah. Mereka melakukan salaman pada waktu-waktu
tertentu tidaklah sampai menyimpang dari sunah”
(Fath al-Baari 17/498)
2. Salat
Sunah Berjamaah
Pertanyaan:
-
Bagaimana hukumnya melakukan salat Witir secara
berjamaah setelah Isya’? Hamba Allah, Sby.
-
Bolehkah salat Dluha berjamaah dalam hukum fikih?
Ir. Budin, Sby
Jawaban:
Pada
dasarnya salat sunah ada dua, yaitu (1) yang sunah berjemaah, seperti hari
raya, tarawih dan sebagainya, ada pula (2) yang tidak sunah berjamaah, seperti
dluha, witir, tasbih dan lainnya. Namun diperbolehkan melakukan secara
berjemaah, berdasarkan hadis-hadis sahih.
Dari
Ibnu Abbas, ia berkata bahwa ia menginap di rumah Maimunah (istri Nabi) bersama
Nabi Muhammad. Di tengah malam beliau bangun, berwudlu dan salat, Ibnu Abbas
juga turut melakukan hal itu, kemudian salat di sebelah belakang Rasulullah
sebanyak 13 rakaat (HR al-Bukhari 4/163)
Al-Hafidz
Ibnu Hajar berkata:
وَفِيْهِ مَشْرُوْعِيَّةُ الْجَمَاعَةِ فِي
النَّافِلَةِ وَالِاِئْتِمَامُ بِمَنْ لَمْ يَنْوِ الْإِمَامَةَ وَبَيَانُ
مَوْقِفِ الْإِمَامِ وَالْمَأْمُوْمِ (فتح الباري لابن حجر ج 3 / ص 421)
“Hadis ini adalah dalil disyariatkannya salat berjamaah dalam
salat sunah”
(Fath al-Bari 3/421)
Sedangkan
dalam riwayat sahih Muslim, secara tegas Imam Muslim menulis Bab
“Diperbolehkannya salat berjamaah dalam salat sunah”. Kemudian beliau banyak
menampilkan hadis, diantaranya:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ دَخَلَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْنَا وَمَا هُوَ إِلاَّ أَنَا وَأُمِّى وَأُمُّ حَرَامٍ
خَالَتِى فَقَالَ «قُوْمُوْا فَلأُصَلِّىَ بِكُمْ». فِى غَيْرِ وَقْتِ صَلاَةٍ
فَصَلَّى بِنَا. فَقَالَ رَجُلٌ لِثَابِتٍ أَيْنَ جَعَلَ أَنَسًا مِنْهُ قَالَ
جَعَلَهُ عَلَى يَمِيْنِهِ. ثُمَّ دَعَا لَنَا أَهْلَ الْبَيْتِ بِكُلِّ خَيْرٍ
مِنْ خَيْرِ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ فَقَالَتْ أُمِّى يَا رَسُولَ اللهِ
خُوَيْدِمُكَ ادْعُ اللهَ لَهُ. قَالَ فَدَعَا لِى بِكُلِّ خَيْرٍ وَكَانَ فِى
آخِرِ مَا دَعَا لِى بِهِ أَنْ قَالَ «اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ وَبَارِكْ
لَهُ فِيهِ» (رواه مسلم رقم 1533)
“Anas bin Malik berkata “Rasulullah datang kepada kami, yaitu
saya, ibu saya dan Ummi Haram bibi saya. Rasulullah bersabda: Bangunlah, saya
akan salat dengan kalian. (Anas berkata) Sementara saat itu bukan waktunya
salat (wajib).”
(HR Muslim No 1533)
Namun
harus diupayakan masyarakat memahami bahwa salat sunah ini disyariatkan secara
sediri-sendiri. Jika kemudian ada anggapan bahwa salat sunah witir, dluha,
tasbih dan sebagainya harus dilakukan berjamaah, maka hukumnya diharamkan
(Bughyat al-Mustarsyidin 137)
(مسألة : ب ك) : تُبَاحُ الْجَمَاعَةُ فِي نَحْوِ الْوِتْرِ
وَالتَّسْبِيْحِ فَلاَ كَرَاهَةَ فِي ذَلِكَ وَلاَ ثَوَابَ، نَعَمْ إِنْ قَصَدَ
تَعْلِيْمَ الْمُصَلِّيْنَ وَتَحْرِيْضَهُمْ كَانَ لَهُ ثَوَابٌ وَأَيُّ ثَوَابٍ
بِالنِّيَّةِ الْحَسَنَةِ، فَكَمَا يُبَاحُ الْجَهْرُ فِي مَوْضِعِ اْلإِسْرَارِ
الَّذِي هُوَ مَكْرُوْهٌ لِلتَّعْلِيْمِ فَأَوْلَى مَا أَصْلُهُ اْلإِبَاحَةُ
وَكَمَا يُثَابُ فِي الْمُبَاحَاتِ إِذَا قُصِدَ بِهَا الْقُرْبَةُ كَالتَّقَوِّي
بِاْلأَكْلِ عَلَى الطَّاعَةِ، هَذَا إِذَا لَمْ يَقْتَرِنْ بِذَلِكَ مَحْذُوْرٌ
كَنَحْوِ إِيْذَاءٍ أَوِ اعْتِقَادِ الْعَامَّةِ مَشْرُوْعِيَّةَ الْجَمَاعَةِ
وَإِلاَّ فَلاَ ثَوَابَ بَلْ يَحْرُمُ وَيُمْنَعُ مِنْهَا (بغية المسترشدين 1 /
137)
“Diperbolehkan salat berjamaah
dalam salat witir dan tasbih, tidak makruh dan tidak dapat pahala, kecuali jika
bertujuan mengajarkan orang yang salat dan memberi dorongan kepada mereka untuk
melakukannya, maka mendapatkan pahala karena niat yang baik. Hal ini
sebagaimana mengeraskan bacaan salat saat waktu salat yang lirih (Dzuhur-Ashar)
yang hukumnya makruh karena mengajarkan, maka lebih utama lagi yang asalnya
adalah mubah (boleh), dan sebagaimana melakukan hal-hal yang mubah mendapatkan
pahala jika diniati ibadah seperti makan dengan tujuan untuk melakukan ketaatan
kepada Allah. Hukum ini selama tidak berdampak kepada yang lain, misalnya
menyakiti orang lain maupun adanya keyakinan orang awam bahwa salat tersebut
disyariatkan secara berjamaah. Kalau sampai mengarah seperti itu maka tidak
dapat pahala, bahkan diharamkan dan harus dicegah” (Bughyah 1/137)
3. Menggerakkan
Telunjuk Saat Tasyahhud?
