Beberapa Persoalan:
1. Mengikuti Thariqat
2. Tawassul dengan Hamba
Pilihan Allah SWT
3. Mencium Tangan Ulama dan
Guru
4. Amalan, Hizib dan Azimat
1. Mengikuti Thariqat
Secara bahasa thariqat berarti jalan, cara, metode,
sistem, madzhab, aliran dan haluan. Sedangkan dalam ilmu
tashawwuf tariqat adalah perjalanan seseorang menuju Allah
SWT dengan cara mensucikan diri. Syaikh Amin al-Kurdi
mengatakan:
اَلطَّرِيْقَةُ هِيَ الْعَمَلُ بِالشَّرِيْعَةِ وَاْلأَخْذُ بِعَزَائِمِهَا وَالْبُعْدُ
عَنِ التَّسَاهُلِ فِيْمَا لاَيَنْبَغِي التَّسَاهُلُ فِيْه (تنوير القلوب، 364)
“Thariqah adalah mengamalkan syari'at dan menghayati inti syariat
itu, serta menjauhkan hal-hal yang bisa melalaikan pelaksanaan semua inti dan
tujuan syariat itu." (Tanwir al-Qulub,
hal. 364).
Al-Hafizh Muhammad bin al-Shiddiq al-Ghumari
al-Hasani menjelaskan bahwa sumber utama thariqat adalah wahyu. Termasuk ajaran
yang terdapat di dalam agama Nabi SAW. Karena pada hakikatnya thariqat tidak
lepas dari pengamalan tiga sendi Islam, yakni Iman, Islam dan Ihsan.
Dalam hal ini thariqat masuk pada kategori ihsan. Karena Islam berbicara tentang ketaatan dan ibadah, Iman
berbicara petunjuk dan akidah, sedangkan Ihsan
adalah maqam muraqabah
dan musyahadah
(pendekatan diri dan penyaksian keagungan Allah SWT) yang dimaksud dalam hadits Nabi, "Engkau
menyembah Allah SWT seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak
melihat-Nya, maka sesungguhnya Dialah yang melihatmu". (Al-Intishar fi
Thariq al-Shufiyyah,
hal. 6).
Dari sini, mengamalkan thariqat merupakan
sesuatu yang penting untuk mencapai tingkat keislaman yang sempurna (kaffah), sebagaimana disebutkan
di dalam al-Qur'an dan hadits Nabi. Mengenai tata cara dan
pelaksanaannya, ulama telah membuat panduan yang disarikan dari al-Qur'an dan al-Hadits Nabi. Hal ini dapat dirujuk
misalnya dalam kitab Ihya' Ulum
al-Din karya Imam al-Ghazali, kitab Tanwir al-Qulub karya Syaikh
Amin al-Kurdi dan lain sebagainya.
2. Tawassul dengan Hamba Pilihan Allah SWT
Al-Syaikh Jamil Afandi
Shidqi al-Zahawi menjelaskan bahwa yang dimaksud istighatsah dan tawassul
dengan para nabi dan orang-orang yang
shaleh ialah menjadikan mereka
sebagai sebab dan perantara
dalam memohon kepada Allah SWT untuk mencapai tujuan. Pada hakikatnya Allah SWT adalah pelaku yang sebenarnya (yang mengabulkan doa). Sebagai contoh, pisau tidak mempunyai kemampuan memotong dari dirinya sendiri karena pemotong
yang sebenarnya adalah Allah SWT.
Pisau hanya sebagai penyebab yang alamiah
(berpotensi untuk memotong), Allah
SWT menciptakan memotong melalui pisau tersebut. (Al-Fajr al-Shadiq, hal. 53-54).
Ada banyak dalil yang menjelaskan keutamaan
tawassul. Di antaranya adalah
firman Allah SWT:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ وَابْتَغُوْا إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ
وَجَاهِدُوْا فِى سَبِيْلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
(المائدة، 35)
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah
kepada Allah SWT. Dan carilah sebuah perantara untuk sampai kepada Allah SWT.
Berjihadlah kamu di jalan-Nya mudah-mudahan kamu mendapat keuntungan”. (QS. al-Ma‘idah: 35).