Pertanyaan:
Bagaimanakah
hukum menggerak-gerakkan jari telunjuk saat salat (Tasyahhud)? Rony, Sby
Jawaban:
Dalam
hadis sahih riwayat
Imam Muslim mengenai tatacara tangan
saat tasyahhud adalah meletakkan tangan kanan di atas lutut kanan dengan
menggenggam tangan (seperti saat tasyahhud pada umumnya), kemudian Rasulullah
berisyarat dengan jari telunjuknya.
Namun
ada riwayat an-Nasai (1251) dari sahabat Abu Wail yang melihat Rasulullah Saw
menggerakkan jarinya tersebut saat Tasyahhud:
عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ قَالَ قُلْتُ لَأَنْظُرَنَّ إِلَى صَلَاةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَيْفَ يُصَلِّي …وَحَلَّقَ حَلْقَةً ثُمَّ
رَفَعَ أُصْبُعَهُ فَرَأَيْتُهُ يُحَرِّكُهَا (رواه النسائي رقم 1251)
“Wail bin Juhr berkata: Sungguh
saya melihat salat Rasulullah… Dan Rasulullah menggenggam tangannya kemudian
mengangkat jarinya, saya melihat Rasulullah menggerakkan jarinya” (HR an-Nasai No 1251)
Sementara
dari sahabat Ibnu Zubair yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan an-Nasai
mengatakan bahwa Rasulullah Saw tidak menggerakkan jarinya.
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ الزُّبَيْرِ أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُشِيرُ بِأُصْبُعِهِ إِذَا دَعَا وَلاَ يُحَرِّكُهَا (رواه
النسائي رقم 1253 وابو داود رقم 839)
“Rasulullah berisyarah dengan
jarinya saat tahiyat dan tidak menggerakkannya” (HR an-Nasai No 1251 dan Abu
Dawud No 839)
Dari
dua hadis yang seolah bertentangan ini, ahli hadis al-Baihaqi mencoba memadukan
makna keduanya: "Bisa jadi yang dimaksud 'menggerakkan tangan' adalah
berisyarat dengan mengangkat telunjuk, bukan menggerakkan dalam arti diulang-ulang" (Aun al-Ma'bud
Syarah
Sunan Abi Dawud, 2/305)
Kendatipun
demikian, Imam Malik tetap memilih hadis Abu Wail dan menganjurkan menggerakkan
jari telunjuk sejak awal tasyahhud. Sementara menurut Imam Hanafi mengangkat
telunjuk disunnahkan saat mengucap-kan 'Laa' dari kalimat Syahadat tanpa
menggerakkannya. Imam Syafii menganjurkan mengangkat jari saat mengucap 'illa
Allah' sebagai isyarat mengesakan Allah dengan 1 jari telunjuk dan tidak
digerakkan sampai selesai salat. (Fatawa al-Azhar 9/23)
Mengapa
mengangkat jari telunjuk saat membaca syahadat?
وَمَوْضِعُ اْلإِشَارَةِ عِنْدَ قَوْلِهِ
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ لِمَا رَوَاهُ الْبَيْهَقِي مِنْ فِعْلِ النَّبِيِّ
وَيَنْوِي بِاْلإِشَارَةِ التَّوْحِيْدَ وَاْلإِخْلاَصَ فِيْهِ فَيَكُوْنُ
جَامِعًا فِي التَّوْحِيْدِ بَيْنَ الْفِعْلِ وَالْقَوْلِ وَاْلاِعْتِقَادِ
وَلِذَلِكَ نَهَي النَّبِي عَنِ اْلإِشَارَةِ بْالإِصْبَعَيْنِ (عون
المعبود 2/ 305)
“Al-Baihaqi meriwayatkan dari
Rasulullah Saw tentang waktu mengangkat telunjuk adalah ketika mengucapkan
kalimat Syahadat, dan berniat sebagai isyarat Tauhid dan Ikhlas beribadah
kepada Allah”.
(Aun al-Ma'bud Syarah Sunan Abi Dawud, 2/305)
4. Berdoa
Dengan Mengangkat Kedua Tangan
Pertanyaan:
Bagaimanakah
hukumnya berdoa dengan mengangkat kedua tangan lalu mengusapkannya ke wajah,
baik setelah salat ataupun selain salat? Ali Ridla, Madura.
Jawaban:
Ada dua penjelasan hadis dalam
masalah ini, yaitu hadis secara umum dan khusus. Penjelasan hadis secara umum
adalah sabda Rasulullah Saw:
عَنْ سَلْمَانَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ رَبَّكُمْ تَبَارَكَ وَتَعَالَى حَيِيٌّ كَرِيمٌ
يَسْتَحْيِي مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ إِلَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا
صِفْرًا (رواه أبو داود رقم 1273 والحاكم رقم 1831 وابن ماجه رقم 3855 والترمذى
رقم 3479 وحسنه)
"Sesungguhnya Allah Dzat yang maha hidup nan mulia. Allah
malu dari hambanya yang mengangkat kedua tangannya (meminta) kepada-Nya untuk
menolak permintaannya"
(HR Abu Dawud No 1273, Ibnu Majah No 3855, al-Hakim No 1831 dan Turmudzi No
3497, ia menilainya hasan). Juga sebuah hadis:
وَعَنْ سَلْمَانَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا رَفَعَ قَوْمٌ
أَكُفَّهُمْ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ يَسْأَلُوْنَهُ شَيْئًا إِلاَّ كَانَ
حَقًّا عَلَى اللهِ أَنْ يَضَعَ فِي أَيْدِيْهِمْ الَّذِي سَأَلُوْا (رواه
الطبراني في الكبير رقم 6142 قلت : له حديث في السنن غير هذا رواه الطبراني ورجاله
رجال الصحيح (مجمع الزوائد 10/ 265)
"Tidak ada satu kaum yang mengangkat tangannya kepada Allah
meminta sesuatu kepada-Nya kecuali menjadi kewajiban bagi Allah untuk mengabulkannya" (HR Thabrani dalam al-Kabir No
6142, al-Hafidz al-Haitsami berkata:
"perawinya adalah perawi
sahih")
Hadis
yang secara khusus setelah salat:
وَعَنْ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي يَحْيَى قَالَ
رَأَيْتُ عَبْدَ اللهِ بْنَ الزُّبَيْرِ وَرَأَى رَجُلاً رَافِعًا يَدَيْهِ
يَدْعُوْ قَبْلَ أَنْ يَفْرُغَ مِنْ صَلاَتِهِ فَلَمَّا فَرَغَ مِنْهَا قَالَ
إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَكُنْ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْ صَلاَتِهِ
(رواه الطبراني وترجم له فقال: محمد بن أبي يحيى الأسلمي عن عبد الله بن الزبير
ورجاله ثقات) مجمع الزوائد (10/ 266)
“Diriwayatkan bahwa Abdullah bin Zubair melihat seseorang yang
mengangkat kedua tangannya berdoa sebelum selesai dari salat. Setelah selesai
Abdullah bin Zubair berkata: "Sesungguhnya Rasulullah Saw tidak mengangkat
kedua tangannya hingga selesai dari salatnya” (HR Thabrani, al-Hafidz al-Haitsami berkata:
"Para perawinya terpercaya")
Adapun
mengusap wajah:
عَنْ عُمَرَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَدَّ يَدَيْهِ فِى الدُّعَاءِ لَمْ يَرُدَّهُمَا حَتَّى
يَمْسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ " (قال الحافظ فى "البلوغ" 1 / 312:
أخرجه الترمذى و له شواهد منها: حديث ابن عباس عند أبى داود وغيره ومجموعها يقضى
بأنه حديث حسن اهـ روضة المحدثين 9/ 465)
“Diriwayatkan dari Sayidina Umar bahwa bila Rasulullah Saw
mengangkat kedua tangannya dalam berdoa, maka beliau tidak mengembalikannya
hingga mengusap wajahnya dengan kedua tangannya” (HR Turmudzi, al-Hafidz Ibnu
Hajar dan al-Hafidz as-Suyuthi menilainya hasan)
Dengan
demikian, hukumnya adalah sunah.
5. Berdoa
Dengan Syair Arab
Pertanyaan:
Benarkah
berdoa dengan menggunakan syair dilarang? Misalnya syair yang telah masyhur:
“ilaahii lastu lil firdausi ahlaa”, dan sebagainya. Sebab saya pernah membaca
tabloid/majalah yang melarang baca doa dalam syair. A Rahman, Sby
Jawaban:
Berdoa
dengan menggunakan syair telah diamalkan oleh Rasulullah Saw. Misalnya doa Nabi
yang bersajak:
وَاللهِ لَوْلاَ أَنْتَ مَا اهْتَدَيْنَا * وَلاَ تَصَدَّقْنَا وَلاَ صَلَّيْنَا
فَأَنْزِلَنْ سَكِينَةً عَلَيْنَا * إِنَّ الأُلَى قَدْ أَبَوْا عَلَيْنَا
وَيَرْفَعُ بِهَا صَوْتَهُ (رواه البخاري
رقم 2837 ومسلم رقم 4771)
“Demi
Allah, tanpa-Mu kami tak akan dapat hidayah, kami takkan bisa bersedekah dan
tidak bisa salat * Maka turunkan ketenangan kepada kami
* Orang-orang terdahulu telah menolak kami” (HR al-Bukhari No 2837 dan Muslim No 4771) Bahkan
dalam riwayat Muslim ada tambahan “Rasulullah mengeraskan suaranya (dengan doa
syair tersebut)”
Dalam
hadis lain, saat perang Khandaq para sahabat Muhajirin dan Anshar menggali
tanah di sekitar Madinah, mereka bersyair:
نَحْنُ الَّذِينَ بَايَعُوا مُحَمَّدًا % عَلَى الإِسْلاَمِ مَا بَقِينَا أَبَدًا
“Kami adalah orang yang telah berbai’at
kepada Muhammad dalam Islam, selama kami yakin, selamanya”.
Kemudian
Rasulullah menjawab dengan doa syair yang bersajak:
اللَّهُمَّ إِنَّ الْخَيْرَ خَيْرُ
الآخِرَهْ % فَاغْفِرْ لِلأَنْصَارِ وَالْمُهَاجِرَهْ
“Ya Allah, tidak ada kebaikan
kecuali kebaikan akhirat * Maka ampunilah kaum Anshar dan orang yang hijrah” (HR al-Bukhari No 2835 dan
Muslim No 4777)
Hadis-hadis
diatas menunjukkan tidak dilarangnya berdoa dengan syair dan sajak. Larangan
dalam berdoa meliputi: “Doa yang tergesa-gesa, doa yang isinya dosa dan doa
untuk memutus kekerabatan” (HR Muslim No 2735)
Oleh
karenanya, para sahabat dan ulama banyak mengarang syair dan sajak yang di
dalamnya dimuat doa-doa, pujian, salawat, tawassul dan sebagainya.
6.
Kata 'Sayidina' dalam Tahiyat
Pertanyaan:
Apakah benar dalam tahiyatul
akhir seperti ini: "Allahumma shalli ala saydina Muhammad wa ala ali
sayidina Muhammad, kama shallaita ala sayidina…" Tolong
dijelaskan karena saya masih bingung. Terimakasih. Rusdin,
Surabaya.
Jawaban:
Dalam tahiyat
(atau shalawat) yang diajarkan oleh
Rasulullah Saw memang tidak ada lafadz 'Sayidina'. Namun
penambahan tersebut
bukan berarti tidak boleh.
Dalam
hadis-hadis sahih Rasulullah Saw mengaku bahwa beliau adalah sayid. Yaitu:
اَنَا
سَيِّدُ وَلَدِ اَدَمَ وَلاَ فَخْرَ (رواه مسلم والترمذي)
“Saya adalah sayid (pemuka) putra Adam di hari kiamat, dan tidak
sombong” (HR
Muslim, Turmudzi dan lainya).
Dalam
hadis Bukhari diriwayatkan bahwa
عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ الزُّرَقِيِّ
قَالَ كُنَّا يَوْمًا نُصَلِّي وَرَاءَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرَّكْعَةِ قَالَ سَمِعَ اللهُ
لِمَنْ حَمِدَهُ قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا
كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ مَنْ الْمُتَكَلِّمُ
قَالَ أَنَا قَالَ رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلَاثِينَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا
أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلُ (رواه البخاري 757)
"Seorang sahabat di
dalam salat menambah bacaan Rabbana wa laka al-hamdu… Selesai salat Nabi
bertanya: "Siapa yang mengucapkan kalimat tadi?" Orang itu menjawab:
"Saya". Nabi bersabda: "Saya melihat ada 30 malaikat lebih yang
bergegas mencatatnya" (HR Bukari No 757)
Dari
hadis ini ahli hadis al Hafidz Ibnu Hajar berkata:
وَاسْتُدِلَّ بِهِ عَلَى جَوَازِ إِحْدَاثِ
ذِكْرٍ فِي الصَّلاَةِ غَيْرِ مَأْثُوْرٍ إِذَا كَانَ غَيْرَ مُخَالِفٍ لِلْمَأْثُوْرِ
وَعَلَى جَوَازِ رَفْعِ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ مَا لَمْ يُشَوِّشْ عَلَى مَنْ
مَعَهُ (فتح الباري لابن حجر 2/287)
"Hadis ini menunjukkan diperbolehkannya menambah bacaan
yang tidak ada dalam salat, selama bacaan tersebut tidak bertentangan dengan riwayat
dari Nabi"
(Fath al Bari II/287). Dan kita ketahui kata 'Sayid' ada dalam hadis-hadis
Nabi.