Dalam ayat yang lain, Allah SWT berfirman:
وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللهَ
وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللهَ تَوَّابًا رَحِيمًا
(النساء: 64)
“Jika
mereka telah berbuat aniaya pada dirinya (berbuat dosa), lalu mereka datang kepadamu (hai Muhammad)
dan meminta ampunan kepada Allah SWT, kemudian Rasul
memohonkan ampunan untuk mereka, tentulah Allah SWT Yang Maha Menerima taubat dan Yang Maha Penyayang akan menerima
taubat mereka." (QS. al-Nisa': 64).[1]
Sahabat Umar RA ketika melakukan shalat istisqa’ juga melakukan
tawassul.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ إِذَا
قَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ اللّهُمَّ
إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ
نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا قَالَ فَيُسْقَوْنَ
(رواه البخاري، 954)
“Dari Anas bin Malik RA, beliau berkata, “Apabila terjadi kemarau, sahabat Umar bin al-Khaththab RA bertawassul dengan Abbas
bin Abdul Muththalib, kemudian berdoa, “Ya Allah , kami pernah berdoa dan
bertawassul kepada-Mu dengan Nabi SAW, maka Engkau turunkan hujan. Dan sekarang
kami bertawassul dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan”. Anas berkata,
“Maka turunlah hujan kepada kami.” (HR. al-Bukhari [954]).
Menyikapi tawassul Sayyidina Umar RA tersebut, Sayyidina Abbas RA kemudian berdoa:
اَللّهُمَّ اِنَّهُ لَمْ يَنْزِلْ بَلاَءٌ اِلاَّبِذَنْبٍ وَلاَ يُكْشَفُ اِلاَّبِتَوْبَةٍ قَدْ
تَوَجَّهَ الْقَوْمُ بِي اِلَيْكَ لِمَكَانِي مِنْ نَبِيِّكَ
.. الخ
اخرجه الزبير بن بكار (التحذير من الإغترار،
125)
“Ya Allah, sesungguhnya malapetaka itu tidak
akan turun kecuali karena dosa dan
tidak akan sirna melainkan dengan taubat. Kini
kaum muslimin bertawassul kepadaku untuk memohon kepada-Mu karena kedudukanku
di sisi Nabi-Mu. ..... diriwayatkan oleh al-Zubair bin Bakkar.” (Al-Tahdzir min al-Ightirar, hal.
125).
Mengomentari hal ini Syaikh Abdul Hayyi
al-‘Amrawi dan Syaikh Abdul Karim Murad menyatakan, pada hakikatnya tawassul yang dilakukan Sayyidina
Umar RA dengan sayyidina Abbas RA merupakan tawassul dengan Nabi
SAW (yang pada waktu itu telah wafat), disebabkan posisi Abbas sebagai paman Nabi SAW dan karena kedudukannya di sisi Nabi SAW. (Al-Tahdzir min al-Ightirar, hal.
125).
Memang di hadapan Allah SWT, semua manusia
mempunyai kedudukan yang sama, semasa hidup atau setelah meninggal dunia.
Al-Qur’an menegaskan bahwa orang yang shaleh atau para syuhada itu tetap hidup
di sisi Tuhan walaupun jasad mereka telah terkubur di dalam tanah. Sebagaimana
firman Allah SWT:
وَلاَتَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ قُتِلُوْا فِى سَبِيْلِ اللهِ أَمْوَاتًا، بَلْ اَحْيَاءٌ
عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُوْنَ
(آل عمران: 169)
“Dan janganlah kamu menyangka orang-orang yang
gugur di jalan Allah SWT itu mati.
Bahkan mereka hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rizki.” (QS. Ali ‘Imran: 169).
Dalam ayat lain, Allah SWT juga berfirman:
وَلاَ تَقُوْلُوْا لِمَنْ يُقْتَلُ فِى سَبِيْلِ اللهِ اَمْوَاتٌ بَلْ اَحْيَاءٌ
وَلَكِنْ لاَ تَشْعُرُوْنَ
(البقرة: 154)
“Dan Janganlah kamu
mengatakan terhadap orang-orang yang gugur
di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati, bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak
menyadarinya.” (QS. al-Baqarah: 154).
Syaikh Yusuf bin Isma’il al-Nabhani menyatakan “Dalam hal bertawassul itu, tidak ada perbedaan antara tawassul kepada Nabi Muhammad SAW atau para nabi yang lainnya, juga kepada para Wali Allah serta
orang-orang shaleh. Dan tidak ada
perbedaan pula antara bertawassul kepada orang yang
hidup ataupun orang yang telah meninggal dunia. Sebab pada hakikatnya
mereka tidak dapat mewujudkan serta tidak dapat memberi pengaruh apapun.