Dalil
lainnya adalah bacaan syahadat dalam tasyahhud oleh Ibnu Umar ditambah:
عَنْ مُجَاهِدٍ يُحَدِّثُ عَنْ ابْنِ
عُمَرَ (فِى التَّشَهُّدِ) أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ قَالَ ابْنُ
عُمَرَ زِدْتُ فِيهَا وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا
عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ (رواه أبو داود رقم 973)
"Dalam kalimat
Syahadat salat, Ibnu Umar berkata: Saya tambahkan bacaan Wahdahu la syarika
lahu…" (Abu Dawud 826. Bahkan dinilai sahih oleh
Albani)
Dengan
demikian diperbolehkan menambah kata 'Sayidina' dalam tasyahhud sebagai bentuk
menjaga etika kepada Rasulullah Saw (Ianatut Thalibin I/197)
وَقَوْلُهُ: وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ
اللهِ اْلاَوْلَى ذِكْرُ السِّيَادَةِ، ِلاَنَّ اْلاَفْضَلَ سُلُوْكُ اْلاَدَبِ
(حاشية إعانة الطالبين 1 / 198)
7. Dalil Qunut Salat Subuh
Pertanyaan:
Sebagai orang Nahdliyin yang masih awam
kami masih belum bisa memberi jawaban yang tepat ketika ada yang bertanya
apakah dasar hukum (hadis) baca qunut dalam salat Subuh? yang kami tahu di
madzhab Syafii baca qunut hukumnya
sunah
saat salat Subuh. Mohon
penjelasannya. Terima kasih.
"Al-Fath" Surabaya.
Jawaban:
Dasar ulama madzhab Syafiiyah tentang
Qunut adalah hadis berikut:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ مَا زَالَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ
حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا (رواه أحمد والدارقطني)
“Diriwayatkan dari
Anas Ibn Malik. Beliau berkata, “Rasulullah Saw senantiasa membaca qunut ketika
shalat subuh sehingga beliau wafat.” (Musnad Ahmad bin Hanbal, juz III,
hal. 162 [12679], Sunan al-Daraquthni, juz II, hal. 39 [9]).
Sanad hadits ini shahih sehingga dapat
dijadikan pedoman. Imam Nawawi
di dalam kitab al-Majmu’ menegaskan:
حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ رَوَاهُ جَمَاعَةٌ مِنَ
الْحُفَّاظِ وَصَحَّحُوْهُ وَمِمَّنْ نَصَّ عَلَى صِحَّتِهِ اْلحَافِظُ أَبُوْ
عَبْدِ اللهِ مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍ الْبَلْخِي، وَالْحَاكِمُ أَبُوْ عَبْدِ اللهِ
فِي مَوَاضِعَ مِنْ كُتُبِ الْبَيْهَقِي وَرَوَاهُ الدَّارَقُطْنِي مِنْ طُرُقٍ
بِأَسَانِيْدَ صَحِيْحَةٍ (المجموع ج 3 ص 504)
“Hadits tersebut
adalah shahih. Diriwayatkan oleh banyak ahli hadits dan mereka kemudian
menyatakan kesahihannya. Di antara orang yang menshahihkannya adalah al-Hafizh Abu
Abdillah Muhammad bin Ali al-Balkhi serta al-Hakim Abu Abdillah di dalam
beberapa tempat di dalam kitab al-Baihaqi. Al-Daraquthni juga meriwayatkannya
dari berbagai jalur sanad yang shahih.”
(Al-Majmu’, juz III, hal. 504).
Tidak hanya
madzhab Syafii, madzhab Maliki pun menghukumi Qunut tersebut sebagai mustahab
(dianjurkan). Sedangkan ulama Hanafiyah dan Hanabilah tidak memperbolehkan
membaca Qunut saat salat Subuh dengan dalil hadis riwayat Ibnu Hibban dan Ibnu
Khuzaimah (Fatawa al-Azhar V/9). Dengan demikian, ulama yang menghukumi sunah
atau yang tidak, kesemuanya memiliki dalil dari hadis.
8. Meng-qadla’
Salat Mayit
Pertanyaan:
Adakah
dalil Al Quran yang menerangkan meng-qadha’ shalat yang ditinggalkan oleh si
mayit? Suhaili, Sby
Jawaban:
Tidak
ditemukan dalil Al Quran tentang mengqadha’ shalat yang ditinggalkan si mayit.
Akan tetapi penegasan hadits tentang qadha’ atas puasa yang berbunyi:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ وَعَلَيْهَا
صَوْمُ شَهْرٍ أَفَأَقْضِيهِ عَنْهَا قَالَ «نَعَمْ قَالَ فَدَيْنُ اللهِ أَحَقُّ
أَنْ يُقْضَى» (رواه البخارى رقم 1953 ومسلم
رقم 2750)
“Ada seseorang datang kepada
Rasulullah Saw, ia berkata: Wahai Rasulullah, ibu saya meninggal dan punya
tanggungan puasa 1 bulan, apakah saya meng-qadla’ atas nama beliau? Rasulullah
menjawab: “Ya. Dan hutang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan” (HR Bukhari 1953 dan Muslim
2750 dari Ibnu Abbas)
Hadis
ini kemudian diperluas kandungannya oleh Imam Syafi’i dalam qaul qadim (Madzhab
terdahulu ketika di Baghdad)
mencakup pada shalat-shalat yang ditinggalkan, karena shalat juga termasuk haqqullah.