Mereka diharapkan barokahnya
karena mereka adalah para kekasih Allah SWT. Yang menciptakan dan yang
mewujudkan (apa yang diminta oleh orang yang bertawassul) hanyalah Allah SWT
semata. Orang-orang yang membedakan antara tawassul kepada orang hidup dan
orang yang telah wafat meyakini bahwa ada pengaruhnya (manfaatnya) jika
bertawassul kepada orang yang hidup, tapi manfaat itu tidak ada apabila
bertawassul kepada orang mati. Menurut hemat kami orang-orang yang membolehkan
tawassul kepada orang yang hidup tapi mengharamkan tawassul kepada orang mati
tersebut, sebenarnya telah terjebak pada kesyirikan, sebab mereka meyakini
bahwa orang yang hidup dapat memberikan sesuatu (pengaruh) kepada seseorang,
tapi orang yang mati tidak dapat memberikan manfaat apapun. Maka pada
hakikatnya mereka adalah orang-orang yang meyakini
bahwa ada makhluk lain selain Allah SWT yang
dapat memberi pengaruh dan mewujudkan sesuatu. Maka bagaimana mungkin mereka
mengklaim dirinya sebagai orang-orang yang menjaga tauhid (akidah), dan menuduh
kelompok lain berbuat kesyirikan?” (Syawahid al-Haqq, hal. 158-159).
Memang kalau direnungkan dengan seksama, manusia itu hanya berusaha, yang menentukan segalanya
adalah Allah SWT. Dalam ungkapan
sehari-hari, kita sering mendengar kata-kata berobatlah agar sembuh,
berolahragalah agar sehat, makanlah agar kenyang, belajarlah
agar pandai. Padahal hakikatnya yang menyembuhkan, yang
menyehatkan, yang mengenyangkan, yang
menjadikan pandai, hanya Allah SWT semata. Jika terbersit di dalam hati bahwa
yang menentukan sesuatu itu bukan Allah SWT, pada saat itu telah terjadi
perbuatan syirik.
Maka begitu pula dalam masalah tawassul ini.
Pada hakikatnya bertawassul itu menjadikan sesuatu sebagai perantara agar doa yang dipanjatkan dapat segera
diterima. Orang yang bertawassul tidak bermaksud untuk
memohon atau menyembah kepada
orang atau suatu benda. Karena itu mereka bukanlah termasuk orang yang mendapat
peringatan Allah SWT dalam al-Qur’an:
أَلاَ للهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا
نَعْبُدُهُمْ إِلاَّ لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللهِ زُلْفَى
(الزمر: 23)
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang
bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah
(berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka
mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya." (QS. al-Zumar: 23).
Setelah memperhatikan ayat tersebut dengan
cermat, Syaikh Abdul Hayyi al-‘Amrawi dan Syaikh Abdul Karim Murad menyatakan
“Perkataan para penyembah berhala "Kami menyembah mereka (berhala-berhala
itu) supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya. Ayat ini menegaskan bahwa mereka
menyembah berhala untuk tujuan
tersebut. Sedangkan orang yang bertawassul dengan orang alim atau para rasul
itu tidak menyembah mereka. Tetapi karena dia tahu bahwa orang yang di-tawassul-i tersebut memiliki
keutamaan di hadapan Allah SWT dengan kedudukannya sebagai rasul,
ilmu yang dimiliki atau karena kenabiannya. Dan karena
kelebihannya itulah kemudian ada orang
yang melakukan tawassul dengan mereka.” (Al-Tahdzir min al-Ightirar, hal.
113).
Maka jelas bedanya antara orang yang menyembah
berhala yang memang benar-benar menyembah berhala, yakni dalam ungkapan mereka
“Kami menyembah berhala-berhala itu”. Sementara orang yang bertawassul hanya meminta dan
menyembah Allah SWT semata. Tidak terbersit di dalam hatinya seujung rambutpun keyakinan adanya
kekuatan dan kekuasaan lain di luar kekuatan dan kekuasaan Allah SWT.
3. Mencium Tangan Ulama dan Guru
Mencium tangan para ulama merupakan perbuatan
yang sangat dianjurkan agama. Karena perbuatan itu merupakan salah satu bentuk
penghormatan kepada mereka. Dalam sebuah hadits dijelaskan:
عَنْ زَارِعٍ وَكَانَ فِي وَفْدِ عَبْدِ الْقَيْسِ قَالَ لَمَّا قَدِمْنَا الْمَدِينَةَ فَجَعَلْنَا نَتَبَادَرُ مِنْ رَوَاحِلِنَا فَنُقَبِّلُ يَدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم وَرِجْلَهُ
(رواه أبو داود، 4548)
“Dari Zari’ RA –ketika beliau menjadi salah satu delegasi
suku Abdil Qais-, beliau berkata, “Ketika sampai di Madinah, kami segera turun dari
kendaraan, kemudian kami bersegera turun dari kendaraan kita, lalu kami
mengecup tangan dan kaki Nabi SAW.” (HR. Abu Dawud [4548]).