(فَائِدَةٌ) مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صَلاَةٌ فَلاَ قَضَاءَ وَلاَ
فِدْيَةَ. وَفِي قَوْلٍ -كَجَمْعٍ
مُجْتَهِدِيْنَ- أَنَّهَا تُقْضَى عَنْهُ لِخَبَرِ الْبُخَارِي وَغَيْرِهِ، وَمِنْ
ثَمَّ اخْتَارَهُ جَمْعٌ مِنْ أَئِمَّتِنَا، وَفَعَلَ بِهِ السُّبْكِي عَنْ بَعْضِ
أَقَارِبِهِ. وَنَقَلَ ابْنُ بُرْهَانٍ
عَنِ الْقَدِيْمِ أَنَّهُ يَلْزَمُ الْوَلِيَّ إِنْ خَلَفَ تِرْكَةً أَنْ
يُصَلِّىَ عَنْهُ، كَالصَّوْمِ. وَفِي
وَجْهٍ - عَلَيْهِ كَثِيْرُوْنَ مِنْ أَصْحَابِنَا - أَنَّهُ يُطْعَمُ عَنْ كُلِّ
صَلاَةٍ مُدًّا (إعانة الطالبين - ج 1 / ص 33)
“Disebutkan bahwa: "Ibnu
Burhan mengutip
dari qaul qadim, sesungguhnya wajib bagi wali/orang tua jika mati meninggalkan
tirkah (warisan) agar dilakukan shalat sebagai ganti darinya (mengqadha’ shalat
yang ditinggalkan), seperti
halnya puasa” (Syaikh Abu Bakar Syatha,
I’anatu al-Thalibin, Juz I, Hlm. 24).
Pendapat
ini diperkuat oleh ulama Syafi'iyah, bahkan Imam as-Subki melakukan qadla'
salat yang ditinggalkan mayit dari sebagian kerabatnya. Ini adalah amaliyah
yang sudah masyhur di sebagian kalangan masyarakat Indonesia.
Sementara ulama Syafi’iyah
yang lain berpendapat
bahwa
"Salat yang ditinggalkan mayit dapat diganti dengan membayar makanan
sebanyak 1 mud (6 ons) bagi setiap salatnya". Pendapat ini disampaikan
oleh Imam Qaffal. (Itsmid al-'Ainain 59)
Sedangkan
dalam madzhab Hanafiyah disebutkan bahwa ahli waris dapat memberi fidyah atas
salat yang ditinggalkan mayit, jika si mayit berpesan demikian, dan tidak harus
diqadla' (Syaikh Abu Bakar Syatha, I’anatu al-Thalibin, Juz I, Hlm. 24)
9. Larangan
Salat Ba'diyah Ashar dan Shubuh
Pertanyaan:
Apa yang mendasari dilarangnya
salat sunah setelah Ashar? Ahmad, Sby.
Jawaban:
Ibadah
Salat, baik yang wajib maupun sunah, dilakukan secara tasyri' (hal-hal yang
disayriatkan oleh Allah melalui Nabi Muhammad Saw). Salat juga sudah ditentukan
waktu pelaksanaannya, kecuali salat sunah mutlak (seperti salat Hajat, salat
Istikharah, salat Tahiyat al-Masjid dll), maka boleh dilakukan kapan saja.
Namun
khusus salat Ratibah (salat yang mengiringi salat wajib, baik sebelum atau
sesudahnya) yang setelah Ashar atau Shubuh tidaklah diperbolehkan.
Diriwayatkan:
عَنْ عُمَرَ أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ الصَّلاَةِ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَشْرُقَ
الشَّمْسُ، وَبَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُب (رواه أحمد والبخارى ومسلم وابن
ماجه والترمذى والنسائى وأبو داود وابن خزيمة)
“Ada seorang sahabat Nabi Saw
yang setelah Ashar melakukan salat sunah Ba'diyah, maka dimarahi oleh Sayidina
Umar, beliau berkata: "Sesungguhnya Rasulullah Saw melarang salat sunah
setelah Ashar"
(Riwayat Ahmad No 28445)
Larangan
tersebut berdasarkan hadis:
عَنْ عَلِىٍّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يُصَلَّى بَعْدِ
الْعَصْرِ إلاَّ أَنْ تَكُونَ الشَّمْسُ بَيْضَاءَ مُرْتَفِعَةً (رواه أحمد وأبو
داود والبيهقى عن على)
"Janganlah salat setelah
Ashar kecuali jika kamu salat sementara matahari telah tinggi (maksudnya tenggelam
/ Maghrib)"
(HR Ahmad No 610 dan Abu Dawud No 1274, hadis ini juga banyak memiliki jalur
riwayat)
Apa
alasannya? Rasulullah Saw bersabda
لاَ تُصَلُّوا عِنْدَ طُلُوعِ الشَّمْسِ
فَإِنَّهَا تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَىْ شَيْطَانٍ وَيَسْجُدُ لَهَا كُلُّ كَافِرٍ
وَلاَ عِنْدَ غُرُوبِهَا فَإِنَّهَا تَغْرُبُ بَيْنَ قَرْنَىْ شَيْطَانٍ
وَيَسْجُدُ لَهَا كُلُّ كَافِرٍ (أخرجه أحمد رقم 20181 وابن خزيمة رقم 1274)
"Janganlah salat ketika
terbit matahari (setelah Shubuh), Sebab matahari terbit diantara dua tanduk syetan
dan setiap orang kafir sujud kepadanya. Dan jangan salat ketika tenggelam
matahari (setelah Ahar). Sebab matahari terbenam diantara dua tanduk syetan dan
setiap orang kafir sujud kepadanya" (HR Ahmad No 20181, Ibnu Khuzaimah No 1274, dan
diriwayatkan melalui banyak jalur). Wallahu A'lam.
10. Dzikir Suara Keras
Dalil mengeraskan dzikir setelah salat berdasarkan
riwayat Ibnu Abbas berikut ini:
اِنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِيْنَ
يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوْبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوْا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ (رواه البخاري)
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوْا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ (رواه البخاري)
”Sesungguhnya mengeraskan (bacaan) dzikir setelah para sahabat
selesai melakukan salat wajib sudah ada sejak masa Nabi Muhammad Saw.” Ibnu
Abbas berkata: “Saya mengetahui yang demikian setelah mereka melakukan salat
wajib dan
saya mendengarnya” HR
Bukhari No 796, Muslim No 919, Ahmad No 3298, dan Ibnu Khuzaimah No 1613.
Riwayat Ibnu Abbas ini juga diperkuat oleh sahabat Abdullah bin Zubair, ia
berkata: "Rasulullah Saw mengeraskan (yuhallilu) kalimat-kalimat
dzikirnya setiap selesai salat" (Sahih Muslim No 1372, Ahmad No 16150 dan
al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra No 3135)
Dari hadis ini Imam Nawawi
berkata:
هَذَا دَلِيْلٌ لِمَا قَالَهُ بَعْضُ
السَّلَفِ أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ رَفْعُ الصَّوْتِ بِالتَّكْبِيْرِ وَالذِّكْرِ
عَقِبَ الْمَكْتُوْبَةِ (شرح النووي على مسلم 2 / 360)
"Riwayat
ini adalah dalil sebagian ulama salaf mengenai disunahkannya mengeraskan suara
bacaan takbir dan dzikir setelah salat wajib" (Syarah Sahih Muslim
II/260). Al-Mubarakfuri berkata: "Anjuran mengeraskan suara dengan takbir
dan dzikir setelah setiap salat wajib adalah pendapat yang unggul (rajih)
menurut saya, berdasarkan riwayat Ibnu Abbas diatas"
(Syarah Misykat al-Mashabih III/315)
11. Mengeraskan Basmalah
Pertanyaan:
Kuatkah dalil tentang mengeraskan bacaan
Bismillah saat salat? (MWC NU Gubeng)
Jawaban:
Bagi kita yang membaca Basmalah dengan suara
keras dalam al-Fatihah adalah berdasarkan riwayat Imam Syafii dari Ibu Abbas:
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) وَبَلَغَنِي أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ يَقُوْلُ إنَّ رَسُولَ اللهِ عَهْدِ النَّبِيِّصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَفْتَتِحُ الْقِرَاءَةَ بِبِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ
الرَّحِيمِ (الأم 1/ 107)
“Imam
Syafii meriwayatkan hadis dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah Saw mengawali bacaan
dengan Bismillah” (al-Umm 1/107)
Terkait status riwayat ini dinilai sahih oleh
banyak ulama:
وَعَن أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَرَأْتُمْ الْحَمْدَ فَأْقَرُؤْا بِسْمِ الله الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ إِنَّهَا أُمُّ الْقُرْآنِ وَأُمُّ الْكِتَابِ وَالسَّبْعُ الْمَثَانِي وَبِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ إِحْدَى آيَاتِهَا رَوَاهُ الدَّارُقُطْنِي بِإِسْنَادِ كُلٍّ رِجَالُهُ ثِقَاتٌ لاَ جَرَمَ ذَكَرَهُ ابْنُ السَّكَنِ فِي سُنَنِهِ الصِّحَاحِ (تحفة المحتاج إلى أدلة المنهاج لابن الملقن 1/ 292)
“Dari Abu Hurairah, Rasulullah
Saw bersabda: Jika kalian membaca Hamdalah maka bacalah Bismillah, sebab
Bismillah adalah induk al-Quran dan al-Kitab, dan 7 ayat yang diualng-ulang.
Bismillah adalah salah satu ayat al-Fatihah”. HR daruquthni, sanad semuanya
terpercaya, apalagi Ibnu Sakan memasukkannya dalam kitab sahihnya” (Tuhfah, Ibnu Mulaqqin 1/292)
12. Doa
Ruku’ dan Sujud
Pertanyaan:
Ketika
kami melakukan salat, bacaan dalam ruku' dan sujud ada tambahan lafadz 'wa
bi hamdihi'. Kemudian ada yang menyalahkan bahwa katanya lafadz tersebut
tidak ada dalam hadis dan hanya ada dalam kitab-kitab kuning. Benarkah demikian
dalam keterangan ilmu fikih? Terima kasih. Abdul Mujib Sby
Jawaban:
Bacaan dalam ruku' dan sujud ada dua
riwayat dari
Rasulullah
Saw, sama seperti bacaan iftitah. Dalam beberapa riwayat seperti Imam Bukhari
dan Muslim berupa "Subhana Rabbi al-'Adzimi" dan "Subhana
Rabbiya al-A'la" tanpa ada lafadz 'Wa bi hamdihi'. Namun dalam
riwayat lain ada tambahan lafadz 'Wa bi hamdihi', seperti dalam Sunan
Abu Dawud No 870 Sunan Daruquthni No 1308, dll.
زَادَ عُقْبَةُ
بْنِ عَامِرٍ قَالَ فَكَانَ رَسُولُ اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى اللهُ إِذَا رَكَعَ قَالَ سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيمِ وَبِحَمْدِهِ
ثَلَاثًا وَإِذَا سَجَدَ قَالَ سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى وَبِحَمْدِهِ
ثَلَاثًا (رواه أبو داود رقم 736)
“Uqbah bin Amir menambahkan
bahwa jika Nabi ruku’ membaca Subhana Rabbi al-'Adzimi wa bi hamdihi 3 kali.
Dan sujud membaca Subhana Rabbiya al-A'la wa bi hamdihi 3 kali”
Terkait
penilaian bahwa hadis ini dlaif, maka riwayat ini memiliki banyak jalur. Bahkan
kalimat 'wa bi hamdihi' tercantum dari riwayat sahih dari Aisyah bahwa
Rasulullah Saw selalu memperbanyak doa dalam ruku' dan sujudnya: "Subhanakallahumma
rabbana wa bi hamdika" (Aun al-Ma'bud, Syarah Sunan Abi Dawud III/122)
Syaikh
asy-Syaukani berkata:
وَأَمَّا زِيَادَةُ
"وَبِحَمْدِهِ" فَهِيَ عِنْدَ أَبِي دَاوُدَ مِنْ حَدِيْثِ عُقْبَةَ اْلآتِي
وَعِنْدَ الدَّارِقُطْنِي مِنْ حَدِيْثِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ اْلآتِي أَيْضًا.