Atas dasar hadits ini, para ulama mensunnahkan mencium tangan guru, ulama, orang shaleh serta
orang-orang yang kita hormati. Kata Imam al-Nawawi dalam salah satu kitab karangannya menjelaskan bahwa
mencium tangan orang shalih dan ulama yang utama itu
disunnahkan. Sedangkan mencium tangan
selain orang-orang itu hukumnya makruh.” (Fatawi al-Imam al-Nawawi, hal.
79).
Dr. Ahmad al-Syarbashi dalam kitab Yas’alu-naka
Fi al-Din wa al-Hayah memberikan kesimpulan akhir, bahwa apabila mengecup
tangan itu dimaksudkan dengan tujuan yang baik, maka (perbuatan itu) menjadi baik. Inilah
hukum asal dalam masalah mencium
tangan ini. Namun bila perbuatan itu digunakan untuk kepentingan dan tujuan yang jelek, maka termasuk perbuatan yang
terhina. Sebagaimana halnya setiap perbuatan
baik yang diselewengkan untuk kepentingan yang tidak dibenarkan.” (Yas’alunaka
fi al-Din wa al-Hayah, juz II, hal. 642).
4. Amalan, Hizib dan Azimat
Mengamalkan doa-doa, hizib dan memakai azimat
pada dasarnya tidak
lepas dari ikhtiar seorang hamba, yang dilakukan dalam bentuk doa kepada Allah
SWT melalui amalan itu.
Jadi sebenarnya, membaca hizib, dan memakai azimat, tidak lebih sebagai salah satu
bentuk doa kepada Allah SWT. Dan
Allah SWT sangat menganjurkan seorang hamba untuk berdoa kepada-Nya. Allah SWT
berfirman:
ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُم
(المؤمن: 60)
“Berdoalah kamu, niscaya Aku akan
mengabulkannya untukmu.” (QS. al-Mu’min: 60).
Ada beberapa dalil dari hadits Nabi SAW yang
menjelaskan kebolehan ini.
Di antaranya adalah:
عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ اْلأَشْجَعِيِّ قَالَ كُنَّا نَرْقِي فِي
الْجَاهِلِيَّةِ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللهِ كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ فَقَالَ اعْرِضُوا عَلَيَّ رُقَاكُمْ لاَ بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ شِرْكٌ
(رواه مسلم، 4079)
“Dari Awf bin Malik al-Asyja‘i, ia
meriwayatkan bahwa pada zaman Jahiliyah, kita selalu membuat ruqyah (seperti azimat dan semacamnya). Lalu kami bertanya kepada Rasulullah
SAW, bagaimana pendapat Engkau (ya Rasul) tentang hal itu. Rasul menjawab,
“Coba tunjukkan ruqyahmu itu padaku. Membuat ruqyah tidak apa-apa selama di
dalamnya tidak terkandung kesyirikan.” (HR. Muslim [4079]).
“Dalam al-Kalim al-Thayyib, Syaikh
Ibnu Taimiyyah menyitir
“Dari Abdullah bin Amr, bahwa Rasulullah SAW
pernah bersabda,
“Apabila salah satu di antara kamu bangun tidur, maka bacalah (bacaan yang artinya)
“Aku berlindung dengan
kalimat-kalimat Allah SWT yang sempurna dari kemurkaan dan siksaan-Nya, dari
perbuatan jelek yang dilakukan hamba-Nya, dari godaan syetan serta dari
kedatangannya padaku”. Maka syetan itu tidak akan dapat membahayakan orang
tersebut. Abdullah bin Umar mengajarkan bacaan tersebut kepada anak-anaknya
yang baligh. Sedangkan yang belum baligh, ia menulisnya pada secarik kertas,
kemudian digantung-kan di lehernya.” (Al-Kalim al-Thayyib, hal. 33).
Dengan demikian, hizib atau azimat dapat
dibenarkan dalam agama Islam.[]
[1] Setelah mengamati ayat ini, KH. Sirajuddin Abbas menyimpulkan bahwa
orang yang telah melakukan kesalahan, baik kecil atau besar, boleh datang kepada Rasulullah SAW, orang-orang shaleh, para guru serta orang-orang yang dekat kepada Allah SWT untuk melakukan tawassul dalam rangka pertaubatan.
Dan mengharap mereka untuk memintakan ampun kepada
Allah SWT atas segala dosa yang telah dilakukan orang tersebut. (Empat Puluh
Masalah Agama, Jilid I, hal 137-138)
Ditulis oleh : abinadine.blogspot.com ~ Official
Anda sedang membaca postingan tentang Hujjah NU: Thariqah, Tawassul, Mencium Tangan Ulama, Hizib, dan Azimat. Anda boleh mengcopy paste atau menyebarluaskan postingan ini, namun jangan lupa untuk meletakkan link di bawah ini sebagai sumbernya.
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
ٱلْعَٰلَمِين