وَعِنْدَهُ أَيْضًا مِنْ حَدِيْثِ حُذَيْفَةَ. وَعِنْدَ أَحْمَدَ وَالطَّبْرَانِي
مِنْ حَدِيْثِ أَبِي مَالِكٍ اْلأَشْعَرِي وَعِنْدَ الْحَاكِمِ مِنْ حَدِيْثِ
أَبِي جُحَيْفَةَ وَلَكِنَّهُ قَالَ أَبُوْ دَاوُدَ بَعْدَ إِخْرَاجِهِ لَهَا مِنْ
حَدِيْثِ عُقْبَةَ أَنَّهُ يَخَافُ أَنْ لاَ تَكُوْنَ مَحْفُوْظَةً. وَفِي
حَدِيْثِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ السَّرِيُّ بْنُ إِسْمَاعِيْلَ وَهُوَ ضَعِيْفٌ. وَفِي
حَدِيْثِ حُذَيْفَةَ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى وَهُوَ
ضَعِيْفٌ. وَفِي حَدِيْثِ أَبِي مَالِكٍ شَهْرُ بْنُ حَوْشَبٍ وَقَدْ رَوَاهُ
أَحْمَدُ وَالطَّبْرَانِي أَيْضًا مِنْ طَرِيْقِ ابْنِ السَّعْدِي عَنْ أَبِيْهِ
بِدُوْنِهَا. وَحَدِيْثُ أَبِي جُحَيْفَةَ قَالَ الْحَافِظُ: إِسْنَادُهُ ضَعِيْفٌ
وَقَدْ أَنْكَرَ هَذِهِ الزِّيَادَةَ ابْنُ الصَّلاَحِ وَغَيْرُهُ وَلَكِنْ هَذِهِ
الطُّرُقُ تَتَعَاضَدُ فَيَرُدُّ بِهَا هَذَا اْلإِنْكَارُ (نيل الأوطار 2/ 271)
“Adapun tambahan 'wa bi
hamdihi' terdapat dalam riwayat Abu Dawud dari Uqbah, juga dalam riwayat
Daruquthni dari Ibnu Mas'ud dan Hudzaifah, dalam riwayat Ahmad dan Thabrani
dari Abu Malik al Asy'ari, dalam riwayat al-Hakim dari Abu Juhaifah. Dalam
riwayat-riwayat tersebut ada beberapa perawi dlaif, al-Hafidz Ibnu Hajar
berkata: Ibnu Shalah mengingkari tambahan tersebut, tetapi banyaknya riwayat
tersebut saling menguatkan. Dengan demikian pengingkaran tersebut dapat ditolak
dengan anyaknya riwayat-riwayat di atas” (Nailul Authar,
al-Hafidz Asy-Syaukani, 2/271)
13. Puji-Pujian
Setelah Adzan
Pertanyaan:
Ketika
ada waktu antara adzan dan iqamah biasanya muadzin melantunkan puji-pujian,
syair doa dan sebagainya. Adakah dalil-dalil yang memperbolehkan hal itu? Amri,
Sby
Jawaban:
Memang
ada 2 hal yang kadang dibaca
bersama jelang
iqamat,
yaitu doa atau pujian, seruan mengajak berjamaah dan sebagainya. Terkait dengan
doa yang dibaca, dijelaskan dalam sebuah hadis:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يُرَدُّ الدُّعَاءُ
بَيْنَ الأَذَانِ وَالإِقَامَةِ (رواه أبو داود رقم 521 والنسائي
في "عمل اليوم والليلة" رقم 67 وابن
خزيمة في "صحيحه" رقم 425 ورواه
الترمذي 3594)
“Tidak akan ditolak sebuah doa yang
dibaca antara adzan dan iqamat”
(HR Abu Dawud No 521, dinilai sahih oleh Ibnu Khuzaimah). Pada intinya doa yang
dibaca adalah karena waktu tersebut adalah waktu mustabah.
Sementara melantunkan syair di dalam masjid, apabila
dalam syair tadi mengandung pujian yang benar, petuah-petuah, etika, atau
ilmu-ilmu yang bermanfaat adalah boleh. Seorang sahabat Hassan bin Tsabit telah
benar-benar melantunkan syair-syair pujian kenabian di masjid Madinah di
hadapan Rasulullah Saw dan para sahabat. Berikut riwayatnya:
وَفِي صَحِيْحِ الْبُخَارِيْ اَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ مَرَّ فِي الْمَسْجِدِ وَحَسَّانُ يُنْشِدُ فِيْهِ الشِّعْرَ
فَلَحِظَ اِلَيْهِ فَقَالَ كُنْتُ أُنْشِدُ فِيْهِ وَفِيْهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ
مِنْكَ ثمَّ الْتَفَتَ إِلَى أَبِي هُرَيْرَةَ فَقَالَ أَنْشُدُكَ بِاللهِ
أَسَمِعْتَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
ومسلم رقم 6539) يَقُوْلُ أَجِبْ عَنِّي اللَّهُمَّ أَيِّدْهُ بِرُوْحِ الْقُدُسِ
قَالَ نَعَمْ (رواه البخاري رقم 3212
"Umar
lewat di masjid sementara Hassan membaca syair. Hassan melirik kepadanya dan
berkata: Saya membaca syair di masjid, dan di dalamnya ada orang yang lebih
baik daripada anda. Kemudian Umar menoleh ke Abu Hurairah, lalu bertanya: Saya
bersumpah untukmu demi Allah, apakah kamu mendengar Rasulullah bersabda:
Kabulkan saya, Ya Allah, kokohkan Hassan dengan malaikat Jibril? Abu Hurairah
menjawab: Ya, saya mendengarnya") HR al-Bukhari No 3212 dan Muslim No 6539(
14. Kesahihan
Salat Tasbih
Pertanyaan:
Ketika
salat malam bersama, misalnya mencari malam Laitaul Qadar di bulan Ramadlan,
imam masjid mengajak salat Tasbih berjamaah. Apakan salat Tasbih memiliki dasar?
Jamaah Mushalla Da'watul Anshor, Sby
Jawaban:
Benar,
bahwa salat Tasbih yang sering dilakukan sebagai salat sunah di malam hari
berdasarkan sebuah hadis, dimana Rasulullah mengajarkan salat tersebut kepada
pamannya Abbas bin Abdul Muthallib:
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ بِشْرِ
بْنِ الْحَكَمِ النَّيْسَابُورِىُّ حَدَّثَنَا
مُوسَى بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ حَدَّثَنَا الْحَكَمُ بْنُ أَبَانَ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قالَ لِلْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ « يَا عَبَّاسُ يَا عَمَّاهُ أَلاَ أُعْطِيكَ أَلاَ أَمْنَحُكَ أَلاَ أَحْبُوكَ أَلاَ أَفْعَلُ بِكَ عَشْرَ خِصَالٍ إِذَا أَنْتَ فَعَلْتَ ذَلِكَ غَفَرَ اللَّهُ لَكَ ذَنْبَكَ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ قَدِيمَهُ وَحَدِيثَهُ خَطَأَهُ وَعَمْدَهُ صَغِيرَهُ وَكَبِيرَهُ سِرَّهُ وَعَلاَنِيَتَهُ عَشْرَ خِصَالٍ أَنْ تُصَلِّىَ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ تَقْرَأُ فِى كُلِّ رَكْعَةٍ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ وَسُورَةً فَإِذَا فَرَغْتَ مِنَ الْقِرَاءَةِ فِى أَوَّلِ رَكْعَةٍ وَأَنْتَ قَائِمٌ قُلْتَ سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ خَمْسَ عَشْرَةَ مَرَّةً ثُمَّ تَرْكَعُ فَتَقُولُهَا وَأَنْتَ رَاكِعٌ عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ الرُّكُوعِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَهْوِى سَاجِدًا فَتَقُولُهَا وَأَنْتَ سَاجِدٌ عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ السُّجُودِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَسْجُدُ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ فَتَقُولُهَا عَشْرًا فَذَلِكَ خَمْسٌ وَسَبْعُونَ فِى كُلِّ رَكْعَةٍ تَفْعَلُ ذَلِكَ فِى أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ إِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ تُصَلِّيَهَا فِى كُلِّ يَوْمٍ مَرَّةً فَافْعَلْ فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِى كُلِّ جُمُعَةٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِى كُلِّ شَهْرٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِى كُلِّ سَنَةٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِى عُمُرِكَ مَرَّةً (أخرجه أبو داود (2/29، رقم 1297)، وابن ماجه (1/443، رقم 1387)، وابن خزيمة (2/223، رقم 1216)، والطبرانى (11/243، رقم 11622)، والحاكم (1/463، رقم 1192)، والبيهقى (3/51، رقم 4695)
(Hadis tentang Salat Tasbih
diriwayatkan oleh Abu Dawud No 1297, Ibnu Majah No 1387, Ibnu Khuzaimah No
1216, Thabrani No 11622, al-Hakim No 1192 dan al-Baihaqi No 4690)
Terkait
dengan tuduhan bahwa hadis tentang salat Tasbih adalah hadis palsu, maka
dibantah oleh banyak ulama ahli hadis. Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:
قَالَ الْحَافِظُ أَبُوْ الْفَضْلِ بْنُ
حَجَرٍ فِي كِتَابِ الْخِصَالِ الْمُكَفِّرَةِ لِلذُّنُوْبِ الْمُقَدَّمَةِ
وَالْمُؤَخَّرَةِ أَسَاءَ اِبْنُ الْجَوْزِيّ بِذِكْرِ هَذَا الْحَدِيْثِ فِي
الْمَوْضُوعَاتِ. وَقَوْلُهُ إِنَّ مُوْسَى بْنَ عَبْدِ الْعَزِيْزِ مَجْهُوْلٌ
لَمْ يُصِبْ فِيْهِ فَإِنَّ اِبْنَ مَعِيْنٍ وَالنَّسَائِيَّ وَثَّقَاهُ (عون
المعبود - ج 3 / ص 247)
“Ibnu Jauzi telah berbuat keburukan dengan menilai hadis salat
Tasbih ini sebagai hadis palsu”. Alasan yang dikemukakan oleh Ibnu Jauzi karena
ada perawi bernama Musa bin Abdul Aziz yang dituduh majhul (tidak diketahui).
al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: “Musa bin Abdul Aziz tersebut dinilai oleh Ibnu
Ma'in dan an-Nasai sebagai perawi terpercaya”.
Bahkan
al-Bukhari mencantumkannya dalam kitabnya “al-Qira'ah Khalfa al-Imam”. Imam
Muslim berkata: “Tidak ada riwayat tentang salat Tasbih yang lebih baik
daripada riwayat tersebut”. Az-Zarkasyi berkata:
غَلَطَ اِبْنُ الْجَوْزِيّ بِلَا شَكٍّ فِي
جَعْلِهِ مِنَ الْمَوْضُوعَاتِ؛ لِأَنَّهُ رَوَاهُ مِنْ ثَلَاثَةِ طُرُقٍ
أَحَدُهَا: حَدِيثُ اِبْن عَبَّاسٍ وَهُوَ صَحِيْحٌ وَلَيْسَ بِضَعِيْفٍ فَضْلًا
عَنْ أَنْ يَكُوْنَ مَوْضُوعًا وَغَايَةُ مَا عَلَّلَهُ بِمُوْسَى بْنِ عَبْدِ
الْعَزِيْزِ فَقَالَ مَجْهُوْلٌ وَلَيْسَ كَذَلِكَ، فَقَدْ رَوَى عَنْهُ بِشْرُ
بْن الْحَكَمِ وَابْنُهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ وَإِسْحَاقُ بْنِ أَبِي إِسْرَائِيْلَ
وَزَيْدُ بْنُ الْمُبَارَكِ الصَّنْعَانِيّ وَغَيْرُهمْ. وَقَالَ فِيْهِ اِبْنُ
مَعِيْنٍ وَالنَّسَائِيّ لَيْسَ بِهِ بَأْسٌ وَلَوْ ثَبَتَتْ جَهَالَتُهُ لَمْ
يَلْزَم أَنْ يَكُوْنَ الْحَدِيْثُ مَوْضُوْعًا، مَا لَمْ يَكُنْ فِي إِسْنَادِهِ
مَنْ يُتَّهَمُ بِالْوَضْعِ. وَالطَّرِيقَانِ الْآخَرَانِ فِي كُلٍّ مِنْهُمَا
ضَعِيْفٌ وَلَا يَلْزَمُ مِنْ ضَعْفِهِمَا أَنْ يَكُوْنَ حَدِيثُهُمَا مَوْضُوعًا
اِنْتَهَى (عون المعبود - ج 3 / ص 247)
“Tidak diragukan lagi kesalahan
Ibnu Jauzi yang menilai hadis ini sebagai hadis palsu. Sebab hadis tersebut
memiliki 3 jalur. Jalur pertama adalah dari Ibnu Abbas, ini adalah sahih bukan
dlaif apalagi palsu. Dan 2 jalur riwayat lainnya adalah dlaif, namun bukan
hadis palsu”
(Aun al-Ma'bud Syarah Sunan Abi Dawud 3/247)
Sementara
salat sunah berjamaah pernah dibahas di rubrik ini, yaitu Ibnu Abbas yang
bermakmum salat sunah kepada Rasulullah (HR Bukhari 4/163) dan Anas bermakmum
salat sunah kepada Rasulullah Saw (HR Muslim No 1533). Dengan demikian,
amaliyah salat Tasbih berjamaah sebagai salat sunah mutlak, memiliki landasan
dalil yang dibenarkan dalam Islam.[]
Ditulis oleh : abinadine.blogspot.com ~ Official
Anda sedang membaca postingan tentang Shalat Sunnah Berjama'ah, Menggerakkan Telunjuk, Sayyidina dalam Tahiyyat, Mengqadha' Shalat Mayat. Anda boleh mengcopy paste atau menyebarluaskan postingan ini, namun jangan lupa untuk meletakkan link di bawah ini sebagai sumbernya.
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
ٱلْعَٰلَمِين